Greta Thurnberg, Perubahan Iklim, dan Kaum Milenial Kita

Anak petani miskin di Ethiopia. Kaum miskin dunia hanya mengemisi 10 persen karbon namun paling terdampak perubahan iklim (dok. oxfam.org)

Oleh: Parid Ridwanuddin *)

Sepanjang empat pekan ini, sepak terjang seorang anak remaja perempuan berusia 16 tahun bernama Greta Thurnberg telah mencuri perhatian saya. Ia hanyalah siswa sekolah menengah pertama. Namun, sejumlah media internasional memberinya gelar Climate Activist. Gadis berdarah Swedia ini dilahirkan pada 3 Januari 2003. Ibunya, Malena Ernman, adalah seorang penyanyi opera, sedangkan bapaknya, Svante Thurnberg adalah seorang aktor. Jika melihat asal-usul keluarganya, tak ada yang istimewa, semuanya tampak sederhana.

Namun, di balik kesederhanaan itu, Greta Thurnberg adalah sosok gadis remaja yang sangat luar biasa karena memiliki keberanian yang tidak dimiliki oleh banyak anak seusianya. Pada usia yang relatif muda, ia merasakan keresahan yang sangat dalam saat melihat dan mengetahui krisis iklim yang kini mengancam dunia. Bertitik tolak dari keresahan tersebut, sejumlah keputusan penting dalam hidupnya telah diambil.

Pada tanggal 20 Agustus 2018 sampai dengan 9 September 2018, gadis remaja ini memutuskan untuk tidak masuk sekolah. Alasannya, ia ingin melakukan kampanye untuk menyambut momentum pemilihan umum Swedia dengan tuntutan utama, Pemerintah Swedia terpilih harus berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon sebagaimana disepakati dalam Kesepakatan Paris (Paris Agreement).

Paris Agreement merupakan kesepakatan internasional berbasis hukum yang disepakati oleh 195 negara peserta Konferensi Perubahan Iklim, atau Conference of Parties (COP) Pada 21 Desember 2015 di Kota Paris, Perancis. Paris Agreement merupakan pengganti Protokol Kyoto. Tujuannya, untuk mengurangi emisi gas rumah kaca pasca tahun 2020. Poin utama Paris Agreement adalah menjaga ambang batas suhu bumi di bawah dua derajat Celcius dan berupaya menekan hingga 1,5 derajat Celcius di atas suhu bumi pada masa pra-industri.

Pada titik ini, kita dapat membayangkan betapa hebatnya anak remaja ini. Pada usia 16 tahun ia telah memiliki kemampuan untuk memahami persoalan-persoalan global yang sangat pelik seperti memahami kesepakatan internasional, semacam Paris Agreement. Pada saat yang sama mampu melakukan kerja-kerja lokal di tempat ia tinggal. Dalam Bahasa sederhana, Greta Thurnberg mampu melakukan dua kerja sekaligus, yaitu: think globally, act locally.

Selama tidak bersekolah, ia melakukan aksi protes dan demonstrasi di depan Riksdag (gedung Parlemen Swedia) pada jam belajar dengan membawa poster dan perlengkapan aksi demonstrasi yang bertuliskan pesan: “Skolstrejk för Klimatet” (school strike for the climate). Jika ditafsirkan ke dalam Bahasa Indonesia, pesan itu memiliki arti “mogok sekolah untuk merespons krisis iklim”.

Apakah keberanian Greta Thurnberg berhenti saat pemilihan umum Swedia usia? Jawabannya tidak. Gadis remaja ini melanjutkan aksi mogok sekolah sebagai bentuk perlawanannya terhadap krisis iklim, hanya pada hari Jum’at. Gerakan ini telah mencuri perhatian dunia internasional. Lebih jauh, aksi ini telah menginspirasi gerakan kolektif siswa di banyak negara.

