Rabobank: Penanaman Kembali Berkelanjutan Penting untuk Hadapi Era Lonjakan Harga Sawit

Perkebunan sawit di Indonesia (dok. kementerian bumn)

Jakarta, Villagerspost.com – Harga minyak sawit global diperkirakan akan memasuki periode yang terus meningkat paska tahun 2021. Prediksi kenaikan harga ini terjadi karena diproyeksikan akan terjadi penurunan produksi di Indonesia dan Malaysia, dua produsen global terbesar, antara tahun 2022 hingga 2025.

Menandai era saat ini dimana pasokan minyak sawit sangat melimpah, Rabobank meluncurkan laporannya yang bertajuk “A Palm Storm is Brewing” atau menuju terjadinya era badai sawit, hari ini Rabu (6/6). Laporan tersebut berisi ramalan terkait permintaan-penawaran minyak sawit global dan perkiraan harga di masa depan.

Laporan itu memperkirakan, ke depan akan terjadi penurunan produksi minyak sawit akibat penurunan hasil Tandan Buah Segar (TBS). Penurunan produksi TBS terjadi karena terbatasnya lahan yang tersedia untuk ekspansi, dan kegiatan penanaman kembali yang tidak memadai di kedua negara produsen sawit terbesar tersebut.

Oscar Tjakra, Analis Senior Rabobank menjelaskan, umumnya dibutuhkan waktu empat tahun untuk tanaman kelapa sawit menjadi layak secara komersial yaitu mampu menghasilkan hampir 10 ton TBS per hektare. Ini akan mencapai puncaknya antara 9 sampai 17 tahun, dan menghasilkan di atas 25 ton TBS per hektare.

“Hasil TBS akan menurun di bawah 15 ton per hektare karena pohon-pohon sawit menjadi lebih tua dari 25 tahun. Saat ini di Malaysia dan Indonesia, kami memperkirakan bahwa sekitar 36% dan 9% sawit lebih tua dari 25 tahun,” kata Oscar dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com.

Laporan itu juga mengungkapkan, konsumsi minyak sawit global akan tumbuh pada Laju Pertumbuhan Majemuk Tahunan (Compound Annual Growth Rate-CAGR) 2,8% dari 2018 hingga 2030, dengan produksi hanya tumbuh pada CAGR 1,4%. “Hal ini menambah tekanan lebih jauh ke harga minyak sawit, terutama karena permintaan jangka panjang dari pasar domestik Asia Tenggara, India dan Afrika melampaui produksi,” terang Oscar.

Oscar Tjakra menyimpulkan, dalam waktu dekat, lingkungan harga rendah saat ini sebelum 2022 dapat menyebabkan efisiensi operasional yang lebih tinggi di perusahaan perkebunan untuk mengurangi biaya produksi, dan mempercepat konsolidasi di industri. Karena itu, kata dia, dalam jangka panjang, penting bagi produsen untuk menanam kembali perkebunan lama untuk meningkatkan pasokan di kawasan secara berkelanjutan, mengantisipasi terjadinya era lonjakan harga sawit.

“Program penanaman kembali juga penting untuk perkebunan kelapa sawit skala kecil, yang masing-masing menyumbang 39% dan 33% dari total perkebunan sawit di Indonesia dan Malaysia,” ujarnya.

“Meskipun tantangan jangka pendek seperti potensi kehilangan pendapatan selama tiga hingga empat tahun pertama periode penanaman kembali, program penanaman kembali berkelanjutan yang dapat mencegah deforestasi dan pembukaan lahan lebih lanjut penting untuk meningkatkan produksi minyak sawit global di masa depan dan meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan bagi petani kecil dalam jangka panjang,” pungkasnya.

Editor: M. Agung Riyadi

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.