Kejahatan Ekosida Reklamasi Teluk Jakarta
|
Oleh: Parid Ridwanuddin, Dosen Program Studi Falsafah dan Agama Universitas Paramadina serta aktivis lingkungan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
Dalam dua pekan terakhir, masyarakat dikejutkan oleh penerbitan 932 izin mendirikan bangunan (IMB) yang dikeluarkan oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, untuk Pulau D. IMB tersebut diperuntukkan bagi sebanyak 409 rumah tinggal, 212 rumah kantor, dan 311 bangunan lainnya yang belum selesai dibangun. Padahal, pada saat kampanye Pemilihan Gubernur DKI Jakarta, penghentian reklamasi Teluk Jakarta merupakan salah satu isu utama dari 23 janji politik Anies bersama dengan Sandiaga Uno.
Setelah terbitnya 932 IMB tersebut, sejumlah kalangan masyarakat mempertanyakan komitmen Anies Baswedan yang pernah berjanji akan menghentikan reklamasi. Namun, di dalam penjelasan resmi yang disampaikan kepada publik, Anies malah menyatakan penerbitan 932 IMB dilakukan karena sesuai dengan prosedur dan memiliki landasan hukum. Pada titik inilah, posisi Anies sesungguhnya adalah pelanjut proyek reklamasi Teluk Jakarta yang telah dimulai sejak lama.
Jika menggunakan argumentasi hukum, proyek reklamasi Teluk Jakarta ini jelas batal dengan terbitnya putusan Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada tahun 2016 terhadap izin Pulau G No. 2238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra, yang dikeluarkan oleh Basuki Tjahaya Purnama saat menjabat Gubernur DKI.
Pada tanggal 31 Mei 2016, Majelis Hakim PTUN Jakarta mengeluarkan putusan yang membatalkan izin pulau G sebagai berikut: Pertama, melanggar hukum karena tidak dijadikannnya Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagai dasar.
Kedua, tidak adanya Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana diamanahkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Ketiga, proses penyusunan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) tidak partisipatif dan tidak melibatkan nelayan.
Keempat, reklamasi tidak sesuai dengan prinsip pengadaan lahan untuk kepentingan umum sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Kelima, tidak ada kepentingan umum dalam reklamasi, hanya kepentingan bisnis semata. Keenam, menimbulkan dampak fisik, biologi, sosial-ekonomi, dan infrastruktur; ketujuh, menimbulkan kerusakan lingkungan dan berdampak kerugian bagi para penggugat (nelayan).
Putusan terhadap izin Pulau G ini, tak jauh berbeda dengan putusan terhadap izin Pulau F I dan K. Secara hukum, putusan terhadap izin empat pulau ini dapat diterapkan pada Pulau C dan Pulau D, karena memiliki kesamaan dampak, kesamaan lokasi, serta kesamaan proses yang tidak memenuhi ketentuan hukum.
Kejahatan Ekosida
Bagi Franz Broswimmer, seorang ahli sosiologi lingkungan Universitas Hawai, Ekosida (ecocide) bermakna pembunuhan atau pemusnahan terhadap sebuah ekosistem (killing of an ecosystem), termasuk mereka yang ikut serta dalam membuat kebijakan dan mengkonsumsinya secara masif. Broswimmer menjelaskan, praktik ekosida dilakukan secara sistematis, dalam arti suatu tindakan yang dilakukan oleh pelaku dan menyebabkan musnahnya fungsi ekolologis, sosial, dan budaya sebagai bagian dari kehidupan manusia.
Dengan demikian, terdapat tiga unsur dampak yang terkandung dalam ekosida. Pertama, dampaknya sangat panjang terhadap suatu satuan dan fungsi kehidupan serta tidak dapat dipulihkan kembali. Kedua, terdapat satuan fungsi yang musnah pada suatu rangkaian kehidupan dari kondisi semula. Ketiga, terdapatnya penyimpangan-penyimpangan fisik dan psikis manusia. (Walhi, 2019: 47).
