Jerit Hati Anak-Anak Desa Kalimati

Anak-anak Desa Kalimati belajar baris berbaris di sekolah (villagerspost.com/alhadi nilano)

Penulis: Alhadi Nilano, Mahasiswa KKNT Departemen Proteksi Tanaman IPB di Indramayu

Anak adalah suatu harapan. Harapan dari semua orang, baik keluarga hingga bangsa. Di pundak mereka tersemat harapan yang sangat besar untuk memajukan keluarga, kampung, dan bangsa kelak. Anak-anak bagai lilin-lilin kecil, pemberi cahaya di dalam kegelapan. Perumpamaan ini menggambarkan, sisi lain dari anak-anak yaitu betapa lemahnya mereka dan betapa bergantungnya mereka akan orang-orang di sekitar mereka sekarang untuk membentuk jati diri mereka sebagai bekal di masa depan.

Jerit hati seperti menjadi jeritan sehari-hari anak-anak di Desa Kalimati, Kecamatan Jatibarang, Indramayu. Desa yang terletak sekira 20 kilometer ke arah selatan dari pusat kota Indramayu ini, merupakan desa lumbung padi sekaligus lumbung Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Kalimati terbagi menjadi dua blok yang dipisahkan hamparan sawah sejauh 5 km.

Blok Induk terletak di lintas Indramayu-Jatibarang dan dekat dengan Sungai Cimanuk sementara Blok Prubugan terletak di ujung hamparan sawah. Nama lumbung padi mungkin lebih cocok disematkan untuk kawasan di Blok Prubugan sementara lumbung TKI lebih cocok disematkan pada kawasan Blok Induk.

Dengan banyaknya kaum perempuan yang berangkat mengadu nasib di negeri orang, anak-anak Kalimati dihadapkan dengan masa depan yang tidak pasti, dari sisi pengasuhan untuk menjamin hak mereka untuk bertumbuh kembang. Permasalahan anak di Kalimati dimulai dari rumah.

Rumah seharusnya menjadi tempat utama dalam membangun generasi muda, bukan hanya sekedar tempat untuk tidur dan makan. Rumah atau keluarga menyediakan satu hal terpenting bagi anak-anak, yaitu kasih sayang. Kasih sayang merupakan kunci terjaminnya hal-hal penting lain seperti pendidikan dan kesehatan.

Bermain dan berkumpul dengan para mahasiswa KKN IPB menjadi pelarian anak Desa Kalimati dari tidak adanya perhatian orang tua di rumah (vilagerspost.com/alhadi nilano)

Namun kebanyakan anak-anak di Kalimati kehilangan hal yang penting itu karena ibu mereka, dengan terpaksa, karena himpitan beban ekonomi, harus pergi menjadi TKI di luar negeri. Bekerja di luar negeri memang menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Hal ini terbukti dengan rumah-rumah yang tergolong sangat indah untuk desa yang statusnya justru masih “tertinggal”.

Selain bekerja di luar negeri, kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung juga menyediakan peluang lebih besar daripada desa. Hal ini membuat penduduk usia produktif “menghilang” dari kampung menyisakan manula dan anak-anak.

Banyak anak-anak ditinggal kerja orang tua berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun dan dititipkan ke kakek-nenek atau keluarga jauh mereka. Seringkali, orang yang dititipkan menganggap cucu atau keponakan mereka ini sebagai beban.

Kami, mahasiswa KKN IPB, di desa ini merasakan bagaimana kami menjadi “pelarian” dari keadaan rumah yang dihadapi anak-anak, mulai dari tidak adanya bantuan keluarga dalam mendidik anak hingga anak-anak yang menjadi objek pelampiasan kemarahan keluarga titipan. Salah satu kasus yang terjadi adalah seorang anak yang pura-pura kesurupan agar bisa terus menginap bersama mahasiswa KKN.

Kasus lainnya adalah bagaimana anak-anak terus mencoba bersama mahasiswa mulai dari pagi hingga malam, sangat terbuka, dan terlalu cepat mempercayai orang asing. Rasa penasaran anak-anak yang memang tinggi mungkin bisa menjadi alasan wajar mengapa anak-anak begitu dekat dengan mahasiswa. Namun hal ini kami, mahasiswa, rasakan sudah keterlaluan dan jelas menunjukkan masalah besar apalagi setelah dibandingkan antara kedua blok.

Masalah ini juga menyebar hingga ke bidang lainnya. Anak-anak yang kurang mendapatkan pendidikan di tangan keluarga asuh ini, tidak mengenal gaya hidup bersih dan sehat karena tidak ada bimbingan di rumah. Anak-anak juga sangat terlambat dalam dunia pendidikan dimana banyak anak masih belum bisa membaca dan menulis walaupun telah menduduki kelas 4 sekolah dasar.

Anak-anak Kalimati sangat sibuk. Pagi-pagi mereka sudah bersekolah hingga jam 1 siang. Setelah itu, kira-kira jam 2 mereka pergi belajar ke madrasah, lalu kira-kira jam 5 sore saatnya mengaji hingga setelah magrib, sementara itu kegiatan masyarakat Kalimati sudah selesai saat jam 8 malam. Tidak ada waktu untuk bersama keluarga. Pendidikan betul-betul diserahkan ke para guru dan ustadz padahal sebenarnya pendidikan terbaik berada di rumah.

Tempat belajar membaca dan menulis adalah rumah. Tiada waktu untuk bermain mengakibatkan konsentrasi anak-anak untuk belajar terpecah. Sekolah dan madrasah seakan-akan hanya menjadi tempat bermain apalagi dengan kurikulum terbaru yang memang menekankan siswa untuk “bermain”.

Kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua juga membuat anak-anak Kalimati kerap mencari perhatian dengan cara yang berlebihan. Sayangnya, bukan perhatian yang didapat, malah cacian dan makian yang disematkan kepada mereka. Kerap kali karena dianggap nakal, anak-anak ini dicaci dengan sebutan “setan” dan itu seolah menjadi cap yang melekat pada diri anak-anak Kalimati dan pada gilirannya membuat masyarakat enggan bergaul dengan mereka.

Akibatnya, anak-anak Kalimati jadi terhambat untuk bisa belajar dan bersosialisasi dengan masyarakat. Tidak ada anak-anak yang tercipta nakal dan bodoh. Setiap anak memiliki keunggulan yang berbeda.

Orang-orang disekitarnyalah terutama keluarga yang akan menentukan bagaimana anak itu kedepannya. Kalimati membutuhkan bantuan dari semua pihak. Masyarakat harus disadarkan tentang betapa pentingnya keluarga yang baik untuk tumbuh kembang anak dan betapa pentingnya masa depan setiap anak. Karena generasi muda yang baik merupakan kunci majunya suatu negeri. Lilin-lilin kecil itu harus dijaga sinarnya atau kegelapan akan terus menyelimuti.

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.