Masyarakat Sipil Kecam Perusakan Laut dan Perampasan Ruang Hidup Warga Pesisir Makassar

Aksi menolak reklamasi Pantai Losari Makassar dok. change.org)

Jakarta, Villagerspost.com – Gerakan masyarakat sipil mengecam aksi perusakan laut dan perampasan ruang hidup masyarakat sipil di Makassar, Sulawesi Selatan yang terjadi akibat adanya proyek reklamasi pantai Makassar. Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati mengatakan, perusakan laut dalam proyek ini terjadi karena pengembang mengeruk pasir dari kawasan lain.

Susan menegaskan, fakta di lapangan menunjukkan, untuk memenuhi kebutuhan material pasir, pengembang yang telah mendapatkan konsesi mengambilnya dari sejumlah pulau kecil yang berada di sekitar perairan Sulawesi Selatan, salah satunya adalah Pulau Gusung Tangaya dan Kabupaten Takalar. Pengambilan material pasir dalam jumlah yang sangat banyak dilakukan oleh perusahaan pengeruk pasir laut asal Belanda, Royal Boskalis berdasarkan tender yang diberikan otoritas setempat.

“Perusahaan yang melakukan pengerukan pasir di laut Takalar yaitu Royal Boskalis merupakan perusahaan yang juga mendapatkan tender untuk pekerjaan yang sama dalam proyek Reklamasi Teluk Jakarta. Perampasan pesisir kita terstruktur dan massif terjadi di 16 titik area pesisir Indonesia,” ujar Susan dalam pernyataan tertulis yang diterima Villagerspost.com, Minggu (25/6).

Kapal Fairway pengeruk pasir laut milik Royal Boskalis memiliki kapasitas angkut sebesar 35.000 kubik atau setara dengan 5833 mobil truk dengan kapasitas enam kubik. KIARA mencatat pencurian pasir di Laut Takalar dalam 2 hari 3 malam saja dengan lima kali bongkar muat pasir mencapai 175.000 kubik atau setara dengan 29.167 mobil truk kapasitas enam kubik. Pada saat bersamaan, keuntungan finansial dari sekali keruk dan bongkar muat mencapai Rp3,5 miliar.

Artinya, perusahaan mendapatkan keuntungan finansial sebesar Rp17,5 miliar dari 5 kali bongkar muat. “Pengambilan pasir laut dalam jumlah yang sangat besar ini berdampak terhadap kerusakan laut di lokasi yang menjadi tempat pengambilan material pasir dan berdampak pada 4.690 kepala keluarga dari masyarakat pesisir yang tinggal di pantai Makassar,” ungkap Susan Herawati.

Seperti diketahui, reklamasi pantai Makassar ini merupakan proyek ambisius Pemerintah Kota Makasar sekaligus Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yang ingin menjadikan pesisir Makassar sebagai Water Front City melalui proyek Center Point of Indonesia (CPI). Dalam perjalanannya, masyarakat banyak yang memprotes kebijakan ini. Namun, aparat keamanan justru menahan tiga warga pesisir Makassar yang melakukan aksi penolakan penambangan pasir laut di sekitar Pulau Tanakeke dan Sanrobone, Takalar, Sulawesi.

Untungnya, ketiga warga pesisir itu akhirnya dibebaskan pada tanggal 23 Juni 2017. “Penahanan tiga orang masyarakat pesisir merupakan dampak penolakan keras masyarakat terhadap proyek reklamasi,” tegas Susan.

Dia juga menilai, dari sisi kebijakan, proyek reklamasi di Makassar memiliki kecacatan konstitusional yang serius. Hampir empat tahun Rencana Peraturan Daerah (Ranperda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Makasar mengalami tarik ulur karena benbenturan dengan sejumlah aganda politik ruang kepentingan bisnis properti. Dan pada saat disahkan pada tahun 2016 lalu, dalam Perda RTRW Kota Makasar, 4500 ha alokasi ruang pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi sasaran reklamasi tanpa pembahasan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K).

Sejumlah peraturan perundangan menegaskan keharusan adanya RZWP3K dalam pengelolaan ruang pesisir dan pulau-pulau kecil yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat pesisir. “Di dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2007 dan Revisinya Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta Putusan Mahkamah Kontisusi No. 3 Tahun 2010 dimandatkan secara tegas rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebelum melakukan pemanfaat ruang pesisir dan pulau-pulau kecil, pungkas Susan.

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.