Mery Kolimon: Sang Penginjil Feminis, Pendobrak Budaya Patriarki Gereja

Pendeta Mery Kolimon, perempuan pertama yang memimpin GMIT (dok. villagerspost.com/istimewa)
Pendeta Mery Kolimon, perempuan pertama yang memimpin GMIT (dok. villagerspost.com/istimewa)

Kupang, Villagerspost.com – Suara Mery Kolimon mendadak bergetar, air matanya pun perlahan tumpah ketika dia bercerita tentang sosok yang paling dikagumi dalam hidupnya. Dialah sang ibunda, Sarlin, perempuan yang membuat Mery–yang tumbuh di lingkungan dengan budaya patriarki yang kuat– mampu menjadi tak sekadar seorang pendeta, tetapi juga Ketua Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). Sepanjang 60 tahun sejarah GMIT, Mery adalah ketua sinode perempuan pertama, setelah sebelas kepemimpinan sebelumnya selalu diduduki oleh pendeta laki-laki.

“Saya anak sulung dari tujuh bersaudara, bersyukur punya mama yang sensitif gender kuat,” kata Mery, saat ditemui Villagerspost.com, di ruang kantornya di Sinode GMIT, Kupang, Nusa Tenggara Timur, beberapa waktu lalu.

Seturut cerita Mery, secara formal, pendidikan sang ibu memang hanya sampai tingkat sekolah dasar. Namun, Sarlin, adalah perempuan yang gigih dalam menutut ilmu. Meski hanya lulusan SD, dia mengikuti pendidikan pemberdayaan masyarakat yang diadakan Yayasan Alfa-Omega, salah satu yayasan milik GMIT yang bekerja pada isu-isu pemberdayaan masyarakat, khususnya perempuan.

Dari situlah, Sarlin mengenal konsep kesetaraan gender dimana perempuan pun berhak atas pendidikan tinggi dan berhak bersuara dan mengambil keputusan di keluarga dan juga masyarakat. “Saya bersyukur punya mama yang sensitif gender, padahal Ayah saya dari Alor, Ibu dari Timor, tradisi patriarki masih kuat, kalau ada rapat perempuan hadir tetapi hanya duduk di belakang,” ujarnya.

Tak ingin anak-anak perempuannya mengalami nasib serupa, Sarlin bertekad kuat untuk memberikan pendidikan terbaik bagi semua anak-anaknya tak membedakan ketujuh anak-anaknya, lima perempuan dan dua laki-laki. “Ibu saya berkomitmen, kerja banting tulang supaya perempuan, laki-laki bisa dapat kesempatan yang sama,” katanya.

Sang ibu, kata Mery, bekerja keras membanting tulang menjadi pengumpul madu dan dijual ke Jakarta dan ke wilayah lain di Jawa. “Di sana beliau membeli baju dan tekstil untuk dijual ke kampung kami,” ujarnya.

Perempuan kelahiran Soe, 2 Juni 1972 itu bercerita, takdirnya menjadi seorang pendeta, seorang pengabar injil, juga karena doa sang ibu. “Ibu sempat empat tahun tidak punya anak, beliau bernazar kalau punya anak sulung, maka akan menjadi pendeta, jadilah saya,” kata Mery.

Dengan menjadi pendeta, selain membimbing umat, Mery juga berkesempatan menempuh pendidikan tinggi. Dia mengambil gelar master teologi di Sekolah Tinggi Teologi di Kupang dan menempuh gelar doktor di Belanda. Mengingat jasa sang ibu pada anak-anak perempuannya, Mery juga memilih menjadi seorang feminis yang memperjuangkan kesetaraan kaum perempuan khususnya untuk memperoleh pendidikan.

Pemikirannya itu dia tuangkan dalam disertasinya yang berjudul “Theology of Empowerment”. Sayangnya, Sarlin tak sempat melihat puncak kesuksesan Mery di bidang pendidikan. Saat menjelang promosi doktor, sang ibu wafat di RSCM Jakarta karena sakit. Padahal, Mery sudah memendam hasrat mengajak sang ibunda datang ke acara promosi doktor di Belanda. “Saya berutang pada perempuan Timor, kami bisa menjadi pemimpin karena ada mama-mama kami, mereka bekerja keras membanting tulang untuk kami bisa sekolah,” ujarnya sembari menyeka sisa air matanya.

Karena itu, semenjak menjadi pendeta, Mery terus berupaya memperjuangkan kesetaraan bagi kaum perempuan tak hanya di lingkup gereja tetapi juga di masyarakat pada umumnya. Tak heran jika dia menyambut baik kerjasama dengan berbagai lembaga seperti Oxfam, LBH APIK, Sanggar Suara Perempuan, Yabiku dan lembaga swadaya masyarakat lainnya, khususnya untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan.

“Kemitraan penting untuk isu keadilan gender, karena isu itu juga menjadi jantung tugas gereja, kami pahami kami terlibat dengan Allah untuk keadilan, perdamaian, kesetaraan. Itu bukan pilihan, itu kewajiban, kami harus melayani Allah untuk nilai-nilai itu,” tegas Mery.

Di lingkup gereja, Mery mendorong agar para pendeta perempuan mendapatkan peran lebih dari sekadar pekerjaan domestik. Perempuan didorong untuk bisa mengambil keputusan di gereja, majelis jemaat dan majelis pimpinan di lingkup klasis (tingkat kecamatan dan kabupaten) dan majelis sinode. Selain itu, para pendeta, khususnya pendeta perempuan juga dituntut untuk peka dalam memahami masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Memahami kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam budaya patriarki yang kuat, kata Mery, bukan perkara mudah. “Dalam budaya kami, kekerasan terhadap istri dan anak, adalah urusan domestik, ada masalah harga diri keluarga sehingga tak boleh disampaikan ke orang lain. Melapor dianggap berkhianat. Di sini perempuan yang baik adalah perempuan yang doam jangan curht ketika mengalami kekerasan,” papar Mery.

Karena itu, dalam melayani umat, para pendeta perempuan dituntut peka memahami apalah seorang perempuan telah mengalami kekerasna atau tidak karena kaum perempuan cenderung tak mau bercerita. Gereja, kata Mery, punya mekanisme untuk memecah kebisuan ini. Para rohaniwan diberi pelatihan paralegal. “Agar mereka tidak hanya fasih membaca alkitab, berkhutbah, tetapi juga peka terhadap persoalan umat, memahami jalan keluar dalam keadaan seperti itu,” ujarnya.

Gereja juga merangkul kaum muda khususnya laki-laki untuk memberikan pemahaman baru soal maskulinitas. Dalam budaya masyarakat yang kental dengan patriarkinya, lelaki dianggap maskulin ketika dia terlihat garang, kasar dan jantan. Karena itu pandangan ini diubah bahwa maskulinitas tidak harus garang atau memukul istri, maskulinitas adalah kesediaan berbagi peran dalam rumah tangga dan membangun relasi yang lebih adil untuk keluarga demi membahagiakan pasangan dan anak-anak.

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.