Pada Desember 2018 lalu, lebih dari 20 ribu anak-anak sekolah di berbagai kota di negara Australia, Austria, Belgia, Kanada, Belanda, Jerman, Finlandia, Denmark, Jepang, Swiss, Inggris, dan Amerika Serikat telah melakukan aksi mogok sekolah pada hari Jum’at untuk merespons perubahan iklim. Menyikapi masifnya gerakan ini, Perdana Menteri Australia berkomentar pedas dan meminta anak-anak yang mogok sekolah untuk lebih banyak belajar di sekolah serta mengurangi aktivisme.

Jika kita berhenti dan melihat dampak gerakan yang dilakukan oleh Greta Thurnberg sungguh luar biasa. Gerakan sederhana namun sangat mendasar ini sungguh telah “meracuni” pikiran anak-anak sekolah di berbagai negara untuk berpikir dan bersikap kritis terhadap krisis iklim yang mengancam planet bumi.

Dalam forum Conference of Parties (COP) ke-24 yang diselenggarakan di Kota Katowice, Polandia, 12 Desember 2018 lalu, Greta Thurnberg menyampaikan pidato penting yang mengkritik konsep sekaligus praktik “pertumbuhan ekonomi hijau” yang sangat problematis. Problematis karena konsep dan praktik tersebut terbukti telah mengakibatkan krisis iklim akibat eksploitasi sumber daya alam.

Secara lugas, di penghujung pidatonya, ia menyerukan para pemimpin dunia untuk mengubah sistem yang selama ini menjadi biang kerok krisis iklim. Pidato lengkapnya dapat diakses pada link youtube .

Dalam World Economic Forum (WEF) yang diselenggarakan pada 23 Januari 2019 lalu, lagi-lagi Greta Thurnberg mengguncang dunia. Melalui pidato yang bertajuk “Rumah Kita Terbakar” (Our House is on Fire), ia mengkritik pertemuan-pertemuan forum ekonomi dunia seperti WEF di Davos.

“Di tempat-tempat seperti Davos, orang-orang suka menceritakan kisah sukses. Tetapi kesuksesan finansial mereka datang dengan label harga yang tidak terpikirkan. Dan tentang perubahan iklim, kita harus mengakui bahwa kita telah gagal. Semua gerakan politik dalam bentuknya yang sekarang telah (gagal) melakukannya. Media juga telah gagal menciptakan kesadaran publik yang luas,” tegasnya sebagaimana dikutip oleh situs theguardian.com.

Greta Thurnberg melanjutkan, di Davos – sama seperti di tempat lain – semua orang berbicara tentang uang. Tampaknya uang dan pertumbuhan adalah satu-satunya perhatian utama masyarakat saat ini. “Karena krisis iklim tidak pernah diperlakukan sebagai krisis, orang tidak menyadari konsekuensi penuh pada kehidupan kita sehari-hari. Dan kita menghadapi bencana penderitaan yang tak terucapkan bagi banyak orang,” tandasnya.

Di akhir pidatonya, ia mengajak masyarakat dunia untuk merasa panik karena rumah kita (planet bumi) sedang terbakar akibat krisis iklim. Dan oleh karena itu setiap orang harus berbicara dengan bahasa yang jelas, tidak peduli seberapa tidak nyaman dan tidak menguntungkan. Pidato lengkap Greta Thurnberg dapat diakses di laman web The Guardian.

Satu hal penting yang perlu dicatat, untuk sampai ke Davos yang terletak di bagian timur Swiss, Greta Thurnberg telah menempuh perjalanan selama 32 jam dari Swedia dengan menggunakan kereta api. Sebaliknya, lebih dari 1500 orang delegasi yang hadir di dalam forum ekonomi dunia itu sampai ke Davos dengan menggunakan pesawat pribadi. Sekali lagi, gadis ini telah berhasil menunjukkan arti perlawanan terhadap krisis iklim.

