Masa Depan Pengendalian Hama Terpadu: Menuju Era Baru Atau Punah?

Petani memeriksa lahannya yang terserang hama wereng di Desa Punggut, Kecamatan Pedas, Ngawi, Jawa Timur)

Oleh: Suryo Wiyono, Kepala Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB *)

Jakarta, Villagerspost.com – Pengendalian Hama Terpadu (PHT) merupakan sebuah tonggak sejarah dalam ranah perlindungan tanaman di Indonesia yang ditandai dengan diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 1986. Semenjak itu penerapan PHT telah membuat perubahan fundamental dalam institusi proteksi tanaman, kapasitas petani, praktik bertani, dan masalah hama tanaman padi. Pola PHT juga kemudian diterapkan pada tanaman hortikultura dan tanaman perkebunan,

Selama 33 tahun perjalanan bersejarahnya, dinamika situasi sosial politik, persoalan dan isu lingkungan global, perkembangan ilmu dan teknologi, membawa dampak pada penerapan PHT. Secara umum perjalanan penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dapat dibagi menjadi tiga fase.

Fase pertama, fase kelahiran dan perkembangan. Kedua, fase statis dan bertahan hidup. Fase ketiga adalah fase baru perjalanan PHT. Setiap fase perjalanan memiliki karakteristik yang khas pada persoalan hama, pengetahuan dan teknologi, isu lingkungan nasional dan global, sumber daya manusia, peran institusi perlindungan tanaman dan mode penyebaran.

Fase baru PHT diperlukan untuk membuat sistem perlindungan tanaman yang kuat dan tangguh, sehingga mampu menghadapi dan mengelola masalah hama tanaman yang lebih kompleks, penyakit di bawah perubahan iklim di tahun-tahun mendatang, serta untuk mengamankan pangan dan produktivitas pertanian dan keberlanjutan. Fase baru PHT ini membutuhkan sekolah lapangan petani, dan pengayaan teknologi serta pendekatan termasuk pendekatan agroekologi dan lansekap, bioteknologi, teknologi informasi (TI), penginderaan jauh dan teknologi biosensor.

Fase Kemuculan dan Perkembangan PHT (1986-2000)

Periode kelahiran dan pertumuhan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) muncul di era Orde Baru, yang merupakan pemerintah yang serba terpusat. Fase ini ditandai dengan kelahiran PHT berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 1986 tentang Pelarangan 57 Produk Insektisida. Aturan ini kemudian diperkuat dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Perlindungan Tanaman yang kemudian diikuti dengan terbintya aturan turunan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman.

Pada periode ini lembaga perlindungan tanaman didirikan di sebagian besar pusat produksi beras. Lembaga perlindungan tanaman dikelola oleh pemerintah pusat, dengan alokasi sumber daya yang cukup, dan juga bertindak sebagai pusat data hama padi, pusat agen biokontrol, pusat pelatihan.

Dalam hal pengembangan sumber daya manusia, periode ini ditandai dengan pengangkatan sejumlah besar pengamat hama. Tahap monumental dari fase ini adalah implementasi berskala besar Sekolah Lapangan Petani Penanganan Hama Terpadu (SLPHT), di mana 1 juta petani padi dilatih di SLPHT. Pengamat hama diberikan pendidikan D1 PHT bekerja sama dengan universitas, dan pelatihan tambahan di fasilitas pelatihan lapangan (FTF).

Varietas padi yang banyak digunakan oleh petani Indonesia saat itu adalah Cisadane, IR 64, dan Ciherang. Beberapa varietas lokal masih banyak digunakan oleh petani, terutama ketan, dan beras lokal seperti pandanwangi, menthikwangi. Teknologi yang dikembangkan selain mengurangi penggunaan pestisida adalah kumpulan kelompok telur penggerek, parasitoid dan penggunaan terbatas agen kontrol biologis terhadap penyakit tanaman, umumnya Trichoderma. Parasitoid dan Trichoderma, Beauveria, dikembangkan di laboratorium laboratorium perlindungan tanaman regional.

