Revisi HET Beras, Bencana untuk Petani dan Pertanian

Petani menjemur gabah (dok. kementerian pertanian)

Oleh: Said Abdullah, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP)

Pemerintah akhirnya secara resmi melakukan revisi atas kebijakan penetapan harga eceran tertinggi (HET) untuk beras premium dan medium. Melalui Surat Menteri Perdagangan Nomor 681/M-DAG/SD/5/2018, tentang Rencana Penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan tentang Harga Eceran Tertinggi Beras, pihak Kemendag mengumumkan adanya revisi HET beras premium dan medium.

Dalam surat tersebut ditegaskan, HET beras premium ditetapkan sebesar Rp11.900/kg. Ada pun pengertian beras premium adalah beras dengan spesifikasi derajat sosoh minimal 95%, kadar air maksimal 14%, dan butir patah maksimal 15%. Sementara HET beras medium ditetapkan sebesar Rp8.900/kg. Ada pun beras medium adalah beras dengan spesifikasi derajat sosoh minimal 95%, kadar air maksimal 14%, dan butir patah lebih dari 15%.

HET ini lebih rendah dari yang ditetapkan Kemendag 1 September 2017 lalu yaitu HET beras premium sebesar Rp12.800/kg dan HET untuk beras medium sebesar Rp9.450 per kilogram. Kebijakan penetapan HET beras dan kemudian revisi HET beras, khususnya beras medium ini diyakini membawa dampak pada petani, jika tidak menjadi bencana bagi petani dan pertanian.

Perubahan (HET) beras medium menjadi Rp8.900 per kilogram akan menekan harga gabah di tingkat petani. Kenapa? Karena para tengkulak atau pelaku pasar tentu akan tetap mempertahankan keuntungannya. Petani menjadi aktor rantai nilai padi yang rentan pada situasi ini. Terlebih kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) tidak bisa menetralisir situasi karena harga yang dibangun di bawah harga pasar.

Dengan menggunakan harga gabah kering panen (GKP) saat ini yaitu sebesar Rp4.000 rupiah per kg, dengan memperhitungkan biaya angkut, dan giling maka harga beras akan menjadi Rp8.000 per kg. Kemudian ditambahkan biaya giling dan distribusi ke pasar sebesar Rp500 per kg, maka harga beras menjadi Rp8.500/kg.

Jika harga modal petani sebesar ini, maka masih ada selisih 400 rupiah dan ini menjadi keuntungan dari penggilingan dan ini akan sangat tergantung dari seberapa besar keuntungan yang akan diambil penggilingan. Semakin besar keuntungan yang didapat maka harga pembelian gabah di tingkat petani akan semakin rendah.

Persoalannya penggilingan mendapatkan gabah tidak langsung melakukan pembelian ke petani tetapi melalui calo pada level desa. Calo ini mengambil rata-rata keuntungan 200 rupiah per kilogram. Dengan demikian petani hanya akan menerima harga riil sekitar Rp3.700-Rp3.800 per kilogram gabah.

Situasi ini akan sangat merugikan petani, terutama petani dengan lahan sempit dan petani penyewa. Dapatlah kita hitung jika satu orang petani memiliki sawah hanya 0,25 hektare, produksi sebesar 1,3 ton GKP, harga GKP yang diterima hanya Rp3.800/kg, maka pendapatannya hanya sebesar Rp1.235.000 per bulan. Sedangkan jika tidak ada pembatasan HET, dengan asumsi harga GKP di tingkat petani Rp4.500/kg, maka pendapatan petani bisa mencapaiĀ Rp1.426.500 per bulan.

Rendahnya penerimaan atau pendapatan petani dalam jangka panjang tentu saja merugikan kita semua terutama terkait regenerasi petani. Akan semakin sedikit anak muda yang mau menjadi petani pangan.

Kajian regenerasi petani KRKP 2015, menunjukkan bahwa pendapatan menjadi faktor penentu berminat atau tidaknya anak anak muda menjadi petani. Survei juga menunjukkan 63% tak berminat menjadi petani. Jika situasinya seperti saat ini, ditambah dengan pemberlakuan HET baru maka bisa jadi angka anak muda yang tidak tertarik menjadi petani padi terus meningkat.

Akan lebih bijak jika perubahan kebijakan dilakukan ada harga gabah. HPP yang sudah lama tidak dinaikkan perlu ditinjau ulang. HET harus ditinjau kembali jika diperlukan tidak perlu diberlakukan. Soal kekhawatiran adanya permainan pelaku pasar dan susahnya akses masyarakat pada beras, dapat dilakukan dengan instrumen kebijakan lain semisal pengawasan oleh tim pangan, atau pemberian pangan untuk rakyat miskin seperti yang selama ini dilakukan.

Penguatan kebijakan HPP harus diiringi dengan pelaksanaan kebijakan reforma agraria. Karena seberapa besarnya pun harga HPP tanpa diimbangi penguasaan lahan tak akan bermakna apa-apa. Dengan lahan sempit tetap saja pendapatan petani kecil.

Reforma agraria juga bisa jadi pengungkit makin banyaknya anak muda yang mau kembali ke pertanian, sebagai mana kajian KRKP, syarat menjadi petani bagi anak muda adalah penguasaan lahan yang cukup dan harga jual atau pendapatan. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.