RAN Luncurkan Kampanye Nasib Masyarakat di Kawasan Hutan

Kawasan gambut yang rusak di Sumatera (dok. greenpeace)

Jakarta, Villagerspost.com – Rantai pasok produk kehutanan masih dikotori oleh berbagai konflik dan pelanggaran hak asasi manusia serta kasus perampasan lahan milik warga yang tinggal di sekitar hutan. Sebagai pengingat akan masih kotornya rantai pasok produk kehutanan, Rainforest Action Network (RAN) pun meluncurkan kampanye bertajuk “Beyond Paper Promises” (Lebih Dari Sekedar Janji-janji di Atas Kertas), Jumat (26/5) di San Francisco, Amerika Serikat.

Kampanye RAN tersebut merupakan sebuah kampanye melalui situs web yang menggambarkan cerita masyarakat adat dan kelompok masyarakat yang masih hidup dalam konflik berkelanjutan dengan perusahan kertas dan pulp. Situs yang diberi nama BeyondPaperPromises.org menggunakan potret nyata dan kutipan wawancara langsung anggota masyarakat yang menceritakan kisah deforestasi dan perampasan lahan dari suara masyarakat itu sendiri.

Juru Kampanye Hutan Senior RAN Brihannala Morgan mengatakan, kampanye baru ini berusaha untuk menekankan pada fakta bahwa meskipun sebagian besar perusahaan telah berkomitmen untuk menghapuskan deforestasi di seluruh rantai pasok. Namun pelanggaran atas hak asasi manusia dan kepemilikan lahan masih terjadi dalam kegiatan operasional, dan hanya sedikit perubahan yang dirasakan oleh masyarakat yang berada di garis depan krisis deforestasi di Indonesia.

“Kenyataan dampak bagi masyarakat dan hutan di lapangan adalah ukuran nyata dimana komitmen perusahaan harus diukur. Janji untuk mengakhiri deforestasi dan mengatasi konflik hak-hak tanah yang telah berlangsung puluhan tahun hingga sekarang hampir semuanya terlihat baik dan bagus, namun faktanya sejauh ini kita hanya melihat sedikit perubahan di lapangan,” ujar Brihanna, dalam pernyataan tertulis yang diterima Villagerspost.com.

Konflik antara masyarakat dan perusahaan sudah berlangsung lama, ditandai dengan intimidasi, protes, penangkapan, bahkan pembunuhan. Di provinsi Jambi dan Sumatera Utara pulau Sumatera, Indonesia, perusahaan-perusahaan Asia Pulp & Paper (APP) dan Toba Pulp Lestari (TPL) memainkan peran yang luar biasa. Karena perusahaan-perusahaan ini berusaha memperluas perkebunan komersial untuk pasar komoditas internasional, sedangkan desa dan peternakan masyarakat setempat seringkali dianggap menjadi penghalang.

Pada Januari 2017, pertama kali dalam sejarah presiden Indonesia Jokowi mengakui hak atas wilayah adat, mengeluarkan lahan masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta di Sumatra Utara dari perkebunan Toba Pulp Lestari (TPL), dan mengakui hak sembilan kelompok masyarakat adat lainnya terhadap wilayah adat mereka. Ini banyak dilihat sebagai langkah positif oleh berbagai pihak. Namun, langkah pemerintah daerah masih lamban untuk mengakui hak atas wilayah yang sama di tingkat lokal, menyebabkan masih banyak masyarakat yang menunggu lahan mereka dikembalikan kepada mereka.

“Kami meminta pemerintah untuk melindungi kami dan mengembalikan tanah adat kami,” tegas Rentina Nababan, anggota masyarakat Aek Lung, Sumatra Utara, Indonesia, salah satu kelompok masyarakat yang diprofilkan dalam kampanye ini.

“Tanah ini adalah sumber mata pencaharian kami, dan tabungan kami agar anak-anak kami bisa sekolah. Kami juga meminta pemerintah untuk mengakui tanah kami yang sudah diwariskan secara turun temurun, jadi kami tidak takut lagi untuk berkebun di tanah kami sendiri,” ujarnya.

Nasib hutan Indonesia sudah menjadi kekhawatiran internasional selama beberapa dekade. Deforestasi, yang sebagian besar didorong oleh pengembangan industri perkebunan kayu pulp dan kelapa sawit telah membuka kawasan hutan hujan yang lebat beserta lahan gambut kaya karbon. Penggundulan hutan dan pengembangan perkebunan komoditi yang sedang berlangsung di Indonesia menyumbangkan emisi gas rumah kaca global yang besar, menjadikan Indonesia sebagai negara penghasil emisi terbesar ketiga di dunia, setelah AS dan China.

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.