Pada periode ini relatif tidak ada wabah hama wereng coklat dalam skala luas dalam waktu yang relatif lama. Pada akhir periode ini PHT mulai dikembangkan di bidang sayuran dan perkebunan

Fase Statis dan Bertahan Hidup (2000-2019)

Periode ini ditandai dengan berakhirnya pemerintahan Orde Baru. Perubahan sosio-politik yang besar membuat Badan Perlindungan Makanan dan Hortikultura (BPTPH) dan laboratorium regional menjadi di bawah kendali pemerintah provinsi, yang sebelumnya oleh pemerintah pusat. Hal ini menyebabkan variasi besar dalam pengembangan lembaga-lembaga, tergantung pada komitmen pemerintah provinsi.

Dalam hal pengembangan sumber daya manusia, telah terjadi penurunan pada pengamat hama yang dilatih PHT, dan juga jumlah pengamat hama yang direkrut. sementara mereka yang diangkat pada periode 1986-1987 sudah mulai pensiun. Sementara itu, SLPHT dilakukan dalam skala yang lebih sedikit. Di sisi lain pada dekade awal periode ini banyak perkebunan menerapkan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT), demikian pula di bidang hortikultura.

Namun, dalam perkembangannya, pada tahun-tahun terakhir periode ini penerapan SLPHT tidak dilakukan lagi, sementara peningkatan besar-besaran dalam kebijakan produksi pangan adalah penerapan yang sangat terbatas dari prinsip-prinsip PHT.

Keberhasilan program PHT dan SLPHT pada periode sebelumnya, juga menunjukkan fakta bahwa alumni SLPHT banyak yang menjadi pemimpin petani yang menggerakkan pertanian ramah lingkungan, pertanian organik, SRI–System of Rice Intensification— atau Sistem Padi Intensifikasi dan pusat pelatihan petani (P4S) . Di sisi lain, alumni SLPHT juga menjadi motor untuk Pusat Layanan Badan Biologi (PPAH) yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.

Beras hibrida diperkenalkan ke Indonesia sejak 2007, tetapi kontribusinya terhadap peningkatan produksi patut dipertanyakan, karena sebagian besar rentan terhadap hama dan penyakit utama. Terbatasnya teknologi padi hibrida membuatnya sebagian besar rentan terhadap penyakit hama padi utama. Padi hibrida di lingkungan yang terkendali diklaim memiliki produktivitas 15-30 persen lebih tinggi dibandingkan dengan varietas konvensional. Tetapi dalam kondisi penanaman petani di lapangan, kinerja produktivitas padi hibrida tidak lebih baik daripada varietas konvensional.

Pada akhir periode ini, jenis baru varietas unggul seperti IPB3S mulai berkembang. Selain teknologi parasitoid dan predator yang ada, teknologi berbasis mikroba untuk agen biologis baik untuk pengendalian hama dan penyakit semakin berkembang, baik untuk PHT untuk beras serta untuk tanaman sekunder dan sayuran. Selama periode ini, terutama pada dekade kedua, teknologi kontrol biologis untuk hama dan penyakit berkembang pesat. Selain predator tradisional dan parasitoid dan Trichoderma, pengembangan kontrol biologis adalah dengan menggunakan pertumbuhan tanaman yang mempromosikan rhizobacteria (PGPR), ragi antagonis dan mikroba endofit.

Selama periode ini ada perkembangan besar bioteknologi modern untuk perlindungan tanaman, terutama diagnosis dan karakterisasi hama dan patogen. Teknologi diagnostik yang signifikan adalah penggunaan primer spesifik, seperti yang digunakan untuk Fusarium oxysporum TR4 dalam pisang. Selain itu, beberapa patogen diketahui memiliki keragaman genetik sehingga pernah diketahui satu spesies tetapi keragaman genetik memiliki implikasi untuk perbedaan virulensi. Beberapa telah digunakan untuk hama dan penyakit, terutama hortikultura dan perkebunan.

Namun pada periode ini juga ditandai dengan penggunaan pestisida dalam beras cenderung meningkat. Jika pada tahun 1998 petani padi disemprot tiga kali per musim, pada 2014 petani di Klaten dan Karawang menggunakan pestisida 10 kali per musim. Periode-periode tersebut juga ditandai oleh semakin banyaknya wabah hama, wabah wereng coklat pada tahun 2010 dan 2017. Tahun 2010 wabah hanya terjadi terbatas pada Jawa. Sementara wabah 2017 terjadi di Jawa, Lampung, Bali.

