Anak Petani, Omnibus Law, Dan Lagu Balada Franky and Jane

Anak-anak petani di desa ikut program pesantren kilat (villagerspost.com/ rahmat adinata)

Oleh: M. Agung Riyadi *)

Percik air dan cicit burung-burung melepas ayahnya ke kota, karena desa bukan lagi tempat untuk petani seperti ayahnya. Sawah dan ladang mulai berkembang, Anak Petani layu hatinya, hari-hari yang hening, ia berdiri di serambi, dalam gelap hatinya menangis“. (Anak Petani: Franky and Jane)

Seturut tarikh-nya, lagu balada milik duet kakak-beradik Franky dan Jane Sahilatua ini dirilis tahun 1979. Sependek pengetahuan saya, tahun-tahun itu, justru merupakan tahun-tahun dimana pemeritah Orde Baru, tengah gencar-gencarnya mencurahkan perhatian pada masalah pertanian.

Revolusi hijau digencarkan, petani diberi subsidi input pertanian seperti pupuk, insektisida, pestisida, alat mesin pertanian (mekanisasi), pembangunan irigasi dan sebagainya. Sepanjang 1970-an hingga 1980-an dilakukan investasi besar-besaran untuk infrastruktur pertanian. Sejumlah waduk, bendungan, dan irigasi dibangun.

Pada Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), swasembada pangan merupakan fokus tersendiri dalam rencana pembangunan yang dibuat oleh Pak Harto. Di dalam Pelita I Pertanian dan Irigasi dimasukkan sebagai satu bab tersendiri dalam rincian rencana bidang-bidang. Di dalam rincian penjelasan dijelaskan bahwa tujuannya adalah untuk peningkatan produksi pangan terutama beras.

Harga gabah pun di tahun-tahun itu termasuk baik dan menjamin petani beroleh sedikit keuntungan dari hasil pertaniannya, meski sistem ijon–yang kadang menjerat petani untuk menjual hasil panen dengan harga murah–juga marak terjadi.

Pada masa dimana pembangunan pertanian berderap dengan gegap gempita, sungguh unik, ketika Franky justru menulis lagu yang liriknya seolah berlawanan dengan yang tampak di permukaan? Pertanyaannya, ada apa dengan desa dan pertanian ketika itu? Adakah derap pembangunan pertanian justru tak menyisakan kesejahteraan bagi petani?

Untuk sekadar mencari gambaran yang kira-kira pas untuk menerka apa yang ada di benak Franky tentang petani, anak petani dan pertanian di lagu itu, di masa-masa itu, saya mencoba sedikit mengutip sebuah jurnal yang meneliti tentang faktor yang mendorong terjadinya migrasi dari desa ke kota, di tahun 1980-an.

Mengutip Syahrir (1989), dalam artikel ilmiah yang bertajuk “Tanah, Pertanian dan Dorongan Migrasi“, Tri Pranadji, staf peneliti di Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor menulis, perkembangan migrasi desa-kota di Jawa sejak tahun 1970-an telah berlangsung dengan cepat dan dengan frekuensi tinggi. Dalam kurun 1970-1975, penduduk kota tumbuh sekitar 4,70 persen per tahun.

Lantas apa yang mendorong, terjadinya migrasi tersebut? Pranadji menggambarkan, salah satu faktor pendorong migrasi desa-kota ini adalah adanya penguasaan tanah yang timpang. Berpatokan pada kriteria Sajogyo (1977) atas hasil Susenas (1976) maka dapat dikatakan bahwa sebagian besar petani termasuk golongan petani miskin (pemilikan kurang dan 0,50 ha).

Masih mengutip Sajogyo (1977), tanah sempit ini merupakan salah satu faktor penting yang menyulitkan penduduk pedesaan untuk memperoleh pendapatan yang layak bagi kehidupannya. Selanjutnya hal ini berangsur-angsur membentuk persepsi masyarakat pedesaan untuk memberikan penilaian bahwa bekerja di pertanian bukan saja tidak layak untuk hidup, namun juga tidak mencerminkan martabat (status sosial) yang wajar.

