Menuju Pertanian Organik dalam Tiga Tahun

Sudargo Ronggo, petani asal Pati, Jawa Tengah, ketika mendapat penghargaan Pendopo Kabupaten Pati atas karya dan inovasinya di bidang pertanian (dok. pribadi)

Oleh: Sudargo, petani padi organik asal Desa Ronggo, Kecamatan Jaken, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Jurnalis Warga untuk Villagerspost.com

Pertanian organik belakangan ini mulai kembali menjadi primadona di kalangan petani. Hal ini disebabkan karena adanya pengalaman pahit dari para petani, khususnya petani padi saat menjalankan sistem pertanian intensif dengan menggunakan pupuk dan obat-obatan atau pestisida kimia. Pengalaman serangan wereng yang diikuti dengan penyakit kerdil hampa yang menyebabkan kerugian besar akibat gagal panen, membuat banyak petani mulai sadar, penggunaan input kimia, apalagi secara berlebihan, telah merusak keseimbangan alam.

Rusaknya keseimbangan alam inilah, baik karena hama yang semakin tahan atau resisten terhadap pestisida dan insektisida kimia, dan matinya musuh alami hama, ternyata membuat serangan hama (outbreak) bisa semakin parah dari waktu ke waktu. Sementara penggunaan pupuk kimia secara terus menerus, juga malah terbukti semakin mengurangi kesuburan tanah.

Meski begitu, bagi kebanyakan petani, kesadaran mengembangkan pertanian organik ini, sepertinya belum banyak diejawantahkan secara nyata, alias baru pada tahap pemikiran atau keinginan. Apa sebabnya? Kemungkinan banyak yang ragu, khususnya bagi petani padi, apakah ketika mengembangkan pertanian organik, hasil panennya akan lebih baik, atau minimal sama lah dengan ketika masih menggunakan input kimia?

Sebagai sesama petani, saya bisa memahami perasaan kawan-kawan tersebut. Karena itu melalui tulisan ini, saya ingin berbagi pengalaman saya tentang bagaimana melaksanakan pertanian organik untuk tanaman padi dengan cara transisi selama tiga tahun, sebelum benar-benar melaksanakan pertanian organik secara murni.

Saya menerapkan cara ini pada lahan sawah saya seluas seperempat hektare, di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Langkah pertama saya untuk menuju pertanian organik adalah, pada masa jeda tanam selepas musim tanam kedua (MT2), biasanya pada bulan 7 sampai bulan 10, lahan saya olah dengan menaburkan 70-90 zak letong kering (jamur yang berasal dari kotoran sapi).

Letong ini ditaburkan di atas lahan den kemudian diratakan hingga semua permukaan tanah terpapar. Kemudian, saat musim hujan datang, lahan yang sudah ditaburi letong tadi, disirami atau disemprot dengan mikroba pengurai kompos.

Pupuk cair organik, pestisida organik dan bahan pertanian organik lainnya hasil karya Sudargo (dok. pribadi)

Saat masuk musim tanam kesatu (MT1), saat musim hujan tiba, sambil menyemai benih padi, lahan kembali disiram atau disemprot dengan mikroba atau mikro organisme lokal (mol) buatan sendiri. Setelah benih di persemaian berumur 10-14 hari, lahan mulai kita olah, lahan kembali disemprot dengan mol. Kemudian saat benih berusia 17-19 hari, baru ditanam di lahan.

Langkah berikutnya, karena masih di tahun pertama transisi, maka sistem yang dikembangkan memang masih semi organik. Jadi pemupukan kimia tetap dilakukan namun dengan jumlah yang tidak berlebih. Untuk urea cukup sebanyak 15 kilogram, pupuk ZA 5 kilogram dan pupuk TSP 36 cukup 20 kilogram. Pemupukan dilakukan saat padi berusia 15 hari setelah tanam (HST).

Kemudian untuk pemupukan tahap kedua ditebarkan pupuk phonska sebanyak 40 kilogram ditambah kcl 10 kg ditambah ZA 10 kilogram. Dengan cara ini untuk lahan seluas 1/4 hektare, saya berhasil memperoleh hasil panen sebanyak 2 ton lebih 1 kuintal atau sekitar 48 zak gabah.

Lantas bagaimana di tahun kedua? Sama seperti di atas prosesnya diulangi dimana perbedaannya adalah saat pengolahan lahan, ditambahkan pupuk kandang sebanyak 50-70 zak dengan berat per zak 50 kilogram. Kemudian saat musim hujan tiba, lahan yang sudah ditaburi pupuk kandang tadi, disirami atau disemprot dengan mikroba pengurai kompos atau mikro organisme lokal.

Untuk pemupukan, saat padi berumur 15 HST dipupuk dengan urea sebanyak 15 kilogram ditambah TSP 36 sebanyak 25 kg. Untuk pemupukan kedua dilakukan dengan pupuk phonska 30 kg, kcl 30 kg. Hasil panen meningkat dari 48 zak menjadi 54 zak atau sekitar 2,5 ton.

Di tahun ketiga, langkah yang sama diulangi hanya saja jumlah pupuk kandang atau letong yang ditabur mencapai sebanyak 60 zak dan diolah merata ke seluruh lahan. Pemupukan kimia di tahun ketiga ini hanya dilakukan sekali saja, yaitu saat padi berumur 20 HST dengan urea 5 kg, TSP 20 kg, phonska 25 kg. Di tahun ketiga ini, hasil panen saya meningkat lagi menjadi 64 zak atau sekitar 3 ton gabah.

Lantas bagaimana saat padi terserang hama? Dalam masa transisi petani sudah harus menggunakan bahan-bahan pestisida alami. Pestisida alami sekaligus nutrisi untuk padi bisa dibuat dari daun brotowali, biji mahoni, biji bengkoang dan sebagainya. Dengan penerapan pestisida alami sejak awal, maka hama tanaman akan mati tanpa membunuh organisme lain yang menguntungkan dan bertugas menyeimbangkan ekosistem. Jadi lebih ramah lingkungan.

Setelah berjalan tiga tahun, maka di tahun keempat, barulah pertanian organik murni yaitu dengan penerapan pupuk kandang, mol dan bahan-bahan alami lainnya, sudah saya terapkan tanpa menggunakan pupuk kimia atau pun pestisida kimia sama sekali. Alhamdulillah berhasil dengan tingkat hasil panen rata-rata 2 ton untuk lahan 1/4 hektare. Untuk catatan, benih yang saya pakai adalah situ bagendit, ciherang1 dan MSP1 benih yang dikembangkan oleh Mbah Surono Danu. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.