Wawancara Dr. Suryo Wiyono: Regenerasi Petani Kunci Perwujudan Cita-Cita Kedaulatan Pangan

Kepala Departemen Proteksi Tanaman IPB Dr. Suryo Wiyono memaparkan hasil penelitian terkait regenerasi petani (dok. villagerspost.com)
Kepala Departemen Proteksi Tanaman IPB Dr. Suryo Wiyono memaparkan hasil penelitian terkait regenerasi petani (dok. villagerspost.com)

Bogor, Villagerspost.com – Cita-cita kedaulatan pangan dinilai bakal sekadar menjadi cita-cita jika satu elemen penting ini diabaikan: “Regenerasi Petani”. Kepala Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr. Suryo Wiyono berpendapat, apapun teknologi yang diperkenalkan kepada pertanian Indonesia, secanggih apapun alat-alat pertanian yang dipakai, namun petani adalah kunci, karena merekalah yang menjadi pelaku utama usaha pertanian.

Semakin berkualitas petani, semakin berkualitas pula hasil pertanian yang bisa dicapai, meski teknologinya minim. Sayangnya, kata Suryo, langkah pemerintah untuk melakukan regenerasi petani, termasuk meningkatkan kapasitas dan pengetahuan petani, masih belum tersistematisasi dengan baik. Orientasi kebijakan pertanian pun lebih condong pada peningkatan produksi sehingga isu regenerasi menjadi termarginalkan.

Padahal, semakin ke sini, regenerasi petani semakin terhambat, sementara petani yang ada adalah generasi tua. Berdasarkan data sensus pertanian 2013 diketahui bahwa 61,8 persen berusia di atas 45 tahun dan hanya 12,2 persen saja yang berusia di bawah 35 tahun. Khusus untuk petani tanaman pangan sebanyak 47,57 persen berusia di atas 50 tahun.

Persoalan ini ternyata tak hanya muncul di level nasional namun juga di level global. Secara umum sektor pertanian mengalami penuaan (ageing) dan populasi petani terus berkurang. Petani di sub-sahara Afrika rata-rata berusia 60 tahun, di Amerika rata-rata berusia 55 tahun. Nah, lantas bagaimana dampaknya jika kita gagal melakukan regenerasi petani? Apa yang harus kita lakukan agar pertanian tak ditinggalkan generasi muda?

Simak wawancara Ulih Ahsan dari Villagerpost.com, dengan Dr. Suryo Wiyono yang juga Ketua Kajian Strategis Kebijakan Pertanian (KSKP) yang banyak melakukan penelitian terkait regenerasi petani. Berikut petikannya:

Sebenarnya, apa yang menjadi landasan pemikiran bahwa regenerasi petani merupakan hal terpenting dalam mewujudkan kedaulatan pangan?

Intinya, sebenarnya pelaku usaha pertanian ini adalah ujung-ujungnya petani. Orangnya. Jadi petaninya itu sendiri. Jadi yang sangat penting, kualitas maupun kuantitas petani itu. Pertama begini, teknologi macam apapun, skema program dari pemerintah maupun swasta yang lain ke petani macam apapun kalau kualitas petani secara kemampuan teknis dan kemampuan manajemennya kurang baik, artinya kualitas rendah, maka tidak akan berjalan. Karena yang melakukan usaha tani itu adalah petani itu sendiri. Ujung-ujungnya semua program dan skema pertanian itu pelaku utamanya adalah petani. Bisa dibayangkan kalau diberi teknologi canggih tapi kapasitas untuk menyerap itu tidak ada, sulit juga.

Di sisi yang lain dari segi kuantitas, secara umum kecenderungan kaum muda yang ingin jadi petani makin berkurang. Secara kualitas SDM dan kuantitas petani sangat kurang. Kalau di masa yang akan datang kalau tidak dibenahi, pengembangan teknologi, kebijakan pertanian, program pemerintah, juga akan percuma. Jadi regenerasi memang jadi sangat penting,

Selama ini argumen itu sering dilawan kelompok tertentu. Misalnya, kunci regenerasi petani adalah teknologi. Bagaimana dengan pendapat tersebut?

Karena teknologi itu nanti yang mengoperasionalkan adalah petani, tetap saja, jadi tidak bisa hanya berbicara teknologi. Kalau teknologi tinggi dan petaninya kualitas rendah, tidak bisa. Katakanlah untuk penanaman tertentu pakai teknologi robotik, kalau petaninya tidak bisa operasikan, ya susah juga.

