PHT Syarat Wajib Kedaulatan Pangan

Sawah petani desa Kalensari, Desa Bunder dan sekitarnya terkena serangan wereng batang coklat yang cukup parah (dok. villagerspost.com/jurnalis desa kalensari)

Oleh: Said Abdullah, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP)

Dalam minggu ini, publik di tanah air diramaikan dengan munculnya rencana pemerintah untuk melakukan impor beras sebanyak 500 ribu ton. Rencana ini menjadi riuh karena pada saat yang sama kementerian pertanian mengklaim bahwa produksi gabah nasional naik. Angkanya sudah menembus 81 juta ton. Dengan jumlah ini tentu saja menjadi aneh ketika keputusan impor dilakukan.

Adanya rencana impor ini menarik para pihak untuk melihat apa penyebabnya. Sebagian publik berpendapat bahwa karena adanya aksi spekulan yang mempermainkan supply ke pasar yang menyebabkan harga naik. Hal ini rasional jika melihat argumentasi kementerian pertanian soal kenaikan produksi. Namun demikian sebagian lain menganggap data produksi terlalu overestimate karena produksi tidak setinggi itu.

Apalagi kenyataan di sentra-sentra produksi padi nasional selama 2017 mengalami serangan hama dan penyakit yang cukup besar. Akibatnya supply berkurang yang mendorong harga naik. Kejadian ini seperti yang terjadi pada tahun 2010-2011, ketika produksi terganggu yang berujung pada impor beras sebanyak 2,7 juta ton.

Upaya pemerintah mendorong peningkatan produksi perlu mendapat apresiasi. Namun demikian upaya ini menyisakan persoalan serius. Jika melihat data pengalaman sepuluh tahun terakhir, memang produksi terus meningkat dengan kenaikan produksi mencapai 17,4 persen. Namun kenaikan ini juga diikuti kenaikan anggaran yang mencapai 611 persen.

Pada sisi lain nyatanya kenaikan produksi padi tidak bisa ajeg sepanjang waktu. Produksi padi dihadapkan pada persoalan ledakan hama penyakit dan perubahan iklim yang berujung terjadinya impor. Tahun 2000, 2002, 2003, 2007, 2011, 2016, dan 2017 merupakan tahun-tahun di mana impor dilakukan dalam jumlah yang sangat besar dengan total mencapai 10,3 juta ton.

Menilik lebih jauh upaya pemerintah meningkatkan produksi maka kita bisa menyaksikan bahwa pendekatan yang dilakukan dengan cara cepat dan menggunakan input luar (pupuk kimia sintetis, pestisida, varietas unggul) yang sangat tinggi tidak efisien dan berkelanjutan. Cara yang digunakan ini sama dengan cara-cara yang digunakan ketika Indonesia mengejar swasembada pangan pada era orde baru. Pendekatan yang kita kenal dengan istilah revolusi hijau. Pendekatan ini sudah terbukti gagal tidak hanya di Indonesia namun juga dunia.

Dalam sejarahnya pembangunan dan peningkatan produksi pertanian mengalami pasang surut dengan berbagai perkembangannya. Secara ringkas, di dunia ini, peningkatan produksi pada era 1940-an dilakukan dengan penggunaan input kimiawi lalu kemudian pada 1950-an lahir pendekatan integrated pest control, dan dilanjutkan pada tahun 1970 dengan intensifikasi (revolusi hijau) hingga tahun 1980-an.

Di tahun-tahun inilah era keemasan pestisida diraih. Dimana hampir di semua praktik pertanian, pestisida digunakan. Guna memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat, Indonesia kemudian mengadopsi teknologi revolusi hijau melalui Panca Usaha Tani, meliputi penggunaan benih unggul, perbaikan pengairan, penggunaan pestisida untuk menekan hama penyakit, penggunaan pupuk anorganik.

Cara ini memang mampu meningkatkan produksi hingga dua kali lipat. Dalam kurun 1964/67 intensifikasi dilakukan melalui Demonstrasi Massal (Demas), Bimbingan Massal (Bimas), Intensifikasi Massal (Inmas), Intensifikasi Khusus (Insus) melibatkan jutaan petani dan jutaan hektare sawah. Produksi padi memang mengalami peningkatan, bahkan pada tahun 1984 Indonesia berhasil swasembada beras. Namun pendekatan ini menyisakan masalah.

