Pembatasan Tangkap Ikan di Zona 0-4 Mil Jadi Polemik

Nelayan menangkap ikan dengan alat pancing ramah lingkungan (dok. kkp.go.id)
Nelayan menangkap ikan dengan alat pancing ramah lingkungan (dok. kkp.go.id)

Jakarta, Villagerspost.com – Kementerian Kelautan dan Perikanan bakal menerapkan pembatasan penangkapan ikan di wilayah 0-4 mil dari garis pantai. Wilayah tersebut oleh KKP akan ditetapkan sebagai wilayah konservasi. Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan Ditjen Perikanan Tangkap KKP Toni Ruchimat mengumumkan rencana kebijakan itu, Senin (21/12) kemarin.

“Melihat 0 hingga 4 mil, tidak menutup kemungkinan masih ada daerah untuk penangkapan dan pengelolaan ikan,” kata Toni seperti dikutip, kkp.go.id.

Menurutnya, peluncuran program konservasi di zona 0-4 mil dilakukan agar sumber daya ikan di kawasan tersebut bisa lestari dan beregenerasi demi menjamin kelangsungan habitat ikan dan penunjangnya seperti terumbu karang. Meski begitu, kata dia, pemerintah tak melarang aktivitas penangkapan ikan seluruhnya.

“Hanya saja dibatasi, mulai dari kapal yang boleh menangkap hanya di bawah 10 GT (Gross Ton) sampai pembatasan alat tangkapnya karena tujuannya kan perikanan berkelanjutan,” terangnya.

Pada kesempatan berbeda, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Narmoko Prasmadji menambahkan, tahun depan KKP akan mengatur aktivitas penangkapan ikan, baik yang dilakukan oleh nelayan kecil maupun pengusaha ikan dengan kapal besar. Langkah ini dilakukan guna mengimplementasikan sejumlah aturan guna menjaga kelestarian ekosistem laut.

“Berdasarkan angka scientific yang saya dapat, produksi ikan tangkap tahun depan bahkan bisa di atas 8 juta ton. Maka dari itu harus kita optimalkan namun juga patut dikendalikan,” ujarnya.

KKP sendiri telah menargetkan 20 juta hektare (Ha) kawasan konservasi laut di Indonesia pada 2020. Saat ini, jumlah kawasan konservasi telah mencapai 16 juta Ha yang terletak di zona 0-4 mil.

Beratkan Nelayan

Kebijakan KKP yang akan membatasi penangkapan ikan di wilayah 0-4 mil dari garis pantai ini segera mengundang kontroversi. Para nelayan umumnya keberatan dengan rencana pemerintah itu.

Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jawa Barat Ono Surono mengatakan, kebijakan ini bakal memukul pendapatan nelayan. Dia mengungkapkan sekitar 80 persen nelayan di Jawa Barat menangkap ikan di wilayah 0-4 mil dari tepi pantai.

Karena itu dia meminta agar KKP mengkaji lebih dulu sebelum menerapkan kebijakan itu. “Tidak semua laut memiliki kedalaman yang sama, sehingga banyak nelayan kecil yang menangkap ikan di zona kurang dari 4 mil,” katanya beberapa waktu lalu.

Ono mengatakan banyak kebijakan KKP sebelumnya yang juga pada gilirannya membuat nelayan menjerit. Misalnya soal pelarangan penangkapan kepiting sebelum mencapai berat tertentu. Juga soal pelarngan alat tangkap cantrang. “Seharusnya KKP belajar dari penerbitan aturan sebelum-sebelumnya yang masih mendapatkan penolakan dari mayoritas nelayan,” katanya.

Peraturan-peraturan kontroversial yang lalu-lalu, kata Ono, belum ada penyelesaiannya karena masih ditolak nelayan. Karena itu dia meminta agar KKP tidak menambah beban baru.

Seharusnya, kata Ono, pemerintah justru membuat program yang memberdayakan nelayan seperti pendidikan dan pelatihan kepada masyarakat pesisir dan nelayan tentang maritim dan teknologi penangkapan. Atau memberikan dan mempermudah proses sertifikasi nelayan, medorong dan membangun sekolah maritim, serta optimaslisasi peran dan fungsi lembaga nelayan.

