Krisis Iklim, Kepentingan Bisnis dan Skeptisisme Lingkungan

Kerusakan lahan gambut akibat pembukaan lahan perkebunan sawit (dok. greenpeace)

Oleh: Parid Ridwanuddin *)

Sejumlah media internasional menyebutkan bahwa saat ini cuaca di AS sudah menembus minus 54 derajat celcius. Fakta ini menunjukan bahwa apa yang disebut dengan pemanasan global dan atau perubahan (krisis) iklim benar-benar terjadi. Sayangnya, orang semacam Trump tetap tidak mempercayainya meski itu benar-benar nyata.

Di dalam buku, “Lingkungan Hidup dan Kapitalisme” yang ditulis oleh Fred Magdoff dan John Bellany Foster, dan diterjemahkan dengan sangat apik oleh Bung Pius Ginting, disebutkan bahwa telah sejak lama, aktor-aktor besar bisnis atau multimiliarder di AS telah banyak berinvestasi dalam menyebarkan keraguan tentang kebenaran ilmiah perubahan iklim atau skeptisisme lingkungan. Kepentingan bisnis besar untuk mempertahankan skeptisisme lingkungan ini terus dipertahankan serta menjadi agenda politik dan agenda intelektual sejumlah lembaga riset untuk menentang pelajaran pemanasan global di sekolah-sekolah (hal. 104-105).

Oleh karena itu, kita jangan aneh saat membaca sikap Trump yang anti dengan pemanasan global atau perubahan iklim akibat ulah manusia. Bahkan pada tahun 2017 dia mengumumkan AS menarik diri dari perjanjian Paris tentang perubahan iklim yang disepakati pada 2015. Keputusan ini diambil karena untuk memenuhi janjinya pada masa kampanye pemilihan presiden, yang akan mengambil langkah membantu industri minyak dan batu bara di negaranya.

Inilah keputusan politik yang lahir dari seorang presiden yang memiliki latar belakang pebisnis. Dengan demikian, ada relasi yang sangat kuat antara kepentingan bisnis besar, agenda skeptisisme lingkungan dan politik ekologi sebuah pemerintahan. Skeptisisme lingkungan merupakan sebuah pengetahuan yang diproduksi oleh kepentingan bisnis guna melegitimasi praktik ekstraksi dan eksploitasi sumber daya alam.

Di Indonesia, skeptisisme lingkungan juga telah menjadi agenda penting. Sekelompok akademisi mengajukan konsep bahwa sawit itu tanaman hutan, serta bukan penyebab deforestasi. Tak hanya itu, tambang mineral, khususnya batu bara masih menjadi primadona. Proyek tambang masih dijadikan primadona “pengerek” pertumbuhan ekonomi.

Di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, proyek reklamasi diajukan sebagai sebuah konsep pembangunan baru untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, dimana di dalamnya akan dibangun pusat-pusat perekonomian baru, dan disulap menjadi kawasan hijau. Di Malaysia, proyek reklamasi “dibranding” dengan nama “forest city”, di Dubai, proyek reklamasi “dibranding” dengan kemasan pohon palm. Sementara itu, di Indonesia proyek-proyek reklamasi dikemas dengan icon burung garuda, seperti yang ada di Jakarta. Semua ini tidak lepas dari kepentingan bisnis besar.

Dalam konteks kebijakan di Indonesia, ekspansi perkebunan sawit skala besar yang dimiliki oleh sejumlah pebisnis terus terjadi. Data Sawit Watch terbaru menyebut luasan perkebunan sawit lebih dari 15 juta hektare. Tak hanya di kawasan hutan, ekspansi perkebunan sawit juga terus masuk ke kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang menghancuran berbagai ekosistem esesnial, seperti hutan mangrove.

Kepentingan para pengusaha sawit akan semakin kuat jika RUU perkelapasawitan disahkan menjadi Undang-undang.

Proyek tambang terus dimasukan sebagai aktivitas utama dalam pembangunan. Di dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2018-2027, pemerintah menetapkan ratusan proyek pembangunan PLTU batu bara yang lokasinya banyak di berada di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Proyek ini terbukti menghancurkan ekosistem darat dan laut Indonesia pada masa-masa yang akan datang.

Proyek reklamasi, dalam catatan KIARA terus mengalami peningkatan, sampai dengan tahun 2018 tercatat di 41 kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Proyek reklamasi dikuatkan oleh peraturan-perundangan seperti Perpres, kepres, Pergub, dan atau Kepgub.

Telah banyak literatur yang dapat kita dipelajari mengenai fakta pemanasan global dan perubahan (krisis) iklim. Kajian tersebut berangkat dari berbagai tinjauan: filosofis, teologis, sosiologis, politis, dan juga saintifik. Semuanya membuktikan bahwa planet bumi saat ini berada dalam titik nadir akibat eksploitasi sumber daya alam tanpa batas. Selain itu, fakta-fakta di lapangan seperti kenaikan permukaan air laut, gelombang laut yang sangat tinggi di kawasan pesisir, kegagalan panen, fenomena penggurunan, membuktikan bahwa “makhluk” yang bernama perubahan (krisis) iklim benar-benar ada.

Perubahan (krisis) iklim ada karena adanya kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan ada karena adanya praktik eksploitasi tanpa henti. Hari ini siapapun dituntut untuk menjadi bagian penting dari penyelamatan bumi, dimulai dari menolak dan melawan paham skeptisisme lingkungan. Seluruh bangunan filosofis yang terdapat di dalam agama-agama, bisa menjadi prinsip dasar untuk melawan paham skeptisisme lingkungan.

Selanjutnya, kita dapat mendorong upaya-upaya penyelamat lingkungan dalam bentuk reforestasi, mulai menggunakan energi terbarukan, menggunakan transportasi ramah lingkungan, tidak menggunakan produk-produk yang turunan sawit, dan meneladani kearifan lingkungan masyarakat adat.

Dalam konteks kebijakan, seluruh warga negara memiliki hak konstitusional untuk melawan kebijakan yang merusak masa depan lingkungan, karena disana ada persoalan hajat hidup manusia. “Kita tidak bisa menunggu bumi ini hancur, baru kemudian bangun dan tersadar. “Rumah (bumi) kita sedang terbakar,” kata Greta Thunberg, gadis remaja asal swedia. Kita harus siuman dan membangun kesadaran bersama demi masa depan kehidupan bumi yang lebih baik.

*) Penulis adalah Dosen Filsafat dan Agama Universitas Paramadina serta Aktivis Lingkungan pada lembaga KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.