Mempertanyakan Kaitan Rice Center dan Kesejahteraan Petani
|Oleh: Zaenal Mutaqien, Petani Muda Desa Muntur Indramayu, Jurnalis Warga untuk Villagerspost.com
Kamis (7/6) lalu, Presiden Joko Widodo, meresmikan Program Kewirausahaan Pertanian dan Digitalisasi Sistem Pertanian, di Desa Majasari, Kecamatan Sliyeg, Kab. Indramayu. Dalam acara yang juga dihadiri oleh Menteri BUMN Rini Soemarno dan Menteri Pertanian Amran Sulaiman, itu, Presiden Jokowi memuji pembentukan PT Mitra Bumdes Bersama (MBB), yang didirikan oleh Gapoktan dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), di Kecamatan Sliyeg, Kabupaten Indramayu itu.
Jokowi memuji kerjasama antara BUMDes, Gabungan Kelompok Tani dan BUMN yang membangun usaha penggilingan beras hingga pengemasan yang dibalut Program Rice Milling Unit (RMU) Mitra BUMDes atau Rice Center. Presiden Jokowi menilai pola bisnis seperti ini akan menguntungkan petani karena petani bisa menjual beras sudah dalam bentuk kemasan ke pasar.
PT Mitra Bumdes Bersama itu, lanjut Presiden, sebanyak 49 persen sahamnya dimiliki oleh kelompok tani, gabungan kelompok tani, petani serta Bumdes (Badan Usaha Milik Desa). Sementara 51 persen lainnya dimiliki oleh BUMN. Jadi, menurut Presiden, usaha ini keuntungannya pasti akan dinikmati petani.
Dalam hal ini Presiden Jokowi boleh-boleh saja selaku pemimpin negeri merasa optimis bahwa program semacam ini akan menyejahterakan petani. Namun sebelum bersikap optimis, sebaiknya presiden dan para pejabat negara juga belajar dari pengalaman sebelumnya yang juga terjadi di Indramayu.
Bisnis yang dilaksanakan PT MBB di Sliyeg, nyaris mirip dengan pembentukan Rice Center yang dulu dikelola oleh Perusahaan Daerah Bumi Wiralodra Indramayu (BWI) yang pembangunannya sebagian besar berasal dari APBD Pemkab Indramayu. Saat diresmikan Rice Center ini juga diharapkan dapat berfungsi bukan hanya sebagai tempat mengolah beras kelas premium, tetapi fungsi lain yang lebih penting dan berkaitan dengan nasib petani langsung adalah, berfungsi melakukan penyerapan gabah dari petani agar petani mendapat kepastian harga jual gabahnya dan diharapkan kesejahteraan petani bisa terjamin.
Tetapi bagaimana kenyataannya? Petani justru mendapatkan harga yang tidak berbeda dengan yang ditetapkan pemerintah. Untuk bisa menyerap gabah dari petani tersebut, Rice Center menjalin kerjasama dengan Perum Bulog dan pihak-pihak lain yang terkait sehingga bisa diperluas dalam kerjasama lintas sektoral.
Dengan memiliki mesin pengolah beras (rice mill) seharga Rp12,5 miliar yang berkapasitas lima ton/jam atau 80 ton/hari, sebenarnya akan semakin banyak gabah dari petani yang bisa masuk. Seharusnya, tidak ada lagi keluhan dari para petani tentang kekhawatiran kemana mereka harus menjual gabah agar harganya tidak anjlok.
Tetapi sekali lagi kenyataannya? Kami para petani yang bermukim dekat dengan Rice Center saja tidak pernah mendengar dan merasakan sendiri menjual gabah ke lembaga ini karena belum mendapat sosialisasi. Dan sekarang banyak petani yang merintih dengan jatuhnya harga jual gabah.
Dari informasi yang kami himpun dari para petani, mereka enggan menjual gabah ke Rice Center karena mereka malah menyerap beras dari petani kemudian menjualnya ke Perum Bulog dengan standar harga pembelian pokok pemerintah (HPP). Padahal, petani berharap Rice Center bisa memberikan harga lebih tinggi.
Hal ini tentu jauh dari rencana ideal karena seharusnya Rice Center bisa berfungsi menyerap gabah petani dengan harga yang lebih layak, mengolahnya dan menjual produk dalam hal ini beras kemasan baik premium maupun medium ke pasar induk, bukan malah menjual kembali ke Bulog.
Untuk pengolahan beras, dari informasi yang kami peroleh, ternyata mesin pengolah beras atau rice mill yang ada dikelola Rice Center ternyata spesifikasi mesinnya hanya untuk memproduksi beras premium sedangkan pasar beras premium sangat terbatas. Jadi hanya pemain beras premium yang bisa memanfaatkan Rice Center tersebut.
Alhasil ide pembangunan Rice Center yang sebenarnya sangat baik karena diniatkan menyerap gabah petani di Indramayu yang termasuk daerah surplus beras atau daerah yang memiliki kelebihan produksi beras setiap tahun, menjadi tidak jalan. Lagi-lagi kelebihan beras petani tak terserap karena rice mill hanya melayani beras premium.
Selebihnya, saya yakin para petani sebagian besar tidak mengetahui fungsi lembaga ini bagi mereka. Mengapa? mari kita tanyakan langsung kepada lembaga dan pihak-pihak terkait, sampai sejauh mana sosialisasi fungsi dan peran lembaga ini kepada para petani langsung sehingga para petani sendiri justru kebanyakan tidak tahu.
Jangan sampai, kami para petani yang sudah mengeluarkan banyak keringat dan lelah berjibaku dengan segala permasalahan di sawah, hanya dijadikan alat kampanye, propaganda ndan stempel oleh pihak-pihak lain yang mempunyai kekuatan birokrasi dan kekuatan kapital dengan mengatasnamakan petani untuk mengeruk keuntungan pribadi dan golongan.
Karena itu, diresmikannya Program Rice Milling Unit (RMU) atau Rice Center mitra BUMDes yang dilaunching langsung oleh Presiden Jokowi di Sliyeg, diharapkan memang bisa membantu kesejahteraan petani, khususnya di Indramayu. Semoga saja, program itu bukan hanya program-program di atas kertas semata yang dalam pelaksanaannya akan sama saja dengan pengalaman yang lalu-lalu.
Petani terus terang hanya memiliki keinginan sederhana saja, ada program yang jelas, nyata, terbuka yang asas manfaatnya menyentuh langsung kesejahteraan petani. Bukan program yang ramai di berita seolah menyejahterakan petani, kenyataanya, nasib petani malah bertambah suram. (*)