Budi Kuncoro: Nakhoda Baru Oxfam

Budi Kuncoro sang nakhoda baru Oxfam (dok. Villagerspost.com)
Budi Kuncoro sang nakhoda baru Oxfam (dok. Villagerspost.com)

 

 

 
Jakarta, Villagerspost.com – Oxfam kini punya nakhoda baru. Budi Kuncoro namanya. Budi menggantikan posisi Cecilia Keizer yang kini menjadi Country Director Oxfam Nepal. Di tangan Budi, kini Oxfam harus melanjutkan dan meningkatkan program-program yang sudah berjalan baik dalam periode kepemimpinan sebelumnya.

Kapasitas Budi Kuncoro dalam bidang pemberdayaan masyarakat sendiri sudah tidak diragukan lagi. Sempat berkecimpung di sektor swasta sejak lulus dari jurusan arsitektur Institut Teknologi Bandung pada tahun 1987, Budi kemudian mulai memasuki bidang pemberdayaan masyarakat dengan bekerja pada lembaga seperti World Bank, USAID, SIDA dan lain-lain.

Budi yang kemudian berhasil menyandang gelar MBA dari Melbourne University dan MPA (Master of Public Administration) dari Harvard University tahun 2010 lalu ini, juga pernah bergelut dengan bidang konservasi lingkungan dengan memimpin lembaga The Nature Conservancy (TNC). Dengan segudang pengalamannya itu, diharapkan program-program yang diusung Oxfam akan semakin berjalan baik.

Apa saja program-program yang akan dikawal dan ditingkatkan Budi pada masa kepemimpinannya di Oxfam ini? Berikut petikan wawancaranya dengan Villagerspost.com yang berkesempatan menemuinya dalam sebuah kesempatan di kantornya beberapa waktu lalu. Berikut petikannya:

Bagaimana anda menilai program-program Oxfam selama ini?
Program sudah bagus, hanya pada masa sekarang ini tinggal melakukan strenghtening, penguatan yang bisa di scale up, kita tambahkan, yang sudah baik kita replikasikan di wilayah lain bekerjasama dengan mitra lainnya.

Bagaimana bentuk penguatan yang dilakukan?
Misalnya dalam program Right In Crisis (RIC–program peningkatan daya lenting masyarakat dalam menghadapi bencana) misalnya, selama ini sudah berjalan baik. Kita sudah bisa membangun masyarakat tanggap bencana, desa, kelurahan tanggap bencana di wilayah kota Bima di Nusa Tenggara Barat. Indikatornya misalnya preparedness atau kesiapsiagaan menghadapi bencana, mereka punya early warning system. Nah ini kita perkuat dengan melibatkan pemerintah daerah.

Mengapa harus melibatkan pemerintah daerah juga?
Karena untuk masalah ini kta sadari memang harus juga melibatkan semua unsur, tidak hanya masyarakat tetapi juga pemerintah daerah. Mereka adalah pengambil keputusan, kita harapkan mereka bisa membuat kebijakan lokal yang bisa memperkuat daya lenting masyarakat menghadapi bencana. Menyediakan dana atau anggaran dan sebagainya. Selain itu kita juga mengembangkan sistem baru dalam pemberian bantuan bencana.

Seperti apa sistem itu?
Jadi begini, setiap terjadi bencana, biasanya bantuan bentuknya paling banyak supermi, beras, itu baik tapi kadang-kadang tidak sesuai kebutuhan, sehingga bertumpuk bahkan sampai expired. Selain itu, ketika terjadi bencana, ekonomi masyarakat juga terganggu, kita pikirkan bagaimana ekonomi lokal bisa berjalan. Karena itu kita siapkan kartu, semacam kartu ATM, bekerjasama dengan bank lokal. Lewat kartu itu, bantuan berupa uang non tunai bisa dibelanjakan penduduk korban bencana untuk membeli bahan kebutuhan pokok. Kita juga bekerjasama dengan penyedia kebutuhan pokok untuk menyuplai kebutuhan pokok untuk toko-toko lokal yang masih bisa buka untuk menyediakan kebutuhan pokok bagi masyarakat sehingga ekonomi lokal tetap berjalan.

Bagaimana persiapan untuk menciptakan sistem itu?
Kita sebelumnya melakukan assessment atau semacam penilaian, mana daerah yang berada dalam kategori merah dan kuning. Jadi sudah ada database.

Untuk program lain, seperti program gender?
Sebenarnya untuk program gender itu masuk ke semua program Oxfam baik itu program economic justice, RIC, selain program gender sendiri. Dalam program-program itu kita selalu strenghtening gender. Dalam program RIC misalnya, peran ibu-ibu itu sangat penting misalnya mendirikan dapur umum. Perempuan dalam kondisi bencana bisa lebih sibuk dari laki-laki. Aspek ekonomi misalnya, dalam program Economic Justice peran kepemimpinan perempuan sangat penting. Selama ini dalam kepemimpinan di desa misalnya peran perempuan belum disadari pentingnya, itu yang kita dorong.

