Perkebunan Sawit Aktor Utama Penyebab Bencana Asap

Peta sebaran titik api di Riau. Perkebunan sawit masih menjadi aktor utama bencana asap (dok. sawit watch)
Peta sebaran titik api di Riau. Perkebunan sawit masih menjadi aktor utama bencana asap (dok. sawit watch)

Jakarta, Villagerspost.com – Bulan September, bulan berasap. Sawit Watch mencatat, sampai dengan awal September 2015 terdapat 1062 titik api di areal perkebunan kelapa sawit yang ada di seluruh Indonesia. Dampak nyata dari kebakaran hutan dan lahan ini adalah bencana asap yang berimplikasi langsung pada gangguan pernapasan (ISPA) dan gangguan transportasi khususnya untuk jalur udara.

Penyebab utama maraknya kabut asap ini adalah terbakarnya lahan gambut yang berada di areal perkebunan kelapa sawit secara masif. Perkebunan kelapa sawit adalah aktor utama penyebab bencana asap ini. Kebakaran lahan gambut lebih berbahaya daripada kebakaran di lahan kering atau tanah mineral.

Kebakaran lahan gambut terjadi di dua lapisan, yaitu lapisan bagian vegetasi (bagian atas) dan lapisan gambut (bagian bawah tanah). Kebakaran di lapisan bawah cenderung bertahan lebih lama dibanding di atas. Pembakaran di bawah tanah adalah pembakaran yang tidak sempurna, maka menghasilkan asap yang sangat tebal

Pemantauan satelit Modis yang dilakukan Sawit Watch pada periode 1-6 September, khusus untuk wilayah Riau terdapat sekitar 80 titik api di dalam perkebunan kelapa sawit, yang 61 di antaranya berada di lahan gambut, jumlah ini naik dari September 2014 yang hanya berjumlah 11 titik api. Di Jambi ada 175 titik api di dalam perkebunan kelapa sawit, yang 167-nya ada di kawasan lahan gambut.

Sedangkan tahun lalu belum ditemukan titik api di perkebunan kelapa sawit di Jambi. Penyebab utama naiknya jumlah titik api tiap tahunnya adalah minimnya keseriusan perusahaan perkebunan kelapa sawit untuk mengelola perkebunan mereka secara berkelanjutan.

Praktik-praktik pengelolaan perkebunan kelapa sawit cenderung mengambil langkah praktis dan efisien, tanpa memperhitungkan dampak lingkungan dan sosialnya menjadi hal biasa yang dilakukan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Komitmen terhadap berbagai skema keberlanjutan dalam bisnis kelapa sawit hanya menjadi penyejuk bagi pasar tanpa adanya tindakan nyata dari komitmen yang dibangun tersebut.

“Perusahaan cenderung gegabah dan mengambil jalan pintas, tanpa melakukan reformasi dalam pengelolaan perkebunan. Perusahaan lebih mementingkan kepentingan pasar dengan mengikuti berbagai skema keberlanjutan tanpa adanya implementasi nyata dalam menerapkan komitmen mereka,” kata  Direktur Eksekutif Sawit Watch Jefri Saragih, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Jumat (11/9).

Beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit yang diindikasikan menjadi lokasi titik-titik api tergabung dalam grup besar di RSPO (Roundtable on Sustainble Palm Oil) dan IPOP (Indonesian Palm Oil Pledge) yang memiliki standar prinsip dan kriteria keberlanjutan dan lestari yang tinggi. Ini menandakan juga bahwa komitmen mereka untuk mengikuti standar tinggi tersebut masih lemah.

“Hal ini sangat disayangkan, karena perusahaan anggota juga yang turut menyusun standar tersebut. Artinya perusahaan tidak konsisten. RSPO dan IPOP juga seharusnya menindak tegas pelanggaran anggotanya,” kata Kepala Departemen Sosial Sawit Watch Harizajudin, .

Dari sisi hukum, Pemerintah Indonesia memiliki beberapa pilihan dalam menjerat badan usaha yang usaha dan/atau kegiatannya diduga menjadi penyebab terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan. Misalnya melalui UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mengakomodir tiga jalur peradilan, yakni pidana, perdata, dan administrasi.

Penyelesaian perkara melalui tiga jalur peradilan tersebut dapat memberikan efek jera dan juga membebankan biaya pemulihan kerusakan lingkungan kepada badan usaha yang melakukan pembakaran hutan dan/atau lahan.

Jika pemerintah Indonesia telah gagal melakukan pencegahan terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan pada tahun ini, maka setidaknya penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan dan/atau lahan harus dilakukan dan harus tepat sasaran.

Penegakan hukum yang tepat sasaran tersebut menjadi hal yang penting karena kegagalan menegakkan hukum memiliki dua akibat yang merugikan. Pertama, kegagalan tersebut tidak memberikan keadilan bagi para korban dan efek jera bagi pelaku pembakaran.

Dengan kegagalan penegakan hukum ini, maka praktik pembakaran hutan akan terus terjadi, tanpa ada perubahan perilaku yang signifikan bagi para pengusaha atau mereka yang terlibat dalam pembakaran hutan.

Kedua, dari konteks hukum internasional, kegagalan penegakan hukum ini dapat dijadikan alasan bagi negara lain untuk menunjukkan bahwa Indonesia telah gagal mengambil due diligence guna mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerugian/pencemaran lintas negara. Hal ini penting terutama mengingat Pemerintah Indonesia pada September tahun lalu telah meratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP).

“Jangan juga dilupakan bahwa berdasarkan Prinsip 2 Deklarasi Rio (Rio De Janeiro-red), Pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk mencegah terjadinya pencemaran lintas negara (obligation to prevent transboundary injury),” tegas Jefri Saragih.

Dampak negatif asap ini sangat dirasakan oleh masyarakat Riau dan Jambi. Selain kegiatan sehari-hari mereka yang terganggu, kesehatan mereka juga terancam. Sampai saat ini, pemerintah juga masih belum jelas dalam menanggulangi bencana asap ini dan penegakan hukum terhadap perusahaan yang terindikasi melakukan pembakaran lahan.

Untuk itu, Sawit Watch menuntut pemerintah melaksanakan beberapa hal. Pertama, penegakan hukum oleh pemerintah dengan jalan pencabutan izin dan tindak pidana terhadap pihak perusahaan yang bertanggung jawab.

Kedua, pemerintah harus meminta maaf atas bencana yang berulang tiap tahun ini. Ketiga, pemerintah dan perusahaan memberikan pengobatan gratis kepada masyarakat yang kesehatannya terganggu akibat asap ini.

Keempat, perusahaan yang terindikasi terdapat kebakaran di wilayah konsesinya agar bertanggung jawab dan membayar kompensasi atas kerugian yang dialami masyarakat. Kelima, RSPO mencabut sertifikat yang telah diberikan kepada perusahaan yang terbukti di atas lahannya terdapat titik api. Dan tidak memberikan sertifikat kepada perusahaan yang membakar dalam jangka waktu tertentu.

“Terakhir, IPOP harus memastikan di lahan perusahaan yang ikut bergabung di dalamnya tidak terjadi pembakaran lahan. Apabila didapati ada titik api di konsesi tersebut, IPOP harus mengumumkannya kepada publik,” tegas Jefri. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.