Dampak signifikan apa yang terjadi jika regenerasi petani tidak tercapai?

Dampak langsungnya, banyak tanah-tanah yang terlantar. Misalnya kasus di Bogor, banyak tanah terlantar. Ada faktor lain, petani kerap menjual tanahnya memang tidak bisa dipungkiri. Tapi di sisi lain petani yang masih punya akses ke tanah yang tidak mau bertani juga faktor yang membuat tanah itu juga terlantar, tidak produktif. Di Bogor sekitar 5000 hektare positif itu, lahan pertanian yang tidak produktif.

Yang kedua, seluruh Indonesia ini sudah merasakan, mencari tenaga kerja pertanian sulit sekali, itu dampak yang sekarang ini sudah terjadi. Artinya itu akan berpengaruh kepada ketersediaan pangan, termasuk bahan hasil pertanian yang digunakan untuk industri.

Bagaimana kebijakan regenerasi petani saat ini?

Kebijakan mendorong regenerasi petani secara nasional belum tersistem dengan baik. Memang dianggap, bahwa itu akan terjadi dengan sendirinya. Kalau kita lihat, baru-baru ini saja setelah kita (upaya advokasi dan kampanye Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan dan kerja sama riset dengan KSKP) banyak komunikasi dengan kementerian, kemudian regenerasi petani menjadi mainstream di level kementerian.

Meskipun skalanya kecil, saya kira sudah mulai ada. Kalau pemerintah pusat upaya mendorong regenerasi petani minim, pemerintah daerah lebih minim lagi programnya. Kan harusnya dari pemerintah pusat membuat satu program untuk regenerasi petani, dan seluruh daerah yang potensial untuk pertanian juga ada upaya ke arah itu, terintegrasi pusat ke daerah.

Program dan kebijakan seperti apa yang baiknya dilakukan?

Pemerintah sendiri harus, pertama membuat pertanian itu menarik bagi generasi muda. Bagaimana membuat menariknya? Disamping meningkatkan insentifnya, misalnya harga, pemerintah juga perlu fasilitasi untuk pemasaran. Petani perlu juga dijadikan profesi yang keren, secara sosial ada rekognisi (pengakuan). Kemudian perlu memang harus ada program untuk menumbuhkan secara terstruktur dan tersistem, bagaimana membuat generasi muda tidak hanya tertarik, tapi juga punya kemampuan kecakapan di pertanian, misalnya membuat pelatihan-pelatihan yang berkualitas.

Lembaga apa yang paling penting untuk mendorong regenerasi petani?

Jadi kalau kita lihat misalnya sarjana yang di perguruan tinggi, di IPB katakanlah, sebenarnya data survei-nya menunjukkan, minat wirausaha di bidang pertanian itu tinggi pada awalnya, tapi begitu kita lihat lulusan yang bekerja di pertanian (sebagai bisnis sendiri, dan bukan pekerja) itu sangat rendah. Itu karena lulusan perguruan tinggi lebih bersifat orientasi akademik dan teoritik. Banyak sarjana dari lulusan pertanian itu tidak banyak tahu menanam cabe step by stepnya secara tepat.

Jadi harus menambah muatan-muatan vokasional atau keterampilan teknis. Di perguruan tinggi terdapat dua jalur, akademik dan vokasi, tapi menurut saya yang akademik juga harus dibekali kemampuan vokasi. Misalnya jangan sampai sarja pertanian, misalnya bagaimana merencanakan dan melakukan program penanaman cabai itu tidak bisa. Artinya perlu ada perbaikan kurikulum dan yang penting juga setelah lulus ada suatu program juga yang menjembatani bagaimana sarjana baru tertarik dengan bisnis pertanian.

Bagaimana dengan selain lembaga pendidikan?

Saya lihat justru pertanian ini ditinggalkan oleh orang yang tidak berpendidikan, kemampuannya rendah dan diisi oleh dari kalangan dunia usaha maupun lulusan perguruan tinggi. Tapi bagaimana mengintegrasikan anak-anak muda yang unsklilled yang tidak punya latar belakang pendidikan pertanian, kemampuan vokasionalnya juga kurang. Pekerjaan rumahnya adalah mengintegrasikan. Karena sekarang banyak tumbuh perusahaan-perusahaan agribisnis, terutama di bidang hortikultura.

Bagaimana situasi regenerasi petani di beberapa negara dibandingkan dengan Indonesia?

