Masyarakat Cirebon Gugat Izin Lingkungan PLTU Cirebon

Aksi aktivis Walhi dan Greenpeace menentang pembangunan PLTU Cirebon (dok. walhi)
Aksi aktivis Walhi dan Greenpeace menentang pembangunan PLTU Cirebon (dok. walhi)

Jakarta, Villagerspost.com – Masyarakat terdampak pembangunan PLTU Batubara 2 di Kanci, Cirebon, hari ini, Selasa (6/12) mengajukan gugatan terhadap Pemerintah Provinsi Jawa Barat atas diterbitkannya izin lingkungan tentang kegiatan dan pembangunan PLTU Batubara 2 yang berlokasi di kecamatan Astanajapura dan Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon. Gugatan disampaikan pada jam 8 pagi oleh Rakyat Penyelamat Lingkungan (RAPEL) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung, didampingi Tim Advokasi Hak Atas Keadilan Iklim.

Izin Lingkungan yang dimaksud diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2016 dan merupakan bagian dari rangkaian perizinan terkait rencana ekspansi PLTU Batubara tahap 2 dengan kapasitas 1x 1000MW diatas tanah seluas 204,3 hektar. Izin yang diberikan pada PT Cirebon Energi Prasarana (PT CEPR) dengan nomor. 660/10/19.1.02.0/BPMPT/2016 dinilai cacat secara substansi, prosedur dan melanggar berbagai peraturan perundangan.

Moch Aan Anwaruddin selaku koordinator RAPEL menjelaskan tidak adanya partisipasi publik maupun proses perwakilan suara masyarakat dalam proses penyusunan AMDAL dan terbitnya izin lingkungan, khususnya Desa Kanci Kulon. “Masyarakat Desa Kanci Kulon tidak pernah dilibatkan, apalagi diundang. Justru masyarakat nelayan kami walau tanpa undangan memaksa hadir pada setiap kali ada kesempatan pembahasan, termasuk sidang AMDAL yang dilakukan di Bandung untuk menyatakan ketidaksetujuan kami atas rencana pembangunan ekspansi PLTU tahap 2 tersebut,” ujar Aan dalam pernyataan tertulis yang diterima Villagerspost.com, Selasa (6/12).

Muhnur Sathaya Prabu.SH, salah seorang tim kuasa hukum masyarakat mengatakan, Izin Lingkungan ini digugat karena Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah menabrak sejumlah peraturan perundangan. Pertama, UU Nomor 26/2007 tentang penataan ruang. Kedua, UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Kemudian, pemberian izin lingkungan itu juga menabrak beberapa aturan lain seperti, PP No. 27/2012 tentang Izin Lingkungan, PerMen LH 16/2012 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Lingkungan Hidup dan PerMen LH 17/2012 tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat dalam Proses Analisis Dampak Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan. “Oleh karena itu, izin tersebut tidak sah dan harus dibatalkan demi hukum, ditambah dalam penerbitannya telah melanggar dan tidak memperhatikan asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik,” kata Munhur.

Selain alasan hukum, masyarakat juga mengajukan gugatan dengan alasan karena izin lingkungan memungkinkan diteruskannya pembangunan PLTU Batubara Cirebon. Sebagai akibat dari pembangunan PLTU, seperti yang ditemukan dari PLTU Batubara 1 yang sudah berdiri, banyak nelayan kecil pencari ikan, rebon, kerang, pengrajin terasi dan petambak garam terancam kehilangan mata pancahariannya.

Hampir seluruh penduduk masyarakat Desa Kanci Kulon bergantung dengan sumber daya laut dan pesisir. Berbagai jenis kerang seperti embet, empot ayam, ukon, rebon, jenis ikan blanak, sepak, mujair, betok, ketang-ketang, blodog, baji–baji, kerong–kerong, kapasan, dan keting saat ini sudah jarang ditemui.

Kerusakan dan pencemaran PLTU Batubara 1 sudah sangat berdampak pada masyarakat kanci apa lagi jika ditambah dengan PLTU Batubara 2. Selain itu rencana pembangunan ini telah menimbulkan konflik dan kerusakan parah pada sistem sosial masyarakat.

Manajer Advokasi dan Kampanye WALHI Jawa Barat Wahyu Widianto mempertanyakan kebijakan pemerintah pusat terkait PLTU Batubara. “Kebijakan pemerintah pusat membangun tambahan 35.000 megawatt (MW) pembangkit listrik baru di mana sebanyak 22 GW berasal dari PLTU batubara menyebabkan terabaikannya hak rakyat atas lingkungan, hak atas akses terhadap sumberdaya alam yang memungkin mereka untuk hidup dan bertahan, termasuk tanah,pangan, air dan udara. Maka, Izin Lingkungan tersebut harus dicabut,” tegasnya.

Ditambah lagi, dengan diundangkannya UU Nomor 16/2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa–Bangsa mengenai Perubahan Iklim). Lewat UU tersebut, pemerintah Indonesia diminta agar kebijakan sektor energi dapat mencerminkan kewajiban untuk melakukan pembatasan dan pengurangan emisi gas rumah kaca sebagaimana yang sudah menjadi komitmen Indonesia kepada dunia internasional.

“Oleh karena itu Presiden Joko Widodo diminta agar meninjau ulang dan menghentikan rencana pembangunan proyek-proyek PLTU batubara di Indonesia, khususnya di Indonesia,” pungkas Wahyu. (*)

Ikuti informasi terkait PLTU batubara >> di sini <<

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.