Amul Huzni (Tahun Kesedihan) Bagi Petani

Hamparan tanaman padi mati dan mengering sama sekali akibat serangan klowor dan wereng (dok. villagerspost.com/zaenal mutaqin)

Oleh: Tarsono, Petani Muda Pengamat Cuaca Indramayu, Jurnalis Warga untuk Villagerspost.com

Seiring perkembangan jaman profesi petani semakin dipandang sebelah mata oleh masyarakat, bahkan oleh negara sekalipun. Bagaimana tidak dipandang sebelah mata jika hingga detik ini, petani lebih banyak disosiasikan dengan kesusahan dan kesedihan ketimbang kesenangan atau senyumnya.

Dan kenyataan hari ini, profesi petani memang belum bisa mendatangkan kesejahteraan meski puluhan triliun rupiah dianggarkan pemerintah yang katanya untuk kesejahteraan petani. Namun nyatanya, petani tetap saja tidak sejahtera. Bahkan akibat serangkaian kegagalan panen baik akibat serangan hama maupun cuaca, bisa dikatakan tahun-tahun belakangan ini adalah “Amul Huzni” atau Tahun Kesedihan bagi petani.

Dalam proses kerjanya, pada setiap musim tanam, para petani berjibaku selama 3-4 bulan dimulai dari proses semai, tanam, memupuk, menyingai rumput, menyemprot hama, sampai memanen. Dalam proses panjang ini, biaya produksi pertanian semakin hari semakin mahal. Selain harga bibit, alat mesin pertanian, biaya buruh juga meningkat karena adanya kelangkaan buruh tani baik untuk buruh penggarap maupun buruh penderep (panen).

Nah, biaya mahal ini belum tentu terbayar sepadan dengan hasil panen sesuai yang diharapkan. Tahun ini misalnya, serangan virus kerdil hampa alias klowor yang sudah menyerang persawahan di Indramayu, kembali menyerang pada musim tanam 1 (MT1) kemarin. Akibatnya, beberapa wilayah, di Indramayu terancam gagal panen yaitu di Kecamatan Jatibarang, Widasari, Gabus, Kroya, dan Kertasmaya.

Tak hanya serangan klowor, kondisi iklim yang tiap tahunnya tidak menentu akibat pemanasan global, juga memperparah situasi. Serangan hama dan penyakit semakin meningkat dan juga ancaman gagal panen akibat banjir atau bencana alam akibat iklim lainnya.

Bulan Februari lalu, tingginya curah hujan memuat areal sawah di Subang dan Indramayu seluas 1.040 hektare, terendam banjir setinggi 20 hingga 60 sentimeter. Masih beruntung sebagian masih bisa terselamatkan. Tetapi di Brebes, tidak seberuntung itu, areal tanaman bawang seluas 254 hektare dan tanaman cabai seluas 48 hektare terendam banjir dan mengakibatkan gagal panen. Petani Brebes rugi miliaran rupiah.

Sementara, kalau pun toh berhasil panen, kesedihan dan penderitaan belum tentu pergi dari rumah tangga petani. Ambil contoh bulan ini, saat para petani Indramayu tengah melakukan panen raya. Setelah berjuang selama 3-4 bulan menghadapi berbagai tantangan alam dan penyakit, serta tingginya biaya produksi pertanian, ternyata harga gabah yang dipanen justru dihargai rendah.

Harga gabah kering panen (GKP) di Indramayu, saat ini hanya berada di angka Rp3.800 per kilogram. Sementara gabah kering giling (GKG) di angka Rp4.300 per kilogram untuk varietas padi umur panjang seperti varietas kebo yang banyak ditanam petani Indramayu. Sementara untuk varietas ciherang, para tengkulak malah tidak ada yang mau membeli. Para petani sendiri terpaksa menjual padinya dengan harga murah karena terdesak kebutuhan.

Soal harga, rendahnya harga gabah hasil panen petani juga diakibatkan masuknya impor beras sejumlah ratusan ton. Masuknya beras impor saat panen raya ini jelas merugikan petani karena harga panen pasti melorot dihajar beras impor yang murah. Petani saat ini hanya bisa mengeluh, namun sepertinya tidak pernah didengar dan tidak ada yang peduli.

Kesejahteraan petani, setahu kami, baru sebatas slogan, yang hanya menambah lengkap derita para petani. Saya sendiri sebagai petani muda tak punya bayangan jelas, sampai kapan tahun-tahun kesedihan bagi petani ini akan terus berlangsung.

Kapan tahun-tahun kesedihan bagi petani ini akan berakhir? Saya berharap suatu saat petani bisa tersenyum lebar layaknya meraih kemenangan besar, ketika biaya produksi tani turun, iklim membaik, hasil panen melimpah, dan yang terpenting harga panen yang baik agar petani untung. Masa depan pertanian ada pada kondisi seperti itu. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.