Masa Jabatan Kepala Desa 9 Tahun: Godaan Nakal Partai Politik Jelang Pemilu 2024
|
Oleh: Muhammad Asri Anas, Ketua Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO)
DPP Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI)
Minggu ini kita dikejutkan oleh demontrasi dari kepala Desa, BPD dan perangkat Desa di Gedung DPR RI pada tanggal 17 Januari 2023, demonstrasi dilakukan untuk “menuntut” agar perpanjangan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun dengan periodesasi tidak terbatas atau maksimal 3 periode dimasukkan dalam revisi UU No 6 tahun 2014.
Saya sebut tuntutan sebab bola panas masa jabatan sesungguhnya tidak pernah digulirkan oleh Kepala Desa, BPD maupun Organisasi Desa, gagasan masa jabatan 9 tahun lebih pada usulan dari beberapa politisi khususnya kader PDI dan PKB, bahkan Menteri Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar dalam setiap kesempatan selalu menyampaikan gagasan akan lebih baik jika masa jabatan Kepala Desa dari 6 menjadi 9 tahun dalam rangka memberi konsolidasi pembangunan di Desa.
Bahkan ada dukungan dan sokongan agar Kepala Desa melalui organisasi agar melakukan demosntrasi di DPR dan partai dan tokoh tokoh politiknya akan menerima aspirasi tersebut sebagai bagian priorotas dari rencana revisi UU no 6 tahun 2014 tentang Desa.
Organisasi desa seperti APDESI ABPEDNAS dan DPN PPDI, sangat mengetahui aspirasi “jabatan 9 tahun” akan menjadi perdebatan di ruang publik. Bahkan di Kepala Desa dan BPD serta Perangkat Desa, terbelah menjadi 2 kelompok ada yang mendukung yang diwakili oleh Kepala Desa, BPD dan Perangkat Desa yang datang demo di DPR dan lebih banyak kelompok yang tidak mendukung, ini adalah Kepala Desa, BPD dan Perangkat Desa yang menganggap jabatan 6 tahun 3 periode adalah terbaik sesuai dengan UU No 6 2014 saat ini.
Ruang publik melalui media sosial, media massa dan online sangat beragam menanggapinya, bahkan banyak pakar, tokoh dan akademisi yang melihat bahwa “tuntutan masa jabatan 9 tahun” harusnya masuk dalam bagian transisi politik dan demokrasi di Indonesia dimana batasan kekuasaan perlu dilakukan, pejabat publik pemerintahan yang dipilih melalui proses politik, harus ada pembatasan periodisasi kekuasaan sebab masa jabatan mengandung nilai moral, filosofis, sosiologis dan hukum.
Masa jabatan berlebih akan membuka peluang penyalahgunaan dan penyimpanan kekuasaan, berupa korupsi, kolusi dan nepotisme. Kekuasaan berpusat jika tidak dibatasi dalam konteks sosiologi akan menutup ruang koreksi dan kaderisasi. Sejarah perdebatan pembatasan kekuasaan dari proses amandemen UUD 1945 yang kemudian melahirkan Pasal 7 UU Dasar 1945 yang berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden menjabat 5 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan sama dan hanya untuk satu kali masa jabatan“.
Pembatasan jabatan Presiden dengan maksimal 2 periode ini kemudian menjadi pijakan reformasi kekuasaan yang akhirnya diberlakukan untuk seluruh pejabat publik “dalam ranah eksekutif” yang dipilih melalui proses politik dan pengecualian hanya terjadi ke Kepala Desa yang diberi keistimewaan menjabat 6 tahun dan 3 periode.
Dalam berbagai pertemuan Kepala Desa, BPD dan Perangkat Desa yang kami ikuti dalam 8 tahun terakhir termasuk pelaksanaan SILATNAS DESA 2023 pada bulan Maret 2022 yang dihadiri oleh Presiden dan RAKORNAS DESA Desember 2023 di Kalimantan Timur, aspirasi masa jabatan 9 tahun sudah mulai dibicarakan tetapi tidak menjadi prioritas tuntutan, hanya dalam satu tahun terakhir menjelang Pemilu 2024 “Keinginan dan dorongan dari partai politik termasuk Menteri Desa” lebih mengedepankan isu 9 tahun masa jabatan dibandingkan persoalan desa lainnya.
APDESI, ABPEDNAS dan PPDI mengetahui bahwa masa jabatan 9 tahun Kepala Desa dan BPD, pemerintah kurang setuju, dapat dilihat dari tidak dimasukkannya revisi UU No 6 Tahun 2014 dalam Prolegnas 2020-2024. Tetapi karena dorongan dan godaan cukup kuat dari partai, khususnya partai politik pendukung pemerintah bahkan menjadi narasi penuh semangat oleh “Menteri Desa” sebagai pembantu Presiden, maka keyakinan mulai tumbuh bahwa Pemerintah dan DPR RI sepakat untuk melakukan revisi UU No 6 tahun 2014, dengan memasukkan masa jabatan 9 tahun sebagai poin penting.
