Hari Tanah Sedunia: Selamatkan Kehidupan dan Keragaman
|
Oleh: Azwar Hadi Nasution, Alumni Ilmu Tanah IPB, Pegiat INAGRI dan Peserta Diskusi Pangan KRKP
Hari tanah sedunia yang diperingati setiap tanggal 5 Desember merupakan momentum untuk menegaskan kembali bahwa menjaga kelestarian bumi ini dimulai dari tanah. Tema hari Tanah tahun 2018 adalah Jadilah Solusi Bagi Polusi Tanah.
Tanah dan segala kompleksitasnya yang menyebabkan kehidupan masih terselenggara. Selain sebagai faktor produksi untuk menyokong 95 % pangan, tanah adalah “simbion” utama dari simbiosis kehidupan.
Polusi Tanah, Erosi Tanah dan Pertanian.
Merujuk pada definisi yang dikeluarkan oleh Food and Agriculture Organization (FAO), polusi tanah mengacu pada keberadaan bahan kimia atau zat yang tidak pada tempatnya dan/atau berada pada konsentrasi yang lebih tinggi dari biasanya yang memiliki efek buruk bagi organisme yang bukan target. Meski mayoritas polutan memiliki asal antropogenik, beberapa kontaminan dapat terjadi secara alami di tanah seperti komponen mineral dan bisa beracun pada konsentrasi tinggi.
Polusi tanah sering tidak bisa langsung dinilai atau dilihat secara visual, membuatnya menjadi bahaya tersembunyi. Keragaman kontaminan terus berkembang karena agrokimia dan perkembangan industri. Keragaman ini, dan transformasi organik senyawa dalam tanah oleh aktivitas biologis menjadi beragam metabolit, membuat survei tanah dalam mengidentifikasi kontaminan sulit dan mahal. Efek dari kontaminasi tanah juga bergantung pada sifat-sifat tanah karena ini mengendalikan mobilitas, bioavailabilitas, dan waktu tinggal kontaminan (FAO dan ITPS, 2015).
Erosi tanah memiliki efek langsung dan negatif bagi pertanian global. Erosi tanah oleh air menginduksi 23-42 megaton Nitrogen dan 14,6-26,4 megaton Posfor dari lahan pertanian. Fluks ini sebanding dengan intensitas aplikasi pupuk. Hilangnya unsur hara ini perlu diganti melalui pemupukan dengan biaya ekonomi yang signifikan.
Hitungan Departemen Pertanian Amerika Serikat tahun 2015 sebesar US$33-60 miliar untuk Nitrogen dan US$77-140 miliar untuk Posfor. Oleh karena itu jelas bahwa kompensasi untuk kerugian hara yang disebabkan erosi memerlukan investasi besar-besaran dalam penggunaan pupuk.
Lalu bagaimana dengan daerah miskin seperti Afrika sub-Sahara, sumber daya ekonomi untuk mendapatkan kompensasi untuk kehilangan nutrisi tanah tidak ada. Sebagai akibatnya, penghilangan nutrisi oleh erosi dari ladang pertanian jauh lebih tinggi daripada jumlah pupuk yang digunakan. Pengangkatan tanah dan nutrisi yang merusak dari dataran tinggi dapat diimbangi sebagian melalui endapan tanah dan nutrisi yang terkikis di daerah pengendapan.
Aliran permukaan yang membentuk sedimen pada hulu sungai atau dataran rendah memang terjadi namun kondisi seperti itu tidak boleh dibesar-besarkan sebagai keuntungan. Artinya sedimen yang menyimpan unsur hara yang kaya pada skala yang lebih kecil mampu meningkatkan produktivitas namun miskin dalam menyerap dan menyediakan air karena porositas yang kecil. Perhatian utamanya adalah bagaimana degradasi tanah akan mengancam keberlangsungan fungsi tanah.
Kehidupan bawah tanah
Menyelamatkan kehidupan bawah tanah berarti melestarikan kehidupan. Apa yang terjadi di atas tanah menjadi refleksi apa yang terjadi di dalam tanah. Semakin sedikit nutrisi yang kita terima mengindikasikan semakin tipis nutrisi di dalam tanah. Kehidupan bawah tanah hanya dapat diselamatkan dengan praktek-praktek yang memperhatikan ekologi. Seharusnya kita semakin menolak praktek-praktek penggunaan pestisida kimia.
Selain membunuh target, praktik penggunaan pestisida kimia juga membunuh non-target yang tidak terlihat. Membunuh organisme yang tidak terlihat inilah yang membahayakan kelestarian tanah, sebab di tanah ada mikroorganisme yang mampu melakukan dekomposisi bahan organik apapun, ada antibiotik, ada cacing tanah (natural ecology enginering), ada collembolla, ada jutaan mikroorganisme, ada bermacam kehidupan dan ada jaring makanan tersendiri di dalam tanah yang menjadi dasar kehidupan di atas tanah. Sumbangan ilmu pengetahuan untuk menyibak misteri kehidupan dalam tanah tak lebih dari baru 10 % masih ada 90 % misteri yang harus hati-hati dan bijak dikelola.
Praktik agroekologi: Pengelolaan Lahan Berkelanjutan
Praktik bertani secara ekologis (agroekologi) merupakan strategi untuk memulihkan tanah dan stabilitas ekosistem berdasarkan keragaman temporal dan spasial. Ada beberapa hal praktik agroekologi yang menjadi pengelolaan lahan berkelanjutan.
Pertama Sistem polikultur. Desain campuran tanaman yang sesuai lebih stabil daripada monokultur. Polikultur membangun beragam tanaman ketahanan terhadap hama dan penyakit tanah dan komplementer penyerapan nutrisi tanah dan air untuk memfasilitasi daur ulang biomassa dan nutrisi. Keragaman pohon dan tanaman meningkatkan efisiensi seluruh sistem, sementara mulsa sampah dan posisi Pohon-pohon di sepanjang garis kontur mengurangi erosi dan tanah potensi degradasi.
Kedua, Tanaman penutup. Tanaman penutup biasanya dari kelompok leguminosa. Tanaman ditanam untuk meningkatkan kesehatan tanah dengan jaminan penutup tanah permanen, menambahkan bahan organik ke tanah dan memperbaiki nitrogen atmosferik. Penggunaan Mucuna spp. dan penggunaan kacang tanah di beberapa daerah di Jawa Tengah sebagai tanaman penutup di beberapa lokasi di Afrika meningkatkan bahan organik tanah, meningkatkan ketersediaan nitrogen di tanah dan berpengaruh baik bagi kesehatan tanah dan tanaman.
Ketiga Integrasi tanaman dan ternak. Integrasi ternak dengan produksi tanaman dapat memperketat siklus nutrisi dan diversifikasi produksi, terutama untuk keluarga petani kecil dan peternakan rakyat. Dalam sistem pertanian campuran, hasil sampingan tanaman adalah diumpankan ke ternak sementara pupuk diterapkan ke lahan pertanian mempertahankan manfaat dari bahan organik tanah dan nutrisi tersedianya.
Sistem ini sudah sangat banyak praktiknya di Jawa terutama di Yogjakarta dan Jawa Timur. Bahkan ungkapan awal mula dari pertanian adalah akhir dari peternakan dan begitu juga sebaliknya akhir dari pertanian merupakan awal mula peternakan. Tanah air merupakan hal yang sakral sehingga ia menjadi ibu pertiwi. Lalu Kapankah kita sebagai anak dari kehidupan berhenti meracuni dan menyiksa ibu pertiwi? Lalu kita memulai memuliakannya dengan agroekologi. (*)