Neraka Buruh di Kebun Sawit (Bagian I)

Surat kontrak para pekerja sawit (dok. sawit watch)
Surat kontrak para pekerja sawit PT Satu Sembilan Delapan (dok. sawit watch)

Jakarta, Villagerspost.com – Ariel Dia (31 tahun) tak menyangka perjalanannya bersama sang istri dan delapan temannya untuk menyambut masa depan malah berakhir di “neraka”. Pada Januari 2009, Ariel dan kawan-kawan diajak oleh seseorang bernama Atisama Zandrato, seorang mandor di perusahaan sawit CV Sinar Kalimantan. Mereka dijanjikan untuk mendapat pekerjaan di kebun sawit PT Satu Sembilan Delapan yang beroperasi di desa Tasuk, Gunung Tabur, Berau, Kalimantan Timur.

Bagi Ariel yang selama ini hidup kesulitan di tanah kelahirannya di Nias, Sumatera Utara, kesempatan itu tentu tak mungkin disia-siakan. “Waktu itu, kami disodorkan surat perjanjian kerja yang isinya, menurut kami, menguntungkan dan menjamin kehidupan pekerja,” kata Ariel seperti dikutip dari dokumen hasil investigasi Sawit Watch, yang diterima Villagerspost.com, Rabu (25/2).

Setelah mempersiapkan perlengkapan, Ariel cs berangkat menggunakan kapal laut dari pelabuhan Gunung Sitoli menuju Sibolga untuk menjemput impian meraih harapan di “tanah surga” yang dijanjikan. Hanya saja, sepanjang perjalanan, beberapa keganjilan mulai tampak. Setibanya di Sibolga, tanpa sempat beristirahat, Zandrato, pimpinan perjalanan, langsung membelikan tiket bus jurusan Pekanbaru.

Setelah menempuh perjalanan darat sekitar 10 jam, rombongan pekerja ini tiba di bandara Sultan Syarif Kasim II dan langsung diterbangkan ke Balikpapan lewat Jakarta. Di Bandara Sepinggan ternyata sudah menunggu dua mobil carteran untuk membawa sepuluh buruh ini ke perkebunan sawit di site Sambarata, nama lain lokasi perkebunan PT Satu Sembilan Delapan.

Menurut keterangan Faogonasekhi Halawa yang ikut rombongan ini, setibanya di lokasi perkebunan pimpinan CV Sinar Kalimantan, M Handoyo, langsung meminta tanda tangan seluruh rombongan di atas surat perjanjian kerja. “Kami langsung mendantangani surat perjanjian kerja itu,” kata pria asal desa Lelewa’u, Nias Selatan itu.

Keanehan semakin tampak saat setelah mengumpulkan semua surat perjanjian kerja, Handoyo juga meminta Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Surat Jalan dari desa yang  dimiliki rombongan asal Nias itu diberikan padanya. “Sebagai jaminan dan pegangan pihak perusahaan untuk kelengkapan administrasi dan pembayaran gaji karyawan,” demikian kata Handoyo seperti ditirukan Ariel.

Ariel, Faogonasekhi dan kawan-kawannya mulai melihat kejanggalan lain ketiha Handoyo mengatakan bahwa gaji karyawan akan diberikan setelah kontrak kerja selesai selama 2 tahun. Untuk kebutuhan hidup buruh, pihak perusahaan akan memberikan pinjaman uang sebesar Rp 150.000,00 per bulan. Peraturan lain perusahaan sesuai dengan surat perjanjian kerja.

Mendengar itu semua anggota rombongan hanya bisa tertunduk diam dan sedih. Hari-hari neraka menjalani “perbudakan” di perkebunan sawit di era yang katanya demokratis itupun dimulai. Gambaran cerah di mula cerita, kini secara drastis menggelap dan semakin gelap seiring para buruh sawit ini menjalani hari-hari mereka yang keras.

Facebook Comments
3 Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.