Hal senada juga disampaikan Pendiri Indonesia Audit Watch (IAW) Junisab Akbar. Dia meminta Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti untuk mengkaji pelarangan penangkapan ikan di zona laut 0-4 mil. “Kebijakan ini dapatĀ  menurunkan angka penerimaan negara, terutama pemerintah pusat, pemerintah daerah dan industri,” katanya, Minggu (20/12).

Bahkan Junisab meminta agar Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli jangan mendiamkan kebijakan Susi yang mendapat penolakan begitu besar dari nelayan. Junisab meminta Rizal meneliti materi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 75 tahun 2015 tentang Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor kelautan dan perikanan.

“Bagaimana proses bahan PP yang diajukan Susi tega menaikkan pajak di bidang perikanan sampai sebesar 1.000 persen,” ujar Junisab.

Jika PP itu dijalankan, kata Junisab, akan berimbas bagi masyarakat nelayan dan tentu dapat mematikan industri perikanan itu sendiri. Bahkan beleid ini, dalam prediksinya, akan membangun kebencian masyarakat kepada Presiden Joko Widodo.

Karena itu dia mendesak Rizal Ramli melakukan audit kinerja terhadap anak buah Susi di KKP. “Mengapa mereka sampai tidak bisa mengimplementasikan penyerapan APBN. Toh, kan Susi yang mempersiapkan segala hal terkait program dan proyek KKP yang harus dibiayai APBN. Jadi, kalau tidak terserap, iya itu salah Susi,” tegasnya.

Dia menyindir Susi yang di satu sisi tidak menyerap APBN untuk KKP secara maksimal sehingga sampai mengembalikan kelebihan anggaran sebesar Rp2 triliun. Namun di sisi lain, Susi malah berupaya menggenjot PNBP. Kata Junisab PNBP KKP sangat rendah bahkan lebih rendah dalam 10 tahun terakhir.

Lindungi Sektor Perikanan

Pihak KKP sendiri langsung menanggapi kritik yang dilontarkan terkait kebijakannya itu. Narmoko Prasmadji mengatakan, aturan pelarangan tangkap di zona 0-4 mil diberlakukan justru untuk aturan ini justru untuk melindungi sektor perikanan dan melindungi nelayan kecil.

“Daerah terumbu karang dan padang lamun berada pada kawasan di bawah 4 mil, di mana kawasan ini merupakan daerah pemijahan, pengasuhan dan pembesaran serta merupakan rantai makanan yang paling penting,” kata Narmoko seperti dikutip kkp.go.id, Selasa (22/12).

Narmoko juga mengatakan wilayah ini menjadi menjadi prioritas untuk nelayan kecil agar wilayah-wilayah tersebut tetap terpelihara kelestariannya. Oleh karena itu, tambah Narmoko, pemerintah tidak mungkin memberikan izin penangkapan ikan skala besar untuk melestarikan keberlanjutan ikan.

“Khusus untuk wilayah tangkap di wilayah Indonesia ini kita punya aturan baik yang terkait dengan Keputusan Menteri maupun juga perundang-undangan yang lain, dan pada prinsipnya secara ekologi maupun ekosistem wilayah yang berada di bawah 12 mil itu merupakan wilayah dimana ikan melakukan proses regenerasi atau biasa dikenal dengan Spawning Ground,” terang Narmoko.

Narmoko mengaku tidak tahu persis apa yang dimaksud oleh Junisab Akbar melalui pernyataannya terkait dengan skala industri itu. “Apakah nantinya diinginkan dengan pemberian izin bagi kapal diatas 30 GT untuk lebih mendekat ke 4 mil? Jika seperti itu, saya kira ini pasti akan sangat riskan bagi kepentingan ekosistem karena di kawasan tersebut banyak kendala yang harus kita perhatikan terkait dengan prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan dan juga keberlanjutan produksi,” pungkas Narmoko. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.