Ekosida pada dasarnya adalah kejahatan modern yang setara dengan kejahatan kemanusiaan lainnya. Hal ini dilihat dari dampaknya yang sangat serius terhadap lingkungan hidup dan kehidupan manusia dalam jangka waktu yang sangat panjang. Bahkan sejumlah organisasi lingkungan hidup internasional, seperti Global Witness menyerukan pelakukan diadili di Den Haag bersama dengan penjahat perang dan diktator lainnya.
Jika perspektif ekosida ini digunakan untuk membaca dampak reklamasi Teluk Jakarta, maka kita akan menemukan sejumlah fakta pembunuhan terhadap ekosistem Teluk Jakarta. Pusat data dan Informasi KIARA (2016) mencatat luasan mangrove di Perairan Teluk Jakarta mengalami penyusutan drastis sejak adanya proyek reklamasi, setidaknya sejak tahun 1995.
Dari luas lebih dari 1.140 hektare, kini hanya terisa tidak lebih dari 25 hektare. Selain itu, hasil tangkapan ikan nelayan mengalami penurunan signifikan dari 25 kg sampai dengan 3 kwintal setiap hari, kini hanya kurang dari 5 kg setelah adanya proyek reklamasi.
Sejak tahun 2016, KIARA mencatat dua orang nelayan beralih profesi menjadi kuli-kuli di kota besar karena sektor perikanan tak mampu menopang kehidupan perokonomian mereka. Kondisi terjadi karena akumulasi kerusakan yang terjadi di Teluk Jakarta akibat proyek reklamasi.
Di wilayah lain, tak sedikit pulau-pulau kecil yang rusak bahkan tenggelam akibat aktivitas tambang pasir untuk memenuhi kebutuhan material pulau reklamasi di Teluk Jakarta. Pulau Tunda di Perairan Banten dapat disebut sebagai salah satu yang hancur akibat proyek ini, di kawasan darat, sejumlah perbukitan di Rumpin, Kabupaten Bogor hancur akibat tambang untuk pulau reklamasi. Tak ketinggalan, akses jalannya juga rusak parah akibat aktivitas tambang.
Berbagai fakta tersebut, telah memenuhi unsur ekosida yang disembutkan di atas. Dengan mengunakan perspektif ini, maka setiap pihak yang terlibat dalam kebijakan reklamasi Teluk Jakarta adalah pelaku ekosida yang terbukti melakukan pemusnahan terhadap ekosistem di Teluk Jakarta. Akibat proyek reklamasi, entitas ekolologis, sosial, dan budaya di Teluk Jakarta secara perlahan-lahan akan tiada. Proyek reklamasi di Teluk Jakarta sesungguhnya tragedi kemanusiaan yang terdapat di beranda Ibu Kota Republik Indonesia.
Tak ada cara lain untuk menyelamatkan Teluk Jakarta di tengah akumulasi kerusakan saat ini, selain dari menghentikan proyek reklamasi dan memulihkan ekosistem Teluk Jakarta secara sistematis dan berkelanjutan dengan melibatkan nelayan sebagai pilar utamanya.
Pada tanggal 16 Juni 2011, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia mengeluarkan Putusan Nomor 3 Tahun 2010. Di dalam putusan tersebut, Majelis Hakim MK mengeluarkan empat putusan penting. Pertama, masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki hak untuk melintas dan mengakses laut. Kedua, Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki hak untuk mendapatkan perairan yang bersih dan sehat.
Ketiga, masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki hak untuk mendapatkan manfaat dari sumberdaya kelautan dan perikanan. Keempat, masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki hak untuk mempraktikkan adat istiadat dalam mengelola laut yang telah dilakukan secara turun temurun.
Putusan MK inilah yang seharusnya dipedomani oleh para pengambil kebijakan, dalam menata Teluk Jakarta yang dihuni oleh lebih dari 25 ribu nelayan tradisional. Pengelolaan sumberdaya alam, khususnya di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil harus berasal dari masyarakat, oleh masyarakat, dan diarahkan untuk sebesar-besar kemakmuran masyarakat. (*)