Indonesia dalam Ancaman Polusi Batubara

PLTU Batubara Labuan 2 yang keberadaannya diprotes nelayan karena merusak lingkungan (dok. greenpeace indonesia)

Jakarta, Villagerspost.com – Greenpeace Indonesia hari ini, Jumat (9/2) mengirimkan tanggapannya terhadap draf revisi PermenLH 21/2008 kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia yang mengatur baku mutu emisi (BME) PLTU Batubara di Indonesia. Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu mengatakan, revisi ini adalah sebuah permulaan yang bagus yang diambil oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Kita melihat niat baik dari pemerintah untuk memperketat emisi dari pembangkit-pembangkit kotor yang selama ini telah mengancam kesehatan masyarakat. Meski banyak hal yang masih harus dikritisi,” kata Bondan, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com.

Dalam draf pertama revisi PermenLH 21/2008, telah terlihat penurunan standar BME dibanding angka yang tertera pada peraturan lama. Namun, angka yang direvisi masih tetap jauh tertinggal dibanding negara-negara lain yang baru-baru ini juga merevisi peraturannya, seperti China, India, juga negara-negara di Uni Eropa.

Khususnya pada klasifikasi 1 yang mencakup PLTU batubara lama yang beroperasi sebelum 2008 dan klasifikasi 2 yang mencakup PLTU batubara yang direncanakan dan yang mulai beroperasi sampai Desember 2020. Kemudian dalam draf ini, masih mengizinkan pelepasan emisi SO2, NO2 dan PM rata-rata 2,5 kali lipat dibanding standar BME negara-negara lain.

Hal ini menjadi poin kritis dan krusial bagi Greenpeace Indonesia mengingat sebesar 77% dari total PLTU batubara akan masuk dalam klasifikasi 1 dan 2 dengan standar BME yang masih lemah. Sedangkan hanya 23% atau setara dengan 12GW yang akan berada dalam standar BME yang ketat, apabila kita mengikuti daftar yang tertuang dalam RUPTL 2017-2026.

“Masyarakat akan terus terancam kesehatannya apabila PLTU batubara lama dan yang baru saja beroperasi ini tidak diperketat BME-nya. Ancaman ini akan terus ada sampai 30 tahun ke depan selama masa beroperasinya PLTU batubara tersebut,” tambah Bondan.

Greenpeace menyadari sepenuhnya implikasi biaya dari pengontrol emisi yang harus dipasang oleh pembangkit batubara. “Ini adalah tentang pertimbangan pengalokasian dana yang paling bijak yang harus diputuskan oleh pemerintah,” tambah Bondan lagi.

Situasi kelebihan pasokan listrik yang diperkirakan akan menimbulkan kerugian negara sebesar 1000 triliun rupiah apabila pembangunan PLTU batubara dalam rencana 35000 MW terus dilanjutkan, adalah pengalokasian keuangan yang sangat berisiko.

“Dibanding mendanai pembangunan PLTU batubara yang nantinya hanya akan terbuang percuma, pemerintah dapat mempertimbangkan skema pendanaan yang transparan untuk pengontrol emisi di PLTU batubara lama yang teramat sangat kotor. Ini adalah pertaruhan nyawa dari ribuan masyarakat Indonesia, yang tidak seharusnya menderita karena pilihan energi yang salah,” lanjut Bondan.

Paradigma berpikir bahwa batubara murah sudah tidak lagi tepat. Ongkos kesehatan yang selama ini ditanggung masyarakat membuat batubara adalah pilihan energi yang mahal. Yang menjadi alasan utama Cina berusaha secepat mungkin mengembangkan energi terbarukan dari surya dan angin, adalah bencana polusi yang menjadi permasalahan besar di negara tersebut. Sebagaimana yang kita saksikan dengan India di musim dingin tahun lalu.

Selama Indonesia masih terus bergantung pada batubara, perdebatan tentang harga tidak akan pernah usai. Belum lagi kalau harus mengakomodasi keinginan PLN yang memasukkan harga batubara acuan (HBA) dalam komponen tarif listrik. Di sisi lain harga energi terbarukan seperti surya menurun tajam dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, diperkirakan menurun sampai Rp400/kWh.

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.