Teknologi pertanian bisa saja berhasil diadopsi petani untuk meningkatkan produktivitas per hektare tanaman pangan. Namun hal ini belum cukup mengatasi tingkat pendapatan yang diperlukan petani. Jadi wajar kiranya, derap pembangunan pertanian yang semata bertumpu pada peningkatan produksi pertanian, ternyata telah sejak lama gagal menyejahterakan petani.

Liberalisasi pertanian yang dijalankan di masa Orde Baru dengan “Revolusi Hijau”-nya memang berhasil membawa Indonesia menuju swasembada pangan (baca: beras) di tahun 1984. Namun di sisi lain secara efektif mendegradasi petani semata hanya sebagai sekrup pada rantai produksi beras.

Petani, meski berkelimpahan bantuan alat-alat produksi pertanian, tidak memiliki kebebasan. Petani tak bebas memilih sendiri benih yang akan di tanamnya. Tak bebas menjalankan praktik bertani selain yang telah didiktekan negara.

Petani juga dihadapkan pada situasi tidak berdaulat dari sisi kepemilikan lahan. Perekonomian yang rentan membuat mereka juga rentan melepaskan lahan yang ada demi memenuhi kebutuhan hidup yang semakin mendesak. Ketika tanah tak lagi bisa diberdayakan, pergi ke kota adalah harapan, meski semu.

Celakanya, praktik seperti ini terus diadopsi sampai saat ini. Ide reformasi–yang digaungkan sejak Orde Baru dipaksa bubar 22 tahun lalu– ternyata tidak mampu diterjemahkan di segala bidang termasuk pertanian. Dan hari-hari ini, nasib petani, anak-anak petani dan desa kian menjadi pertanyaan setelah pemerintah dan DPR kompakan mengesahkan UU Cipta Kerja.

Banyak pihak yang telah mengingatkan dampak buruk UU yang tadinya dinamai “UU Cilaka” ini pada sektor pertanian. Dampak yang paling nyata adalah, beleid ini akan semakin mempertegas ketimpangan kepemilikan lahan.

Bachriadi dan Wiradi (2011), berdasarkan data Sensus Pertanian 1963-2003, menggambarkan betapa jurang ketimpangan penguasaan tanah makin tahun makin melebar. Di tahun 1963, jumlah rumah tangga petani (RTP) yang menguasai tanah mencapai sebanyak 12,2 RTP dengan total luas penguasaan tanah mencapai 12,9 juta hektare dengan kepemilikan tanah rata-rata 1,05 hektare. Pada tahun itu, persentase petani gurem (petani dengan penguasaan lahan di bawah 0,5 hektare mencapai 44 persen.

Pada tahun 2003, secara statistik jumlah RTP yang menguasai lahan memang meningkat dua kali lipat lebih sedikit yaitu 24,3 juta RTP. Demikian pula dengan total tanah yang dikuasai juga meningkat hampir dua kali lipat yaitu seluas 21,5 juta hektare. Tetapi rata-rata penguasaan tanah per hektare menurun hanya mencapai 0,89 hektare per RTP dan jumlah petani gurem meningkat ke angka 51 persen.

Fenomena tersebut berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang antara kota dengan desa serta proses industrialisasi yang tidak mengakar dan tumbuh di perdesaan sehingga menyebabkan penduduk di perdesaan meninggalkan sektor pertanian.

Semakin ditinggalkannya pertanian ini tampak dari hasil Sensus Pertanian 2013 yang mengungkapkan dalam kurun 2003-2013, rumah tangga tani berkurang hingga 5 juta RTP. Jumlah petani gurem juga semakin banyak dimana saat ini ada 14 juta RTP hanya menguasai lahan seluas 0,5 hektare.

