Delapan Ide Sederhana bagi APEC untuk Tidak Meninggalkan Satu Orang Pun
|
Oleh: Babeth Ngoc Han Lefur, country director, Oxfam in Vietnam
Hari ini, pemimpin negara-negara Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) –Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik– akan bertemu di kota Danang, Vietnam. Mereka akan menghadapi sebuah kawasan yang terbelah antara segelintir orang kaya dan sisanya. Setelah selama satu dekade memimpin pertumbuhan ekonomi dunia, Asia saat ini secara cepat berkembang menjadi kawasan yang terbelah tajam secara sosial-ekonomi antara si kaya dan si miskin.
Pertemuan Danang, seharusnya menjadi momen refleksi bagi pemimpin-pemimpin politik dan bisnis APEC untuk secara kritis meninjau kembali kebijakan mereka dan paradigma pertumbuhan yang terbukti gagal untuk menciptakan pemerataan kesejahteraan dan hanya membantu si kaya yang minoritas untuk semakin meningkatkan kekayaan mereka, sementara jutaan lainnya seperti kaum perempuan, petani dan pekerja tertinggal di belakang.
Di kawasan Asia-Pasifik, koefisien Gini (yang mengukur ketimpangan sosial-ekonomi) berbasis prakiraan pendapatan rumah tangga, meningkat dari 0,37 menjadi 0,48 antara tahun 1990 dan 2004. Peningkatan hampir 30 persen dalam waktu kurang dari 3 dekade.
Di Indonesia, empat orang terkaya memiliki kekayaan lebih dari 100 juta penduduk. Di Vietnam, 210 orang super kaya memperoleh penghasilan lebih dari cukup untuk mengentaskan 3,2 juta penduduk dari kemiskinan dan kemiskinan extrem selama setahun. Hampir senada, di Thailand, 1% penduduk memiliki kekayaan setara 56% kekayaan nasional dan separuh dari kekayaan di Indonesia dimiliki hanya oleh 1 persen penduduk. Terlepas dari jargon politik dan mantra pertumbuhan, mengapa hal yang saling bertentangan itu bisa terjadi? Ada empat penyebab utamanya:
Pertama, model pertumbuhan ekonomi yang dikejar, merampas banyak keuntungan dari tangan kaum perempuan, pekerja, nelayan tradisional, petani dan produsen skala kecil. Ketimbang meningkatkan akses atas lahan dan sumber-sumber produktif lainnya, model pertumbuhan malah membantu si kaya merampas sumber daya tersebut.
Kedua, perempuan bekerja, mendapat perlakuan tidak adil. Perempuan dibebani dengan pekerjaan pengasuhan tanpa upah dan dan pekerjaan bergaji rendah yang menegaskan ketidakadilan gender. Pekerjaan bergaji rendah dan pekerjaan pengasuhan tanpa upah oleh jutaan perempuan di Asia menjadi jangkar bagi pertumbuhan ekonomi, tetapi sistem yang disupport kaum perempuan ini justru membuat mereka tertinggal di belakang.
Ketiga, sistem fiskal yang tidak adil dimana perusahaan dan individu kaya tidak memberikan kontribusi yang adil bagi penerimaan negara, dan ini mempengaruhi investasi publik pada layanan yang esensial. Layanan publik seperti kesehatan, pendidikan dan perlindungan sosial semakin menurun, membuat kesempatan bagi generasi penerus dari kaum miskin semakin menyusut untuk dapat keluar dari lingkaran kemiskinan.
Keempat, masyarakat tidak hanya kekurangan akses atas upah layak, sumber-sumber produktif dan layanan publik, tetapi mereka juga kekurangan akses untuk bersuara dan kemampuan untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan dan kebijakan. Kebanyakan dari keputusan ekonomi dibuat secara tertutup tanpa mekanisme yang menjamin adanya partisipasi publik.
Para pemimpin APEC sepakat bahwa pertumbuhan inklusif harus menjadi pusat perhatian dalam pertemuan pemimpin yang akan datang. Pemerintah Vietnam, yang menyelenggarakan pertemuan tahun ini, menggarisbawahi pentingnya mempromosikan sistem ekonomi, keuangan dan sosial yang terbuka sebagai strategi untuk mencapai pertumbuhan yang inklusif.