Pada dekade kedua periode masalah muncul hama dan penyakit meningkat. Ada perdagangan internasional yang lebih intensif dalam produk pertanian dan benih antar negara. Selama periode ini muncul hama dan penyakit menjadi masalah global. Baik hama eksotis dan hama yang ada meningkat intensitasnya dengan cepat seperti ledakan padi (Pyricularia oryzae), Begomovirus pada tanaman cabai, tomat dan tembakau pada tahun 2000, fusarium wilt (penyakit layu yang disebabkan cendawan fusarium) dan bakteri pada pisang.

Fase Setelah 2020: Punah Atau Menuju Fase Baru?

Periode setelah 2020 tantangan perlindungan tanaman menjadi lebih berat dalam hal aspek manusia, kelembagaan dan pembangunan. Tidak adanya SLPHT, berarti tidak ada regenerasi petani SLPHT. Hal ini juga mengancam keberlanjutan pos agen kontrol biologis (PPAH), hampir semua PPAH dikelola oleh alumni SLPHT.

Varietas akan berkembang, selain dari varietas konvensional seperti kelompok Ciherang dan Inpari, jenis baru lainnya seperti IPB 3S akan lebih berkembang. Akan ada pertumbuhan teknologi yang cepat termasuk kontrol biologis dan bioteknologi, didukung oleh teknologi 4.0 seperti penginderaan jauh, biosensor dan teknologi informasi (TI).

Di sisi lain ancaman hama dan penyakit yang muncul lebih besar karena perdagangan produk dan benih antar negara akan lebih besar, dan perubahan iklim akan lebih jelas. Jika tidak ada upaya ekstra yang dilakukan, maka akan menyebabkan kepunahan atau kematian PHT.

Fase Baru PHT?

Indonesia membutuhkan sistem perlindungan tanaman yang kuat dan tangguh untuk mempertahankan produktivitas dan keberlanjutan pertanian. Sistem perlindungan instalasi harus dalam skema PHT. Bentuk ideal untuk mengatasi situasi ini adalah PHT mampu mengelola hama dan penyakit secara efektif sehingga tidak ada wabah hama dan penyakit skala besar, baik hama domestik dan migran.

Fase baru PHT memiliki karakteristik sebagai berikut: mengandalkan sumber daya manusia, seperti petani dan pejabat, laboratorium perlindungan tanaman yang kuat, didukung oleh pengembangan dan pendekatan teknologi terbaru termasuk agroekologi, lanskap, biosensor, penginderaan jauh, otomatisasi, dan teknologi informasi.

Untuk mencapai ini, beberapa langkah mendesak diperlukan: Pertama, SLPHT perlu dilakukan lagi dalam skala besar, diperkaya dengan teknologi terbaru dalam beras, hortikultura, dan perkebunan. Kedua, memperkuat laboratorium perlindungan tanaman regional sehingga berfungsi sebagai pusat data untuk hama, prakiraan hama, prakiraan iklim pertanian, pelatihan staf, dan referensi teknologi perlindungan tanaman. Ketiga, merancang tindakan mitigasi yang efektif terhadap hama / penyakit baru, serta berpotensi memasuki negara tersebut. Semua ini membutuhkan dukungan kuat dari kebijakan pemerintah.

Keberhasilan PHT di Indonesia di masa lalu ditentukan oleh tiga dasar, yaitu landasan ilmiah yang kuat, dukungan kebijakan yang memadai dan pendidikan yang kuat dan pendidikan massal. Kapasitas petani sangat penting bagi keberhasilan PHT, karena di dunia nyata, di lapangan yang menghadapi masalah hama adalah petani. Pendidikan petani berkelanjutan disertai dengan bantuan setelah sekolah lapang dibutuhkan untuk menjaga keberlanjutan proses implementasi PHT oleh petani

*) Disarikan dari makalah yang disampaikan pada Konferensi Perlindungan Tanaman Asia Tenggara, di IPB International Convention Center, Bogor 14 Agustus 2019

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.