Akankah Pemindahan Ibu Kota Indonesia Menjadi Kisah Sukses?

Pemandangan kota Samarinda, ibu kota Kalimantan Timur (dok. istimewa)

Oleh: Dr. Maud Cassaignau, perancang, arsitek, kritikus, peneliti dan pendidik perkotaan, dari Monash Art Design and Architecture *)

Bisakah Indonesia mengatasi masalah yang mengganggu ibu kotanya yang sudah terlalu padat, Jakarta, dengan memindahkan 1,5 juta orang pegawai negeri ke Kalimantan Timur? Inisiatif tersebut telah direncanakan selama beberapa dekade. Presiden Indonesia periode 2019-2024, Joko Widodo, telah mengumumkan bahwa pembangunan ibukota baru akan dimulai tahun depan, sementara menunggu persetujuan parlemen.

Meskipun banyak negara di dunia yang memiliki ibu kota yang dibangun secara khusus–diantaranya Malaysia, Myanmar, Australia, dan Brasil– saya meyakini, Indonesia adalah negara pertama yang membangun sebuah kota dengan alasan lingkungan. Dalam beberapa bulan terakhir, Jakarta telah mencapai tingkat polusi yang lebih buruk dibandingkan dengan kota Delhi dan Beijing–keduanya terkenal karena kualitas udaranya yang buruk. Kemacetan lalu lintas juga terbilang parah di kota ini, berkontribusi menimbulkan kabut asap hingga membebani ekonomi nasional sekitar 100 triliun rupiah per tahun.

Namun banjir juga bisa dikatakan sebagai masalah yang lebih buruk. Jakarta dibangun di atas rawa, dan dilewati oleh 13 aliran sungai. Kota ini semakin tenggelam oleh banjir hingga 25 sentimeter per tahun, dan begitu pula tanggul laut yang dirancang untuk melindungi daerah dataran rendah di utara. Permintaan air minum yang tinggi, sebagian besar diekstraksi dari sumur bawah tanah, juga berkontribusi terhadap fenomena ini. Diperkirakan 95 persen Jakarta akan terendam banjir pada tahun 2050.

Seolah hal tersebut tidak cukup, gempa bumi dan gunung berapi juga menimbulkan ancaman di pulau Jawa. Sistem perkotaan cenderung akan lebih aman dari kehancuran akibat suatu peristiwa jika Anda mendesentralisasi layanan. Membangun kota-kota baru merupakan hal yang tampak menarik karena Anda dapat menciptakan situasi yang murni. Anda berada di ruang kosong. Jauh lebih mudah untuk membuat sesuatu yang progresif, dan meninggalkan masalah yang lalu.

Jakarta sebagai kota terbesar di Asia Tenggara, akan tetap menjadi pusat komersial dan keuangan Indonesia. Ini adalah salah satu aglomerasi perkotaan terpadat di bumi, tempat tinggal bagi 30 juta penduduk, dengan 10 juta penduduk di Jakarta pusat dan sisanya di daerah-daerah di sekitar kota.

Apakah pemindahan ibukota malah akan menimbulkan lebih banyak masalah? Memisahkan fungsi ekonomi dan administrasi Jakarta dapat menciptakan serangkaian masalah yang berbeda pula. Jika hal itu dapat mengakibatkan sekelompok birokrat elit membuat keputusan yang mempengaruhi orang-orang yang jauh dari mereka, baik secara geografis maupun secara sosial ekonomi.

Kondisi sungai di Jakarta yang tercemar melintasi kawasan kumuh (dok. istimewa)

Biaya untuk memindahkan ibukota 1000 kilometer ke utara selama 10 tahun diperkirakan mencapai Rp466 triliun (AUS$48,7 miliar). Penduduk Indonesia berencana untuk berkontribusi sebanyak 19 persen yang merupakan hasil kemitraan publik-swasta dan investasi swasta. Pengaturan itu dapat menciptakan “perangkap utang”, terutama jika kota ini tidak berkelanjutan secara ekonomi.

Ekonom pemenang Nobel Prize Paul Romer berpendapat, menciptakan kota-kota untuk kelas elit pada awalnya bekerja dengan baik bagi investor yang membangun blok apartemen dengan laba tinggi. Namu, Paul Romer menunjukkan, kota-kota sukses adalah rumah bagi orang-orang dari berbagai latar belakang, yang berkumpul karena berbagai alasan.