Pada tahun 1978-1979 ledakan wereng terjadi dan juga pada tahun 1985-1986. Ledakan tepat dua tahun setelah swasembada meluluhlantakkan keberhasilan itu. Titik kritis tahun 1985-1986 terjadi, ketika ledakan kedua wereng coklat padi sangat mempengaruhi kondisi swasembada beras yang baru saja tercapai. Kegagalan ini memicu kesadaran untuk merubah pendekatan peningkatan produksi dengan menggunakan Pengendalian Hama terpadu (PHT).

Melalui Instruksi Presiden No. 3 tahun 1986 (INPRES 3/86) tentang Pengendalian Hama Wereng Cokelat Padi pemerintah mengumumkan dimulai kebijakan PHT. Melalui Inpres tersebut, Presiden menginstruksikan untuk melakukan: Pertama, menerapkan PHT untuk pengendalian hama wereng batang cokelat dan hama-hama padi lainnya.

Kedua, melarang penggunaan 57 nama dagang formulasi (merek) insektisida pada padi. Ketiga, melaksanakan koordinasi untuk peningkatan pengendalian wereng cokelat. Keempat, melakukan pelatihan petani dan petugas tentang PHT.

Kebijakan ini kemudian diikuti dengan kebijakan pencabutan subsidi pestisida pada tahun 1989. Untuk memastikan kebijakan ini berjalan, pemerintah membentuk kelompok kerja menteri antar sektor dengan penanggungjawab utama di BAPPENAS.

Dalam perjalanannya, kebijakan ini terus dilakukan walaupun dalam skala kecil. Namun sejak tahun 2000-an perlahan kebijakan PHT surut bahkan kini sudah tidak ditemukan lagi jejaknya. Melemahnya kebijakan PHT dapat dengan mudah kita lihat dari dua hal, yaitu meningkatnya penggunaan pestisida dan makin kecilnya skala program PHT dalam bentuk SLPHT.

Inpres nomor 3 tahun 1986 dengan tegas melarang peredaran 57 jenis pestisida karena dampak buruknya. Namun seiring meredupnya PHT, tepatnya sejak tahun 2002, jumlah dan merek pestisida yang beredar meningkat tajam. Bahkan bahan aktif pestisida yang dilarang masih ada di pasaran.

Pada tahun 2002 diketahui terdapat 229 perusahaan yang mendaftarkan merek dagang pestisida yang diproduksinya. Delapan tahun kemudian, 2010 jumlahnya naik menjadi 2067 pestisida yang terdaftar untuk dipasarkan. Hari ini diyakini jumlahnya jauh lebih besar lagi. Jumlah ini tentu saja sangat mencengangkan karena turut meningkatkan penggunaan pestisida di tingkat petani.

Penggunaan pestisida di tingkat petani padi naik tajam. Jika pada tahun 1983 penggunaan pestisida sebanyak 1,5 liter per hektare per musim, maka tahun 2014 naik menjadi 11 liter per hektare per musim. Jumlah yang luar biasa besar dan memiliki dampak yang sangat luas. Tidak hanya terkait aspek lingkungan dan kesehatan, besarnya penggunaan pestisida juga memungkinkan rusaknya agroekosistem yang berujung pada terganggunya produksi seperti yang akhir-akhir ini terjadi.

Memahami fakta tersebut, maka tidak ada pilihan lain selain memikirkan dan menguatkan kembali kebijakan PHT dalam arena pembangunan pertanian di Indonesia. Penguatan dan implementasi kebijakan PHT tidak lagi dapat ditawar seiring makin meningkatnya ancaman dan ketidakpastian iklim, degradasi lingkungan pertanian dan berkurangnya lahan. Kebijakan PHT menjadi syarat wajib bagi terpenuhinya cita-cita swasembada.

Lebih dari itu, implementasi PHT juga menjadi prasyarat penting jika ingin mencapai kedaulatan pangan. Pertanian ekologis yang ditopang PHT merupakan pilar dari kedaulatan pangan. Pemerintahan Jokowi-JK yang mengusung kedaulatan pangan sebagai cita-citanya, tak bisa lagi mengelak untuk tidak menggunakan PHT sebagai kebijakan peningkatan produksi pertaniannya.

Pemerintah hari ini perlu segera mengoreksi kebijakan peningkatan produksi pangan nasional karena tidak lagi sejalan dengan prinsip-prinsip dasar PHT, jika ingin memenuhi janjinya menjadikan kedaulatan pangan tegak di Indonesia. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.