Keteladanan Ekologis

Apa yang dilakukan oleh Greta Thurnberg sesungguhnya merupakan keteladanan ekologis yang sangat penting. Keteladanan ini lahir dari keresahan dan kepedulian yang tulus terhadap kondisi planet bumi yang semakin hari semakin krisis. Ungkapan “our home is on fire” sangat tepat menggambarkan kondisi krisis iklim. Dan gadis remaja ini berhasil menyampaikan pokok persoalan secara tepat dan ringkas di forum pertemuan dunia.

Keresahan, keberanian serta keteladanan yang ditunjukkan oleh Greta Thurnberg seharusnya juga lahir dari pikiran dan aksi anak-anak muda Indonesia saat ini yang sama-sama tumbuh dalam kondisi krisis iklim. Krisis iklim adalah persoalan seluruh umat manusia tanpa memandang suku, ras, agama serta perbedaan pilihan politik.

Dari Greta Thurnberg pula kita harus belajar bahwa kepedulian terhadap masa depan planet ini harus terus digelorakan oleh anak-anak muda. Di dalam wilayah praksis, anak-anak muda Indonesia harus terlibat dalam upaya-upaya perlawanan terhadap deforestasi di Indonesia yang setiap tahun terus bertambah. Pada saat yang sama, ekspansi perkebunan sawit juga terus bertambah dari tahun ke tahun. kerusakan hutan di Indonesia menyumbang lebih dari 80% deforestasi global hingga tahun 2030.

Hutan Kalimantan dan Sumatera termasuk dalam 11 wilayah di dunia yang berada di barisan depan deforestasi. Pada tahun 2017, Uni Eropa telah mengeluarkan resolusi penting yang menyebutkan bahwa 73% penyebab pemanasan global adalah deforestasi yang didorong oleh ekspansi sawit di hutan-hutan tropis.

Pada saat yang sama, hutan-hutan Indonesia juga terus dihancurkan oleh proyek pertambangan skala besar untuk kepentingan energi fosil. Sampai dengan tahun 2015, Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat jumlah proyek pertambangan yang berada di dalam hutan-hutan di enam provinsi di Indonesia sebanyak 858 proyek dengan luasan mencapai 5.512.757 hektare. Angka ini terus meningkat karena negara belum mampu keluar dari paradigma pembangunan yang ekstraktif dan eksploitatif.

Persoalan lainnya adalah ekspansi proyek reklamasi di Indonesia. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mencatat, proyek reklamasi telah mencapai luasan 79.348 hektare di 41 wilayah pesisir di Indonesia dan telah merampas ruang kehidupan 747,363 keluarga nelayan di seluruh Indonesia. Reklamasi pantai adalah proyek yang harus menjadi perhatian anak muda karena berdampak terhadap kerusakan lingkungan hidup dalam waktu yang sangat panjang.

Persoalan deforestasi, ketergantungan terhadap energi fosil, dan proyek reklamasi adalah tiga hal yang mesti menjadi agenda gerakan anak muda dalam rangka merespons krisis iklim. Anak muda di Indonesia perlu meneladani gerakan yang diinisiasi oleh Greta Thurnberg: berpikir global, bertindak lokal.

Kepedulian terhadap masa depan planet bumi harus menjadi milik anak-anak muda Indonesia. Jangan sampai ada anak-anak muda yang senantiasa menjual dan mengkomodifikasi isu anak-anak muda (generasi milenial) tetapi kenyataannya justru melanggengkan gagasan dan praktik eksploitasi sumber daya serta perusakan alam. Inilah yang harus kita lawan.

Menjadi pencinta dan pembela keberlanjutan planet bumi tidaklah sulit. Yang perlu dilakukan adalah memulai terlibat dalam memulai langkah kecil seperti yang dilakukan oleh Greta Thurnberg. Salam dan hormat saya dari Indonesia. (*)

*) Penulis adalah Dosen Filsafat dan Agama Universitas Paramadina serta Aktivis Lingkungan pada lembaga KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.