Kota-kota baru dapat berfungsi jika mereka berlokasi di pusat transportasi, misalnya, tempat orang berkumpul untuk bertukar barang dan ide. Contoh yang tidak terduga adalah Khorgas, yang berkembang dengan cepat di perbatasan China-Kazakhstan di Jalur Sutra Baru, tempat yang dulunya merupakan dataran tinggi kosong. Di Eropa, kota Lille yang bersejarah di Perancis utara sekarang menjadi pusat jaringan kereta berkecepatan tinggi Eropa, dan telah menjadi pusat investasi dan kreativitas.

Pemerintah Indonesia menyatakan, ibu kota baru akan dibangun di atas tanah negara yang ada di dekat kota pelabuhan Balikpapan dan ibukota provinsi Samarinda. Masih belum jelas apakah kota yang baru ini akan diintegrasikan dengan pusat-pusat kota yang ada, atau apakah itu akan dibangun sebagai daerah terpisah. Ibukota provinsi Kalimantan Timur, Samarinda, dekat dengan lokasi kota yang baru yang direncanakan.

Sebelumnya, Presiden Jokowi menggambarkan lokasi, di pusat geografis Indonesia, sebagai lokasi yang “sangat strategis”. Namun beberapa minggu kemudian, di daerah tetangga yang memproduksi minyak kelapa sawit di Kalimantan Barat dan Tengah terjadi kebakaran hutan yang sangat merusak.

Banyak yang sengaja melakukan pembakaran lahan sekitar sebulan setelah Presiden Widodo mendeklarasikan moratorium permanen deforestasi di Indonesia. Kesenjangan antara retorika dan kenyataan telah membuat pengamat skeptis tentang klaim yang menyatakan bahwa ibukota baru akan memberikan kesempatan untuk rehabilitasi hutan di sekitar Kalimantan Timur.

Namun jika orang Indonesia menentang pembukaan lahan yang berlebihan, ibu kota baru tersebut dapat memberikan kesempatan untuk menciptakan pusat kota yang disesuaikan dengan iklim di daerah tropis. Gedung kaca dengan gaya internasional bukanlah model yang berkelanjutan, katanya. Ada hal-hal menarik yang dapat Anda lakukan.

Anda dapat menggunakan strategi pasif untuk menjaga bangunan tetap dingin di iklim tropis, jadi Anda tidak perlu pendingin udara, dengan melihat bagaimana bangunan berorientasi, menggunakan ventilasi silang untuk mendinginkan, langkah-langkah teduh seperti tenda, atau fasad berlubang. Atau Anda bisa menemukan cara membangun yang mengacu pada cara hidup masyarakat lokal.

Desain perkotaan yang peka terhadap air mencari cara yang tepat untuk mengintegrasikan alam di kota, menangkap air di musim hujan, mempertahankannya, memurnikan lahan basah dan menggunakannya di musim kemarau. Itu bisa digunakan untuk mencegah banjir.

Menangani Masalah Jakarta

Kemacetan, polusi, dan banjir di Jakarta yang mendorong pemindahan ibu kota ke Kalimantan akan dapat ditanggulangi begitu pegawai negeri telah pergi. Contohlah langkah-langkah mitigasi banjir yang diperkenalkan di kota pelabuhan Belanda, Rotterdam, termasuk kotak air yang dirancang untuk diisi dengan hujan saat dibutuhkan, namun dapat berfungsi sebagai amphitheatre atau tempat berkumpul.

Di kota Chennai, India, yang juga rawan banjir, pemerintah setempat telah mencari cara untuk memulihkan danau yang pernah menghiasi kota tersebut. Terlepas dari masalahnya, Jakarta diperkirakan akan terus tumbuh–semakin banyak orang pindah ke kota tersebut, tidak hanya dari Indonesia, namun dari seluruh dunia. Karena dunia semakin terurbanisasi, banyak kota, terutama di daerah tropis, sangat rentan, jadi, Anda akan melihat lebih banyak kota yang menghadapi dilema relokasi seperti ini. (*)

*) Dr. Maud Cassaignau adalah perancang, arsitek, kritikus, peneliti dan pendidik perkotaan yang berpraktik. Beliau bekerja dalam praktik kerja unggulan di Eropa dan AS, dan merealisasikan proyek dengan ini dan praktiknya sendiri XPACE di Eropa. Beliau belajar di Universitas ETH Zurich dan Universitas Columbia. Beliau mengajar di Politeknik Swiss, dan memegang posisi profesor di Universitas Ilmu Terapan Swiss Barat, dalam bidang arsitektur dan konstruksi. Praktik dan penelitian PhD-nya berkisar pada interaksi desain, tempat, dan iklim, yang bertujuan untuk menemukan solusi desain yang responsif secara sosial dan lingkungan.

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.