Kasus Hukum Adat dan Lumpuhnya Gerakan Literasi di Desa Kanreapia

Penulis bersama pemilik Rumah Koran, di Desa Kanreapia, Tombolopao, Gowa, Sulawesi Selatan (dok. pribadi)

Oleh: Suardi, Akademisi dan Pegiat Literasi Sulawesi Selatan

Akhir-akhir ini, pasca merebaknya kasus tuduhan perlakuan asusila yang menimpa seorang warga Desa Kanreapia, Kecamatan Tombolopao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan yang diikuti oleh penerapan hukum adat berupa pengusiran terhadap terduga pelaku, membuat kegiatan literasi di desa tersebut lumpuh. Pasalnya, tuduhan yang dilemparkan beberapa oknum desa itu, dilakukan tanpa bukti yang jelas. Hukum adat yang diberlakukan juga tidak sesuai dengan prosedur sebenarnya yaitu tanpa pembelaan oleh terduga pelaku, yang masih kerabat penggerak literasi Desa Kanreapia, Jamaluddin Daeng Abu.

Jamaluddin, selama saya kenal selama ini, merupakan tokoh yang aktif dalam gerakan literasi masyarakat desa melalui komunitas Rumah Koran. Lewat Rumah Koran, Jamaluddin menginisiasi Gerakan Cerdas Anak Petani. Gerakan ini berfokus kepada peningkatan sumber daya manusia (SDM) masyarakat petani melalui aktivitas petani gemar membaca dan menghapuskan buta aksara di pedesaan.

Selain itu gerakan cerdas anak petani ini mempunyai misi agar petani di Desa Kanreapia, berubah menjadi petani organik dan menjadi petani online agar hasil–hasil pertanian mampu dihasilkan secara sehat dan segar serta mampu dipromosikan secara online. Namun, pasca kasus tersebut, perjalanan Rumah Koran yang sudah berjalan sejak tahun 2011, akhir-akhir ini seakan hilang menghilang baik di dunia nyata maupun di dunia maya.

Ada apa? Adakah masalah atau persoalan sosial yang menimpa Rumah Koran? Lumpuhnya gerakan Rumah Koran ini memang patut disayangkan karena selain memberantas buta aksara di desa, Rumah Koran juga melakukan gerakan literasi dalam arti luas, termasuk menurunkan angka putus sekolah, menurunkan angka pernikahan dini pada tingkat petani dan masyarakat pedesaan, sampai aktivitas belajar-mengajar, termasuk membaca bersama di alam terbuka.

Namun, aktivitas ini belakangan tak lagi terlihat. Sekali lagi sangat disayangkan jika kegiatan–kegiatan Rumah Koran, seperti belajar mengeja, belajar mengaji, baca buku di sungai, bersih–bersih sungai, membaca buku di gunung dan kebun tak lagi terlihat dan berjalan. Sepanjang pengetahuan saya, penyebabnya, bukan karena tidak adanya peserta didik, dan biaya operasional yang tak mampu mencukupi biaya operasional kegiatan–kegiatan sosial Rumah Koran.

Lantas apa penyebabnya? Setelah saya membaca di berbagai media lokal maupun nasional, alasan berhentinya kegiatan–kegiatan Rumah Koran dan Gerakan Cerdas Anak Petani bermula dari kasus dugaan perbuatan asusila yang menimpa keluarga pemilik Rumah Koran dan tuduhan itu jelas tidak bisa dibuktikan. Keluarga pemilik Rumah Koran pun merasa difitnah, apalagi fitnah itu telah menyebar luas, karena telah disebarluaskan melalui media sosial oleh oknum–oknum yang mengatas namakan pemerintah desa dan mengatasnamakan hukum adat Desa Kanreapia.

Merasa tak lagi nyaman tinggal di desanya akibat adanya fitnah ini, membuat pemilik lahan Rumah Koran, tak lagi fokus melaksanakan kegiatan Rumah Koran dan Gerakan Cerdas Anak Petani. Inilah alasan kuat berhentinya kegiatan–kegiatan membaca buku, kegiatan literasi desa dan kegiatan sosial Rumah Koran lainnya.

Terlebih, dengan adanya hukum adat berupa pengusiran pemilik lahan Rumah Koran, membuat lahan yang juga sering digunakan untuk kegiatan kemah literasi, lahan percontohan tanam dan petik sendiri hasil panen, tak lagi bisa lagi diakses pemiliknya, sehingga kegiatan literasi desa pun otomatis lumpuh. Pencabutan hak tinggal ini jelas tidak adil, karena selain hilangnya kegiatan literasi desa, keluarga pemilik Rumah Koran juga kehilangan hak mencari nafkah di desanya.

Kegiatan–kegiatan Rumah Koran tidak bisa lagi dijalankan, karena pemilik lahannya telah diusir secara paksa, walaupun tidak terbukti bersalah. Tuduhan perbuatan asusia, tersebut sejatinya merupakan delik aduan. Nyatanya tak ada pihak yang mengadu telah menjadi korban, sehingga seiring berjalannya waktu tuduhan ini tidak bisa di buktikan, tidak ada yang keberatan, perempuan yang dituduh pun membantah terjadi tindakan itu dan suaminya sendiri tidak mempersoalkan.

Hanya segelintir pihak dan pihak ketigalah yang membesar– besarkan tuduhan ini, kesimpulan ini saya baca dari berbagai media. Berbagai pihak seperti kepolisian, pemangku adat yang lama tidak menemukan indikasi tuduhan tersebut terjadi, sehingga lahirlah kesimpulan bahwa pemilik lahan Rumah Koran hanyalah korban tuduhan tak berdasar dan tidak bisa dijatuhi hukuman seperti yang dituduhkan.

Banyak pihak juga menduga kasus ini bermuatan politis dan terkait dengan pergantian kepemimpinan di Desa Kanreapia. Bagi saya, pegiat literasi, persoalan politis seperti ini sejatinya bukan sesuatu yang penting. Namun menjadi genting karena dampak dari adanya situasi ini membuat sebuah kegiatan literasi yang sudah dibangun belasan tahun mendadak berhenti, hanya karena keluarga pegiat gerakan literasi menerima tuduhan tanpa dasar dan dicabut hak tinggalnya di desa tersebut atas nama hukum adat oleh ketua adat yang juga baru terpilih seiring terpilihnya kepala desa baru.

Perkara ini tentu menjadi bahan renungan untuk kita semua sebagai pegiat literasi di Sulawesi Selatan dan juga level nasional. Ini menjadi ujian untuk kita semua. Akankah kita akan diam saja melihat dan mengamati sahabat kita, Jamaluddin, berjuang sendirian? Akankan kita hanya akan menjadi penonton melihat sahabat kita sendirian berjuang dan sendirian menyelesaikan masalahnya?

Melalui tulisan ini saya mengimbau, mari bersama–sama kita kawal dan bongkar kasus ini agar sahabat kita, Jamaluddin bisa membersihkan nama baik diri dan keluarganyua dari tuduhan tak berdasar itu, bisa kembali pulang ke desanya dan bisa kembali menjalankan program–program literasinya di Desa Kanreapia. Salam Literasi.

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.