Dalam makalah kebijakan Oxfam yang baru, “Mendefinisikan ulang pertumbuhan inklusif di Asia – Bagaimana APEC dapat mencapai ekonomi yang tidak meninggalkan siapapun,” kami mengusulkan delapan gagasan sederhana untuk mengubah pertumbuhan inklusif APEC, aspirasi menjadi kenyataan:
1. Pemimpin APEC harus menyadari bahwa ketidaksetaraan yang berkembang pesat merupakan ancaman serius bagi pertumbuhan dan kemakmuran di wilayah ini. Mereka harus menyetujui semua target nasional yang ditetapkan untuk mengurangi kesenjangan antara kaya dan miskin, sejalan dengan komitmen mereka di bawah Sasaran Pembangunan Berkelanjutan nomor 10
2. Mobilisasi pendapatan sangat penting untuk membiayai tujuan pembangunan berkelanjutan dan memberikan layanan publik. Pemimpin APEC harus bekerja sama untuk menciptakan sistem perpajakan di mana individu kaya dan korporasi membayar bagiannya yang adil dan menghentikan penghindaran pajak. APEC harus mendorong kerjasama pajak regional dan global untuk mengakhiri erosi basis pajak dan kerangka kerja pergeseran keuntungan, dan meningkatkan kapasitas administrasi pajak
3. Pelayanan publik yang esensial memiliki kekuatan transformasional, oleh karena itu anggota APEC harus menegaskan kembali komitmen mereka untuk meningkatkan sumber daya untuk layanan publik yang penting seperti pendidikan, kesehatan dan perlindungan sosial. Mereka harus menghormati target global untuk menghabiskan minimal 15% anggaran mereka untuk kesehatan dan 20% untuk pendidikan.
4. Para pemimpin APEC harus membuat undang-undang dan menerapkan upah sebagai komponen utama strategi untuk mempromosikan ekonomi inklusif dan mengurangi kesenjangan gaji yang bias gender. Pemerintah harus menghidupkan Deklarasi Bali tentang hak-hak buruh dan Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia.
5. Mendukung Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang dipimpin dan dimiliki oleh perempuan. APEC harus memastikan dan memperluas akses perempuan terhadap kredit dan modal, dan berinvestasi dalam pengembangan kapasitas mereka, terutama pada pengembangan dan manajemen perusahaan. Sama pentingnya, APEC harus mendorong anggotanya untuk memperluas dan memperluas layanan publik yang ditujukan untuk mendukung pekerjaan perawatan, mengurangi dan mendistribusikan ulang pekerjaan perawatan yang tidak dibayar. Ini akan memungkinkan perempuan menginvestasikan waktu dan energi untuk membangun dan mengelola perusahaan, dan memperluas pilihan kehidupan perempuan di luar wilayah ekonomi semata.
6. Menegakkan keterlibatan warga langsung dalam pilar-pilar keterbukaan APEC. Para pemimpin APEC harus mempromosikan keterlibatan warga langsung di ketiga pilar inklusi sosial – ekonomi, sosial dan keuangan. APEC dapat menciptakan lingkungan yang mendukung dimana masyarakat berkontribusi dalam pengambilan keputusan, memastikan bahwa pekerja diwakili dalam struktur perusahaan.
7. Ciptakan mekanisme keterlibatan pemangku kepentingan APEC agar perwakilan organisasi masyarakat dan kelompok masyarakat sipil dapat berpartisipasi dan berkontribusi pada proses APEC. Penciptaan mekanisme ini akan menunjukkan komitmen APEC terhadap keterbukaan.
8. Mengukur kemajuan dalam mengurangi ketidaksetaraan. SDG 10 menyatakan bahwa pada tahun 2030, semua negara secara progresif mencapai dan mempertahankan pertumbuhan pendapatan dari 40 persen bawah populasi pada tingkat tertentu, lebih tinggi dari rata-rata nasional. Oleh karena itu, anggota APEC harus menetapkan target nasional yang jelas untuk mengurangi ketimpangan dan mengumpulkan data akurat mengenai pendapatan dan kekayaan tertinggi, yang bertujuan untuk mencapai SDG 10.
Kemiskinan dan ketidaksetaraan ekstrem bukanlah takdir. Mereka bisa dilawan dan dihilangkan. Pemimpin APEC berada dalam posisi yang unik untuk mengakhiri masalah lama ini dengan membangun manusia ekonomi, di mana tidak ada yang tertinggal dan dimana kita bisa membangun dunia yang lebih baik untuk anak cucu kita. (*)