Pahambur Marrata dan Toleransi Beragama Orang Sumba

Sumba Timur, Villagerspost.com – Tetua adat membacakan semacam mantra dengan menaruh sirih, pinang, kapur, beras dan telur ayam satu butir kedalam sebuah batok kelapa. Kemudian perempuan(tamu) yang akan menjadi bagian keluarganya diinstruksikan tetua adat agar menendang barang-barang yang ada dalam batok kelapa tersebut hingga terpencar berhamburan keluar. Telurpun terlempar hingga pecah dan sang tamu mulai berjalan masuk ke rumah.

Setelah itu, rombongan (pengantar) yang lain mengikuti dari belakang. Itulah prosesi “Pahambur Marrata”, sebuah upacara sebagai tata cara orang Sumba dalam menyambut tamu dan menyambut kehadiran keluarga baru, dalam sebuah prosesi pernikahan.

“Ada beberapa simbol yang ada dalam batok/tempurung kelapa tadi, diantaranya biar rezeki melimpah dan punya keturunan banyak, serta hidup berumah tangga supaya aman, nyaman dan tentram,” ujar Rooslinda Rambu Lodji, mahasiswa di Universitas Kristen Wira Wacana, Sumba yang memahami prosesi tersebut.

Terus terang selama berada di bumi Marapu baru kali ini menyaksikan prosesi adat “Pahumbur Marrata” di desa Kadumbul, Kecamatan Pandawai, Kabupaten Sumba Timur. Sangat berkesan. “Adat budaya dengan pertanian tidak bisa dipisahkan,semua yang ada dalam tempurung kelapa tadi yang dijadikan simbol merupakan hasil karya petani,” kata Raymundus Sau Fernandes, Bupati Timor Tengah Utara (TTU) yang turut serta sebagai pengantar, sekaligus yang mewakili keluarga.

Yang lebih menarik lagi dan akan bikin berkesan serta terharu bagi kaum minoritas (muslim) diperlakukan sangat sangat istimewa. Khusus muslim, mereka akan dipanggil dan diminta menyembelih ayam sendiri sesuai dengan keyakinannya. Inilah perlakuan terhadap kaum minoritas di Pulau Sumba. Tingkat toleransi beragamanya kental dan tinggi sekali.

“Kang apakah mau di goreng atau dibakar? Kata Elas Jawamara, sebagai tuan rumah bertanya, usai ayam disembelih. Setelah menyembelih ayam saya kembali lagi ke kumpulan sambil menunggu ayam bakar.

Namun dalam kumpulan para tamu, tiba-tiba Pak Bupati TTU bertanya. “Lho Kang Rahmat makannya bagamana? Tanyanya sambil melirik ke arah Elas Jawamara. “Sudah pak aman satu ekor sendirian,” jawab saya dengan cepat, sebelum tuan rumah menjawab. “Ooh aman kalau begitu,” ucap sang bupati.

Semoga tingkat toleransi beragama di Pulau Sumba dan Nusa Tenggara Timur tetap terjaga. Sejujurnya kalau untuk urusan toleransi harusnya orang luar harus banyak belajar dan berguru di bumi Marapu Sumba.

Video/Teks: Rahmat Adinata, Petani Organik, Anggota Gerakan Petani Nusantara

Facebook Comments
One Comment

Add a Comment

Your email address will not be published.