Hampir sama kondisinya, studi yang dilakukan juga sama. Kecenderungan umum di berbagai negara, generasi muda di pertanian hampir semuanya menurun. Situasinya hampir sama, mengenai faktor-faktor yang menentukan, jika keuntungannya lebih baik, itu akan menarik. Kampanye adalah upaya yang cukup baik untuk mendorong ini. Tapi tidak hanya kampanye, harus ada upaya yang lain untuk menyiapkan generasi mudanya. Selama ini kan tidak ada pelatihan pemuda untuk pertanian di Indonesia, yang ada pelatihan petani yang sudah jadi, itupun sistemnya masih kurang bagus.

Ada harapan dengan masa depan pertanian?

Mungkin di masa yang akan datang, jika melihat trend sekarang jumlah petani akan menurun namun kualitas sumber daya manusia pertanian semakin baik. Artinya ada harapan bahwa pekerjaan bertani itu menguntungkan. Sebenarnya sudah terjadi di lapangan, di Kebumen misalnya petani hortikultura, pepaya. Karena pepaya itu sangat menguntungkan, kebanyakan hanya butuh luas lahan rata 3000 m2, petaninya muda-muda dan mereka bangga dengan itu. Rata-rata umurnya 20-30 tahun dan well-educated, kebanyakan sarjana atau SMA ke atas. Satu lagi yang di Kabupaten Tegal, yang petani hortikultura di Kecamatan Bumi Jawa kebanyakan juga pendidikan tinggi petani mudanya.

Skala usahanya kecil juga sama dengan Kebumen. Untuk cabai kebanyakan petaninya muda dan berpendidikan tinggi. Dari dua kasus di Kebumen dan Tegal itu, artinya ada peluang peningkatan produktivitas jika anak muda yang terjun ke pertanian. Saya lihat juga mereka bangga melakukan itu. Dengan lahan 3000 meter2, panen bisa langsung beli motor. Saya juga pernah membandingkan di Tegal antara petani padi, cabai, bawang merah. Pendidikannya yang paling rendah adalah petani padi. Paling rendah, umurnya tua-tua. Biasanya petani padi yang maju itu kan biasanya yang lahannya cukup luas.

Apakah regenerasi petani di padi harus punya strategi sendiri?

Petani padi dibatasi oleh nilai produk yang tidak terlalu tinggi. Katakanlah 1 hektare dia dapat 6 ton gabah, setara sekitar 4 ton beras, dan per kilogram dihargai sekitar Rp8.000.

Apakah instrumen kebijakan untuk mendorong itu perlu atau perlu intervensi?

Kalau di padi, bagaimana membuat usaha tani padi efisien artinya meningkatkan keuntungan itu. Tapi itu juga tidak cukup, mau tidak mau petani padi yang berlahan sempit harus memiliki diversifikasi usaha, kalau hanya dengan luas lahan 0,4 atau 0,5 hektare akan kurang pendapatannya. Harus diversifikasi usaha mungkin di bekatulnya (pengolahan pasca panen), ada ternak atau usaha lain.

Strateginya harus tambah dengan usaha yang lain. Karena apa? Petani padi sebenarnya curahan untuk tenaga kerja itu tidak banyak, banyak waktu yang digunakan untuk nganggur (menunggu panen setelah penanaman), beda dengan hortikultura. Hortikultura hampir tiap hari mereka harus merawat kebunnya.

Sementara ini, petani padi untuk mengisi waktu nganggur ada yang keluar kota, mencari kerja, nanti begitu mau panen, baru mereka pulang. Tapi itu bisa diisi dengan tetap berbasis pertanian misalnya, ternak, pengolahan produk sampingan, dan sebagainya. Intinya kalau mengandalkan padi saja itu kurang, kecuali dia punya lahan yang luas, paling tidak 4 hektare.

Artinya kepemilikan lahan itu sangat berpengaruh. Katakanlah 1 hektare untungnya 16 juta rupiah, itu 4 bulan. Kalau dibagi 4 menjadi 4 juta rupiah per bulan, itu masih pas-pasan untuk 1 keluarga (beranggotakan 4 orang). Kalau lahannya 2 hektare masih lumayan mencukupi, bisa sekitar 8 juta rupiah per bulan. Tapi itu belum masuk faktor-faktor lain, misalnya gagal panen akibat banjir atau serangan hama dna penyakit. Hitungan kasarnya begitu, itupun kalau harganya sedang bagus. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.