Di sisi lain, penguasaan lahan oleh korporasi terus meningkat pesat. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, saat ini 71 persen tanah di seluruh daratan Indonesia telah dikuasai korporasi kehutanan. Di samping itu 23% tanah juga dikuasai oleh korporasi perkebunan skala besar. KPA juga mencatat, ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia mencapai 0,68 persen.

Angka ini berpotensi melebar dengan terbitnya UU Ciptaker. KPA mencatat, dihidupkannya kembali asas dan cara-cara domein verklaring (Negaraisasi Tanah) yang telah dihapus UUPA1960, menegaskan hal itu. Lewas asas ini, seolah negara (cq. Pemerintah) adalah pemilik tanah, sehingga diberi kewenangan teramat luas melalui Hak Pengelolaan (HPL)/Hak Atas Tanah Pemerintah.

HPL ini disusun sedemikian rupa menjadi powerful dan luas cakupannya. Misalnya, HPL dapat diberikan pengelolaannya kepada Pihak Ketiga. Kemudian, dari HPL dapat diterbitkan macam-macam hak, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP) kepada badan usaha dan pemilik pemodal. Berikutnya, tidak adanya pemberian batas waktu HGU dan lain lain.

Juga soal aturan terkait Bank Tanah yang dinilai hanya akan melayani pemilik modal. KPA mengungkapkan, untuk menampung, mengelola dan melakukan transaksi tanah-tanah hasil klaim sepihak negara (domein verklaring/negaraisasi tanah) dibentuk Bank Tanah (BT). Lembaga BT diberi kewenangan mengelola HPL.

Meski disebut sebagai lembaga non-profit namun sumber pendanaannya membuka kesempatan pada pihak ke tiga (swasta) dan utang lembaga asing. Tata cara kerjanya pun berorientasi melayani pemilik modal. Sehingga para pemilik modal memiliki akses lebih luas dan proses lebih mudah memperoleh tanah melalui skema BT.

KPA menilai, proses negaraisasi tanah sebagai sumber HPL bagi BT, otomatis membahayakan konstitusionalitas petani dan rakyat miskin atas tanah-tanahnya, yang belum diakui secara de-jure oleh sistem negara. Pengalokasian tanah oleh BT tanpa batasan luas dan waktu juga dinilai akan mendorong eksploitasi sumber-sumber agraria, rentan praktik kolutif dan koruptif antara birokrat dan investor.

Belum lagi praktik-praktik liberalisasi pertanian yang semakin menggejala dengan orientasi pemerintah membangun pertanian skala luas lewat food estate yang membutuhkan lahan sangat luas dan pengelolaan profesional oleh korporasi. Petani pun akan semakin terpinggirkan dari sisi lahan dan juga praktik bertani.

Menilik fakta yang demikian kompleks dan ruwet, sungguh sangat mengagumkan bagi saya, ketika almarhum Franky cukup menggambarkan situasi tersebut hanya dengan dua larik syair: “Sawah ladang mulai berkembang. Anak petani layu hatinya“.

Franky dalam syair baladanya di lagu ini, bukan hanya secara jitu menggambarkan situasi pertanian pada masanya. Tetapi juga memprediksi nasib pertanian di masa depan. “Percik air dan cicit burung-burung melepas ayahnya ke kota, karena desa bukan lagi tempat untuk petani seperti ayahnya“.

Akhir-akhir ini syair balada yang ditulis lebih 40 tahun silam itu, rasa-rasanya justru semakin menunjukkan kenyataan. Desa saat ini bukan lagi tempat yang nyaman bagi petani gurem. Hanya menunggu waktu dimana korporasi akan datang berbondong-bondong menggarap lahan sawah di desa-desa.

Lantas kemana perginya petani gurem? Cukup beruntung jika mereka kelak bisa menjadi buruh di bekas lahan sawahnya yang sudah berubah menjadi lahan food estate? Buruh? Ahhhh……!!!!!!

*) Wartawan, terpaksa mengamati isu pertanian karena gemar makan, Alhamdulillah dimampukan Allah mendirikan situs villagerspost.com.

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.