Kisah Paralegal Perempuan, Meruntuhkan Tembok Kekerasan
|Yabiku: Peduli Perempuan “Kampung”
Kegiatan pelatihan di Yabiku (dok. yabiku)
Kiprah kelompok-kelompok paralegal di Kabupaten TTU dalam mendampingi para perempuan dan anak korban kekerasan serta menuntaskan kasus-kasus kekerasan memang sulit untuk bisa terwujud tanpa peran serta Yayasan Yabiku. Nama Yabiku sendiri merupakan singkatan dari kata Yayasan Amnaut Bife “Kuan”. Kata Amnaut Bife “Kuan” berasal dari bahasa Dawan-Timor yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia artinya Peduli Perempuan “Kampung”.
Kata “Kampung” ditulis menggunakan tanda petik yang mengandung makna bukanlah perempuan yang tinggal di kampung atau pedesaan tetapi yang dimaksudkan di sini adalah semua kaum perempuan di Nusa Tenggara Timur yang dianggap terbelakang, tidak berpotensi, bodoh, kecil yang pada umumnya tidak dapat berbuat sesuatu. Nusa Tenggara Timur termasuk provinsi dengan tingkat kejadian kekerasan terhadap perempuan dan anak tertinggi dari keseluruhan provinsi di Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pemberdayaan Perempuan Provinsi NTT, selama tahun 2015 hingga semester awal 2016 terdapat sebanyak 600 kasus kekerasan terhadap perempuan. Badan Pemberdayaan Perempuan NTT tidak memilah kasus ini antara kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Hanya saja, berdasarkan data LSM Rumah Perempuan kasus kekerasan seksual di NTT sepanjang 2015 tercatat sebanyak 81 kasus.
Data di atas cukup memberikan gambaran betapa kekerasan terhadap perempuan memang menjadi persoalan yang cuku genting untuk dapat diselesaikan. Terlebih, data-data di atas sebenarnya lebih merupakan pucuk gunung es dari keseluruhan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Artinya kasus-kasus kekerasan yang terjadi lebih besar ketimbang yang tercatat.
Seturut cerita Koordinator Yabiku Antonius Efi, Yabiku memang lahir dari sebuah keprihatinan akan kehidupan perempuan dan anak yang seakan tidak mendapatkan haknya. Berdirinya Yabiku dirintis oleh seorang tokoh perempuan bernama Maria Filiana tahun 1999 dan mulai bekerja pada tahun 2001. “Perempuan dan anak selalu saja menjadi korban tindak kekerasan baik oleh laki-laki maupun oleh perempuan itu sendiri,” kata Anton kepada Villagerspost.com.
Dia mengatakan, kekerasan yang terjadi karena adanya relasi kuasa yang timpang antara perempuan dan laki-laki sebagai bagian dari kontribusi budaya patriarki. Salah contohnya adalah budaya “belis” dalam pernikahan. Dalam budaya NTT, lelaki yang ingin menikahi seorang perempuan harus mampu menyerahkan sejumlah tertentu mahar atau belis yang bisa berupa sapi, kerbau, babi, kuda dan lainnya.
Sebenarnya, budaya belis sendiri merupakan budaya untuk memuliakan perempuan. Namun belakangan sering disalahartikan kaum lelaki seolah dengan membayar belis, mereka telah membeli seorang perempuan. “Akibatnya perempuan setelah menikan seolah harus bekerja keras melayani suami,” kata Anton.
Selain relasi budaya dan relasi kuasa yang timpang, ada juga faktor minuman keras yang sering menjadi pemicu kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak. Karena itulah, Yabiku hadir sebagai bagian dari upaya untuk meminimalisir berbagai tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak.
“Fokus pada penanganan korban kekerasan, ada paralegal, relawan yang diberi pelatihan keparalegalan baik soal tugas-tugas paralegal, bagaimana melapor ke polisi melakukan pendampingan sampai dasar konseling. Proses, perlu ada kesadaran korban untuk didampingi. Jika tidak minta didampingi tidak juga dilepas begitu saja tetapi diberikan saran-saran agar korban mampu mengambil keputusan terbaik,” urai Anton.
Toh, bukan perkara mudah untuk bisa menghapuskan sama sekali kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Data yang dihimpun Yabiku mengungkapkan, dalam dua tahun terakhir ini, terjadi lonjakan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan korban perempuan. Tahun 2014 lalu, kasus kekerasan terhadap perempuan di Kabupaten TTU mencapai 58 kasus, sedangkan tahun 2015 lalu, Yabiku mendapatkan laporan sebanyak 79 kasus.
Menurut Anton, lonjakan kasus ini bukan berarti upaya Yabiku sia-sia. Ini justru menjadi tanda, semakin banyak perempuan dan anak korban kekerasan atau keluarga mereka yang sadar untuk melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya. “Buktinya memang ada peningkatan jumlah korban yang melapor kepada tim paralegal Yabiku,” tegasnya.
Berbagai tantangan memang harus dihadapi oleh kelompok paralegal yang dibina Yabiku. Koordinator Divisi Pendampingan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Yabiku Frida Ikun mengatakan, dalam banyak hal, paralegal tak hanya harus berhadapan dengan situasi sosial budaya yang tak menguntungkan, tetapi juga ancaman kekerasan terutama jika pelaku kekerasan adalah orang berkuasa atau berpengaruh.
Frida sendiri pernah mengalaminya ketika menangani satu kasus eksploitasi seksual terhadap seorang anak perempuan oleh seseorang yang memiliki jabatan politik. Dalam kasus itu, kata Frida, tekanan pengaruh kekuasaan si tokoh, membuat pihak korban tertekan dan takut memberikan keterangan. Demikian juga saksi lain yang kerap diintimidasi sehingga tidak mau atau tidak berani memberikan kesaksian.
“Dalam situasi seperti ini banyak kasus yang ditangani sulit untuk diselesaikan,” kata Frida. Ketika kasus ini berhasil di bawa ke ranah hukum pun, terkadang ancaman masih terus diterima paralegal. Frida sendiri mengaku pernah diancam pihak pelaku yang kebetulan memang seorang pejabat setempat ketika kasus eksploitasi itu disidangkan di pengadilan. “Pihak pelaku datang membawa massa ke pengadilan,” ujarnya.
Dalam situasi seperti ini, kata Frida, seorang paralegal memang dituntut untuk tangguh dan yakin dengan komitmennya. “Menjadi paralegal memang tak mudah, bahkan Natal pun kadang tak libur,” ujarnya. (*)