Bahas RUU Perkelapasawitan, Pemerintah Bela Kepentingan Investor

Asap mengepul dari lahan gambut di perbatasan lahan PT Berkat Nabati Sejahtera (IOI Group) di Ketapang, Kalimantan Barat (dok. greenpeace/ulet ifasanti)
Asap mengepul dari lahan gambut di perbatasan lahan PT Berkat Nabati Sejahtera (IOI Group) di Ketapang, Kalimantan Barat (dok. greenpeace/ulet ifasanti)

Jakarta, Villagerspost.com – Tim Advokasi Keadilan Perkebunan kembali menegaskan penolakan mereka atas pembahasan Rancangan Undang-Undang Perkelapasawitan oleh pemerintah dan DPR. Seperti diketahui, tanggal 6 Juni 2016 lalu, pemerintah dan DPR  telah menyepakati RUU tersebut menjadi salah satu Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas yang akan diselesaikan tahun 2016.

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mengatakan, dari sisi urgenisitas alias kepentingan mendesak sehingga UU itu harus lahir, RUU Perkelapasawitan sebenarnya sangat tidak dibutuhkan. “Sudah banyak UU dan peraturan turunan yang secara eksplisit mengatur perkelapasawitan,” ujarnya, dalam konferensi pers bersama tim advokasi di kantor SPI, Mampang, Jakarta Selatan, Kamis (23/6).

Dalam analisisnya, tim advokasi menilai, terdapat 41 Pasal dalam RUU tersebut yang sama dengan UU nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. “Menurut kami, draf RUU Perkelapasawitan yang tengah dirancang terkesan sangat politis, terburu-buru dan melindungi sektor kelapa sawit secara berlebihan terutama kepada pihak-pihak yang sangat serius melihat dampak sosial dan lingkungan,” ujarnya.

(Baca juga: Riau Terbakar Lagi, Greenpeace Gugat KLHK)

Beberapa pasal dalam RUU ini menurut tim advokasi hanya memberi legitimasi yang berlebihan atas dukungan pemerintah terhadap kepentingan investor. “Seperti dalam Pasal 30 dimana investor akan diberi kemudahan berupa pengurangan pajak penghasilan, pembebasan atau keringanan bea masuk impor, pembebasan atau penangguhan PPN dan keringanan Pajak Bumi dan Bangunan,” terang Henry.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Sawit Watch Jefri Saragih mengatakan, semua hal yang terjadi saat ini di sektor kelapa sawit seperti kerusakan lingkungan, kebakaran hutan dan lahan, kerusakan gambut, konflik sosial, perampasan tanah, hilangnya hak-hak masyarakat adat dan lokal belum menjadi perhatian serius pemerintah. Demikian pula dengan isu perbudakan buruh perkebunan sawit.

Kemudian pemerintah juga belum memberikan dukungannya kepada petani mandiri. “Hilangnya sumber mata pencaharian masyarakat masih terus terjadi sampai saat ini dan terus dibiarkan terjadi tanpa adanya perhatian dari pemerintah,” kata Jefri.

Malangnya, catatan praktik pelanggaran hak asasi manusia di industri sawit yang disuarakan kelompok masyarakat sipil seperti beberapa persoalan di atas, dibaca pemerintah dan investor sebagai “black campaign”. “Lewat RUU ini isu tersebut coba dihempang,” terang Jefri.

Dia menilai, pemerintah melalui RUU ini diminta untuk melakukan promosi dan kampanye positif dalam menangkal isu negatif dan upaya mendiskreditkan industri dan/atau produk sawit Indonesia. “Jadi, tugas pemerintah pun bertambah untuk mengkampanyekan produk sawit Indonesia sebagai produk yang dihasilkan dari praktik dimana tidak ada perampasan lahan, buruh perkebunan sejahtera, tidak ada pembakaran hutan dan lahan gambut dan sebagainya,” ujarnya.

Sementara itu Mansuetus A Hanu dari Serikat Pekerja Kelapa Sawit (SPKS) menilai, lewat RUU ini perhatian serius pemerintah saat ini adalah bagaimana agar sektor ini dapat dengan mudah berkembang pesat di Indonesia tanpa adanya tekanan dan gangguan dari para pihak yang serius memperhatikan dampak sosial dan lingkungan dari sektor ini. “Karena itu kami mendesak pemerintah menghentikan pembahasan RUU Perkelapasawitan,” tegasnya.

Tim advokasi yang terdiri dari SPKS, Sawit Watch, SPI, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Aliansi Petani Indonesia (API), Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa), dan Farmer Initiatives for Ecological Livelihood and Democracy (FIELD) menegaskan, pemerintah sebaiknya merevisi UU Perkebunan yang banyak mengesampingkan hak-hak masyarakat. Mereka juga mendesak pemerintah untuk melakukan audit perizinan kepada semua perusahaan perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia.

Tim advokasi juga mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera mengeluarkan kebijakan tertulis tentang Moratorium Sawit. Selain itu, DPR juga didesak tak membawa sektor ini ke ranah politik. (*)

Ikuti informasi terkait sawit >> di sini <<

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.