Bagaimana misalnya dampak penguatan perempuan itu pada pemberdayaan masyarakat?
Perempuan jika diberi ruang bisa bagus. Misalnya, dalam forum musrenbang (musyawarah perencanaan pembangunan) desa. Dalam forum itu membahas soal anggaran desa, jika perempuan dilibatkan, maka sentuhan perempuan akan terlihat seperti misalnya isu kesehatan reproduksi, kesehatan anak balita, mortalitas (angka kematian) ibu dan anak, gizi buruk isu kekerasan terhadap perempuan itu bisa menjadi program desa. Selama ini isu-isu tersebut terabaikan. Kalau tidak ada peran perempuan, ya yang diperhatikan pasti hanya infrastruktur.

Ada contoh dimana program-program ini sudah berjalan baik?
Ada di beberapa wilayah di NTT misalnya di Soe, Atambua, Kupang, juga di NTB, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera. Di wilayah-wilayah itu masih relevan dibantu. Di wilayah-wilayah itu memang kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan suami terhadap istri, ayah kepada anak perempuan. Kasus kekerasan terhadap perempuan ini seperti gunung es, angka yang dilaporkan hanya sedikit, tetapi bukan berarti tingkat kejadiannya juga sedikit.

Bagaimana mula-mula langkah memecahkan masalah ini?
Kasus kekerasan terhadap perempuan memang bukan perkara mudah. Begini, dalam kasus kriminal biasa, antara pelaku dan korban tidak saling kenal, jadi mudah bagi korban untuk melaporkannya ke polisi. Sementara, dalam kasus kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga, pelakunya adalah suami atau bapak sehingga jarang ada mau melaporkan dengan berbagai pertimbangan. Karena itu jumlah kasus yang dilaporkan tak mencerminkan kejadian sebenarnya. Bukan berarti tak ada masalah. Untuk mengatasi masalah ini kita menggunakan pendekatan kultural. Tidak hanya korban yang kita libatkan tetapi juga pelaku. Kita membuat gerakan namanya lelaki baru. Sejak muda, kaum lelaki kita didik, dan ketika menikah mereka juga berjanji, berikrar untuk tidak melakukan kekerasan terhadap istri terhadap anak, untul lebih care, membuka ruang dialog. Program ini berjalan baik seperti di Kupang misalnya.

Akar masalah kekerasan sering kali adalah kemiskinan, bagaimana langkah yang dilakukan Oxfam ke depan terkait mengatasi masalah ini?
Kita lewat program economic justice (EJ) memang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin agar lebih baik, income keluarga, masyarakat menjadi lebih baik. Media intervensi kita untuk itu adalah melalui sustainable value chain atau rantai nilai tambah, misalnya pendapatan akan lebih tinggi ketika lingkungan dijaga. Bisa juga dari sisi market, mempertemukan masyarakat produsen dengan pelaku pasar. Dengan begitu, masyarakat akan tahu seperti apa kebutuhan pasar dan akan meningkatkan kualitas agar sesuai permintaan pasar.

Sebenarnya keseluruhan program ini saling berkait. Dalam Right In Crisis misalnya, untuk mencegah bencana seperti banjir, maka harus ada perbaikan di hulu seperti memperbaiki hutan yang rusak dan sebagainya. Nah ketika lingkungan ini dijaga, maka sumber-sumber ekonomi juga terjaga dan perekonomian masyarakat juga terjaga. Di Sulawesi Selatan misalnya, dengan memperbaiki mangrove, bukan saja menghindarkan dari bencana seperti abrasi karena mangrove sifatnya bisa memcah ombak, tetapi ikan-ikan juga akan datang untuk berkembang biak, ekosistem terjaga dan penghasilan masyarakat dari laut pun terjaga.

Bagaimana Oxfam menjaga agar hasil dari program ini tetap terjaga dan tetap berjalan ketika Oxfam tak lagi mendampingi?
Kita punya mekanisme yang namanya Monitoring, Evaluation and Learning (MEL). Selama program berjalan banyak pelajaran yang kita petik, ini kita dokumentasikan, pengetahuan yang kita dapat dari satu program kita coba replikasikan di tempat lain meski misalnya komoditasnya berbeda, situasi dan kondisinya berbeda. Kita juga bekerjasama dengan mitra lokal, koperasi, mereka kita fasilitasi sampai mampu mandiri dan menghilangkan ketergantungan terhadap Oxfam. Kita lakukan empowerment supaya mandiri.

Ada kasus dimana kinerja dampingan menurun setelah ditinggalkan Oxfam?
Yang ada seperti di Bima, setelah berhasil dengan masyarakat tangguh bencana, kita perkuat di tahap berikutnya dengan melibatkan dan memperkuat pemerintah lokal. Bahkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana menjadikan kota Bima sebagai model kota tanggap bencana. Bima menjadi pionir dalam hal kota tanggap bencana. Bahkan di APBD sudah mulai aialokasikan 1 persen untuk kebencanaan seperti mempersiapkan orang, resources, equipment. Tahun ini kita scale up dengan pelibatan pemerintah daerah.

Terakhir, setelah menyentuh hampir semua lini termasuk masalah gender, apa yang akan dilakukan Oxfam ke depan?
Ke depan kita akan berusaha mendorong hak-hak penyandang disabilitas diproteksi, dipenuhi. Program kita selain sensitif gender juga akan melibatkan penyandang disabilitas dilibatkan dalam berbagai bidang kegiatan perekonomian untuk mendorong kemandirian mereka. (*)

Facebook Comments
2 Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.