Legalkan Trawl, Keputusan Pejabat Gubernur Kaltara Harus Dianulir

Alat tangkap trawl merusak lingkungan laut, diantaranya membunuh spesies terlindungi seperti hiu (dok. wwf.or.id)
Alat tangkap trawl merusak lingkungan laut, diantaranya membunuh spesies terlindungi seperti hiu (dok. wwf.or.id)

Jakarta, Villagerspost.com – Pejabat Gubernur Kalimantan Utara Drs. Triyono Budi Sasongko, M.Si., memutuskan untuk melegalkan penggunaan alat tangkap ikan Pukat Hela (trawl) di wilayah perairan Kalimantan Utara. Pejabat Gubernur yang dilantik pada 22 April 2015 ini beralasan, penggunaan trawl sangat cocok untuk kondisi perairan Kalimantan Utara yang berlumpur dan sedikit memiliki karang.

Triyono menambahkan, dengan adanya aktivitas kapal-kapal yang memakai trawl akan membatasi praktik pencurian ikan oleh kapal-kapal asing serta melindungi nelayan tradisional Indonesia. Selain itu, keputusan ini diklaim akan menjaga keutuhan wilayah perairan dan kedaulatan RI akan terjaga.

Menanggapi legalisasi trawl di Kaltara ini, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim menyatakan, alasan yang dikemukakan Pejabat Gubernur Kaltara itu, merupakan bentuk pembohongan publik. Menurut Halim, Triyono telah menyederhanakan dampak pemakaian alat tangkap trawl terhadap kelestarian sumber daya pesisir dan laut di Kalimantan Utara.

“Di Kalimantan Utara pemilik kapal ikan yang memakai alat tangkap trawl sebanyak 2.862 kapal. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pemakaian alat tangkap trawl berakibat pada menurunnya sumber daya ikan dan mengancam kelestarian lingkungan sumber daya ikan,” ungkap Halim dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Jumat (8/1).

Halim menambahkan, fakta di lapangan juga menunjukkan kapal-kapal ikan yang memakai alat tangkap trawl beroperasi di wilayah pesisir antara 50-100 meter dari garis pantai. Akibatnya, nelayan tradisional terganggu aktivitasnya.

Pernyataan Triyono yang menyebutkan aktivitas kapal-kapal trawl akan turut menjaga keutuhan wilayah perairan dan kedaulatan Republik Indonesia dinilai oleh Abdul Halim tak sesuai dengan fakta di lapangan. “Pernyataan tersebut jauh panggang dari api,” tegas Halim.

Abdul Halim memaparkan hasil penelitian yang dilakukan oleh KIARA tahun 2015 menunjukkan, kepemilikan alat tangkap trawl di Nunukan (sebanyak 1.030 unit usaha penangkapan ikan) dan Tarakan (sebanyak 1.136 unit usaha penangkapan ikan) bukan milik nelayan tradisional (lokal). Kapal-kapal trawl itu semuanya adalah milik toke dari Sabah dan Tawau, Malaysia.

“Relasi ini sudah berlangsung sejak lama. Dalam relasi inilah, pemilik kapal dan pekerja perikanannya tidak memiliki posisi tawar,” urai Halim.

Abdul Halim menyampaikan beberapa rekomendasi kepada Penjabat Gubernur Kalimantan Utara terkait legalisas trawl ini. Pertama, KIARA mengingatkan legalisasi trawl di wilayah perairan di Indonesia tidak memiliki landasan hukum.

Halim menerangkan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 6 Tahun 2008 tentang Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara sudah dicabut. Demikian pula dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 2 Tahun 2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.

KKP telah menerbitkan aturan pengganti yaitu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Kedua, masyarakat internasional melalui FAO menyepakati Tata Laksana untuk Perikanan yang Bertanggung Jawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries). Tata Laksana ini mendorong setiap negara untuk melarang praktik penangkapan ikan yang menggunakan bahan peledak, bahan beracun serta praktek penangkapan yang merusak ekosistem laut.

Namun demikian, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berkewajiban untuk merancang teknologi tepat guna yang dapat digunakan oleh nelayan kecil (versi UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan) dan pelaku perikanan di atas 5 GT demi mendapatkan hasil yang terbaik dan tetap melestarikan wilayah tangkapan ikan (fishing ground).

Ketiga, meskipun mengalami penurunan anggaran lebih kurang Rp400 miliar, dari Rp1,69 triliun pada tahun 2014 menjadi Rp1,2 triliun di 2015, Pejabat Gubernur Kalimantan Utara mestinya tetap memfasilitasi pelaku usaha perikanan di Provinsi Kalimantan Utara, khususnya nelayan kecil. Ini, kata Halim, merupakan amanat UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.

Keempat, Pejabat Gubernur Kalimantan Utara mestinya belajar dari negara-negara tetangga, seperti Filipina dan Malaysia, yang melarang penggunaan alat tangkap trawl dikarenakan dampak negatifnya terhadap kelestarian ekosistem pesisir (12 mil) dan laut.

Berdasarkan empat rekomendasi tersebut, Abdul Halim mendesak Triyono untuk menganulir keputusan diperbolehkannya pemakaian alat tangkap trawl di wilayah perairan Kalimantan Utara. “Tak ada pilihan lain, jika Pejabat Gubernur Kalimantan Utara berpihak terhadap nasib nelayan tradisional (lokal), ia harus menganulir keputusan itu,” pungkas Halim.

Pada Jum’at (8/1), KIARA telah mengirimkan surat yang ditujukan kepada Drs. Triyono Budi Sasongko, M.Si., selaku Pejabat Gubernur Kalimantan Utara. Dalam surat itu KIARA meminta Triyono menganulir keputusan diperbolehkannya pemakaian alat tangkap trawl di perairan Kalimantan Utara. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.