Neraka Buruh di Kebun Sawit (Bagian II)

Para buruh tinggal di barak sempit dari kayu dengan makanan sekadarnya (dok. sawit watch)
Para buruh tinggal di barak sempit dari kayu dengan makanan sekadarnya (dok. sawit watch)

Jakarta, Villagerspost.com – Pada bagian pertama tulisan ini telah dikisahkan bagaimana para buruh di beberapa perkebunan sawit di Kalimantan Timur ternyata diperlakukan bak budak. Mereka bekerja dengan waktu kerja per hari yang sangat panjang tanpa fasilitas tempat tinggal, air, sanitasi dan makanan yang memadai.

Alih-alih digaji, mereka malah kerap berutang kepada perusahaan. Selain itu, mereka juga kerap mengalami siksaan fisik ketika melakukan kesalahan. Ketika harapan mulai pupus, melarikan diri adalah salah satu jalan yang dipilih para buruh untuk membebaskan diri dari perbudakan di era Indonesia yang katanya merdeka ini. Berikut kisahnya.

Melarikan Diri Dari Kebun “Neraka”

Faogonasekhi Halawa yang telah 21 bulan bekerja di perkebunan sawit milik PT Satu Sembilan Delapan berkisah, dulu rombongannya berjumlah 10 orang. Tetapi yang bertahan sampai saat ini hanya 3 orang. “Saya, Ariel dan istrinya. Tujuh orang lagi telah melarikan karena tidak tahan lagi mengalami penyiksaan dan tidak pernah mendapatkan gaji. Saya dengar kabar ada dua orang yang kabur ke Tanjung Redeb (ibukota Kabupaten Berau), sedangkan yang lain saya tidak tahu,” ujarnya.

Melarikan diri dari perbudakan di kebun sawit memang menjadi salah satu jalan bagi para buruh yang sudah tak mampu lagi menahan siksa fisik dan batin yang mendera. Menurut Toloni, seorang pekerja asal Nias, jumlah pekerja dari Nias yang sempat ia temui di perkebunan sawit di desa Tasuk, kecamatan Gunung Tabur, mencapai seratusan orang. “Tapi kini seluruhnya hanya tinggal 76 orang, termasuk anak kecil. Sisanya pergi entah kemana,” ujarnya.

Keterangan para buruh asal Nias ini diperkuat oleh kesaksian penduduk desa Bujangga yang letaknya hanya berseberangan sungai dengan perkebunan milik KLK Group (Malaysia) tersebut. Meski tak ingat pasti tanggalnya, Arman, penduduk desa Bujangga, kecamatan Tanjung, yang malam itu mendapat tugas ronda berkisah: “Saat melakukan ronda malam di bulan Ramadhan, mungkin seminggu sebelum lebaran, kami melihat ada dua orang mengendap-endap di sekitar pos ronda. Karena menyangka ada maling, kami pun menangkapnya,” ujarnya.

Menurut Arman wajah kedua orang itu terlihat lebam dan luka. “Selain lebam, wajah kedua orang itu pucat dan gemetar. Mereka mengaku melarikan diri dari PT Satu Sembilan Delapan karena tidak kuat lagi bekerja dan sering dipukuli,” ujarnya.

Cerita Arman juga diamini oleh Apri, sahabat Arman, yang malam itu kebetulan ada di pos Ronda. “Dua orang itu mengaku suami-istri. Tapi si laki-laki hanya diam saja ketika ditanyai. Justru yang perempuan yang selalu menjawab pertanyaan kami dengan terbata-bata,” kata Apri.

Setelah memberikan makanan dan minuman, penduduk desa yang malam itu melakukan ronda melaporkan hal itu ke polisi. Tak lama berselang polisi datang ke lokasi kejadian untuk menjemput kedua pekerja yang kabur tersebut.

Menurut Arman, yang juga aktivis organisasi mahasiswa KOMPI B (Komite Mahasiswa dan Pemuda/ Pemudi Berau), pertanyaan polisi ketika pertama kali tiba di pos ronda kepada sepasang suami-istri adalah apakah mereka berasal dari Nias dan bekerja di PT Satu Sembilan Delapan, kedua suami istri tadi langsung menganguk. “Kami berkesimpulan berarti polisi sudah tahu dan sudah menangani kasus ini. Perkembangan selanjutnya dari kasus ini tidak kami ketahui lagi,” lanjut Arman.

Kisah Suroso Melarikan Diri dari Perbudakan

Suroso (42 tahun) dan Triyono (21 Tahun) terlihat letih dan takut ketika ditemui di perumahan Balikpapan Regency pada 3 Oktober 2010 lalu. Penduduk dusun Pesantren, desa Mlaran, kecamatan Gebang, kabupaten Purworejo ini terpaksa melarikan diri dari lokasi perkebunan sawit milik PT Sanjung Makmur yang terdapat di kecamatan Sekatak, Bulungan, Kalimantan Timur.

Sambil menahan haru, Suroso menuturkan, ia sampai bisa bekerja di pedalaman kabupaten Bulungan atas ajakan teman lamanya bernama Kaspandi, asal kecamatan Kemiri, Purworejo. “Waktu itu Kaspandi bilang bahwa dia disuruh pimpinan PT Sanjung Makmur untuk mencari pekerja dari Jawa untuk dibawa ke Bulungan. Katanya pekerjaanya enteng, hanya merintis pembukaan kebun sawit. Gaji yang akan dibayarkan untuk melakukan pembersihan lahan tadi sebesar Rp400.000 per hektare. Tak hanya itu, perusahaan juga, katanya, akan memberikan tempat penginapan yang layak buat kami,” kisah Suroso.

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.