Festival Makna di Indramayu

Selain memberikan konsultasi, tim Klinik Tanaman IPB juga mengikuti rangkaian acara “Mapag Tamba”, salah satunya ada acara nandur bareng bernih karya petani (villagerspost.com/lisa bela fitriani)

Oleh: Azwar Hadi Nasution, Pegiat Agroekologi di Bogor, Pengurus INAGRI

Politik memecah belah dan budaya mempersatukan. Jargon ini kerap muncul dan sering menjadi kalimat pendingin suasana perpolitikan belakangan ini. Kegelisahan elit politik Jakarta tidak hanya seputaran Monas dan Medan Merdeka tapi menjalar ke dapur-dapur petani, masuk ke gorong-gorong pengairan lahan dan menjadi gunjingan di warung-warung desa.

Momen politik tahun ini bukan hanya milik elit bahkan rakyat sebagai penentu tidak kalah gesit untuk nimbrung dan mengambil bagian dalam gegap gempita dukungan. Keretakan yang ditimbulkan oleh panasnya suasana politik hanya menyisakan empat hal di masyarakat yakni pertama, hilangnya kehangatan berwarna negara.

Hasil kajian Lembaga Studi PolMark Indonesia pada tahun 2018 menyebutkan 93,8 % menyebut rusaknya pertemanan pasca PILKADA DKI. Wajah mengkerut dan nada tinggi yang sering dipertontonkan oleh elit menjadi pemantik untuk mendorong semakin rusaknya tatanan kehangatan berwarga negara.

Nyawa menjadi taruhan terjadi di Sampang, Madura akibat perbedaan pilihan calon presiden. Saling lapor, baik antar tim sukses atau pihak yang merasa banyak dirugikan secara politik. Berita benar dan hoax semakin sulit diverifikasi, saling timpal bukti justru semakin menjauhkan dari fakta yang sebenarnya.

Kedua, meningkatnya penyebaran berita bohong. Menurut Efendi Ghazali (2019) isu tentang tenaga kerja asing, PKI dan RAS menjadi trending topic berita bohong sepanjang tahun 2017-2019. Esensi dari ketiga trending hoax ini hanya untuk melemahkan pihak lawan tidak menjadi diskursus penting tentang kerugian bangsa, ketidakadilan ekonomi dan persatuan bangsa.

Penyelesaian ketiga hoax ini baru tahap klarifikasi pernah dibedah tuntas, bahkan seolah dipelihara bahkan dinikmati. Bangsa ini terjerumus ke dalam zona reaktif hilang budaya mawas dan antisipatif. Ajaran untuk selalu ‘eling lan waspada‘ sudah jarang dipraktikkan.

Ketiga, menguapnya budaya saling menghormati. Elit politik sering menghina logika publik dan publik pun tidak ketinggalan sengit mengumpat elit politik. Paradigma masyarakat hanya terbatas pada dua bentuk yakni paradigma kita adalah malaikat yang tak pernah salah dan mereka adalah setan yang selalu salah.

Cara pandang kita dan mereka sering digunakan, kelompok mereka adalah ancaman bagi kelompok kita, mereka adalah radikal, intoleran dan sebutan lain yang memecah belah. Harkat sebagai manusia hilang, manusia yang penuh kesalahan dan kekhilafan.

Kita cenderung memilih malaikat atau setan yang sangat hitam putih sebagai pemimpin bukan manusia yang banyak sekali corak dan ragam warnanya. Hasilnya pun semua elemen bangsa kelelahan mempertahankan kemanusiaan yang penuh alpha untuk dijunjung-junjung menjadi malaikat yang tak pernah berdosa.

Keempat, disoreintasi berbangsa dan bernegara. Mengoreksi pemerintah dan mengkritik penguasa menjadi barang yang penuh risiko. Penguasa gampang marah dan rakyat latah komentar.

Bangsa kita seolah baru siuman dari tidur panjang yang bernama kesepian sehingga kegenitan berkomentar menjadi hal utama, setiap momen sangat riuh alhasil hilang kejernihan informasi dan fakta yang terjadi. Saatnya kita menyudahi kegemaran mengumpulkan kaum tani untuk sekadar dukung mendukung dan unjuk kekuatan.

Festival Makna

Festival Padi 2019 yang digagas petani di Indramayu dimaknai sebagai festival makna. Program nandur bareng awal tahun 2019 dengan menanam puluhan varietas petani kecil menjadi arti sendiri bagi perjalanan spritual petani. Benih-benih kehidupan tersebut akan “diaqiqah” pada akhir April 2019.

Aqiqah bulir-bulir kehidupan akan dimaknai dengan festival hasil karya petani kecil. Aqiqah berupa festival padi akan memajang anak-anak kehidupan padi berupa benih-benih padi yang telah dipajang di lahan-lahan berupa tanaman padi sepanjang 3 hingga 4 bulan.

Paling tidak ada 3 makna dari Festival Padi Tahun 2019 yang akan diselenggarakan di Desa Kalensari, Indramayu pada tanggal 28-30 April 2019 itu. Pertama, merekatkan persatuan. Petani sebagai penghasil pangan nasional tidak boleh terbelah hanya karena rutinitas PILPRES dan PILEG.

Kegelisahan politik akan klimaks pada 17 April 2019. Festival padi paling tidak menjadi obat gelisah, para petani diajak kembali ke lahan, melihat pangan lagi, mencermati benih lagi dan merayakan berakhirnya paceklik kehangatan berbangsa dan bernegara. Festival Padi 2019 adalah ajang konsolidasi petani untuk kembali berperan membangun bangsa dan negara siapapun pemimpin terpilih di PILEG dan PILPRES 2019.

Menurut Altieri (2012), konsolidasi petani hanya bisa bergerak apabila kaum tani diajak untuk membentuk masa depan yang diinginkannya bukan sekedar menyelesaikan masalah yang dihadapinya.

Kedua, merayakan budaya. Festival Padi juga akan menjadi ajang budaya Berokan, Randu Kentir dan Sintren. Petani guyub, rukun dan bergembira. Selain pameran benih hasil karya petani kaum tani akan dihibur dengan berbagai ragam pementasan budaya. Memaknai kembali budaya sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari petani.

Ketiga, pameran ilmu petani. Petani yang selama ini dianggap tiada berdaya dan terbelakang dimuliakan dengan unjuk kebolehan ilmu dan teknologi petani. Ilmu pengendalian hama terpadu, teknologi pengolahan tanah dan pupuk hayati, teknologi pasca panen dan teknik pemasaran hasil panen petani.

Festival ini akan menjadi gong perayaan nasi petani berupa memasak puluhan varietas petani, mencecap rasa nasi bersama para chef handal dan menetapkan seluruh deskripsi padi yang dilepaskan untuk turut dirasai oleh masyarakat. Lalu sanggupkah kita saling menghibur satu sama lain dengan mengakhiri kegelisahan politik dan menggantinya dengan perayaan makna budaya petani bersama kaum tani dan masyarakat pedesaan? (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.