Organisasi desa akhirnya bersepakat merespons ini dengan dua pola, ada yang melakukan demonstrasi ke DPR RI menuntut “janji politik” dan ada yang melakukan langkah soft power, dengan lobi dan terakhir dengan RDP Komisi II DPR RI pada tanggal 12 Januari 2023 di ruang Rapat Komisi II sudah disampaikan aspirasi Revisi UU No 6 tahun 2014 termasuk jabatan Kepala Desa dan BPD menjadi 9 tahun maksimal 3 periode. Bahkan APDESI sudah membuat draf UU persandingan dari UUNo 6 Tahun 2014 serta DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) untuk menjadi usulan revisi UU no 6 tahun 2014 dilakukan revisi tahun 2023, Komisi II DPR RI sepakat memasukkan prolegnas prioritas 2023 untuk melakukan revisi UU No 6 tahun 2014.
Dalam memperkuat pelaksanaan tugas dan tanggungjawab, saya selalu mengajak dan mengingatkan Kepala Desa, BPD dan Perangkat Desa dengan adanya UU No 6 tahun 2014 agar lebih fokus pada pembangunan desa khususnya menjalankan penegasan UU yaitu mendukung Percepatan pembangunan Desa, menyukseskan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Pembinaan Kemasyarakatan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa. Menyuarakan masa jabatan 9 tahun bukan hal yang sangat prioritas yang harus menghabiskan energi guna menghindari pretensi serakah dan gila jabatan oleh masyarakat. Kekhawatiran masyarakat dan warga desa terbelah setuju dan tidak setuju, anggapan aspirasi 9 tahun hanya keinginan Kepala Desa dan BPD untuk melanggengkan kekuasaan harus dihindari.
Perlu diingat bahwa dalam konteks pemerintahan Kepala Desa tetap dikategorikan sebagai pejabat eksekutif, jika dilihat dari ciri, tugas dan fungsinya, Kepala Desa adalah pejabat eksekutif yang diberikan kekuasaan eksekutif oleh Undang Undang, dalam ranah eksekutif, Kepala Desa dan BPD diangkat dari proses politik sama dengan Presiden, Bupati, Gubernur dan Walikota semua dipilih melalui proses politik dipilih langsung oleh masyarakat.
Ciri utama organ eksekutif adalah mandat berupa kewenangan dan tanggung jawab, dalam konteks masa lama masa jabatan Kepala Desa dan BPD sudah sangat diistimewakan dibandingkan Presiden, Bupati, Walikota dan Gubernur yang masa jabatannya adalah 5 tahun dan maksimal 2 periode, sedangkan Kepala Desa dan BPD masa jabatannya 6 tahun dan maksimal 3 periode, ada satu keistimewaan yang diberikan kepada Kepala Desa khususnya khususnya masa jabatan mulai dari PP nomor 72 tahun 2005 tentang Desa, Pasal 52, masa jabatan Kepala Desa 8 tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 kali masa jabatan kemudian dilanjutkan dengan UU No 6 tahun 2014 Pasal 39 dimana masa jabatan Kepala Desa adalah 6 tahun dan maksimal 3 periode.
Pasti banyak yang bertanya kenapa ada keistimewaan tersebut konstruksi utamanya adalah karena Kepala Desa dan BPD adalah pejabat terdepan memberikan layanan 24 jam kepada masyarakat Desa. Kedua, karena Kepala Desa dianggap sebagai tokoh terdepan yang dapat menentukan pilihan politik kepada masyarakat, pilihan politik itu termasuk diantaranya partai politik, sehingga kepentingan partai dan politisi kepada Kepala Desa sangatlah besar terlebih menghadapi pemilu setiap 5 tahun.
Sejak diberlakukannya UU no 6 tahun 2014, dalam pandangan kami ada 3 hal persoalan krusial yang senantiasa menjadi aspirasi Kepala Desa, BPD dan Kepala Desa tetapi tidak mendapatkan dukungan serius oleh partai politik, tiga hal ini sangat penting dalam membantu proses percepatan pembangunan desa. Tiga hal tersebut senantiasa disuarakan dan disampaikan oleh Kepala Desa, BPD dan Perangkat Desa dalam forum forum Desa tingkat daerah maupun nasional, termasuk disampaikan ke DPR, disuarakan ke anggota DPR RI saat reses.
Tiga hal tersebut yaitu Pertama gaji Kepala Desa, BPD dan Perangkat Desa sangat kecil dan dibayarkan pertiga bulan/triwulan padahal Kepala Desa, BPD dan Perangkat desa adalah pelaksanaan pemerintahan terdepan, bekerja tanpa batas waktu melayani masyarakat, sesuai regulasi gaji Kepala Desa hanya sebesar Rp3.600.000, Perangkat Desa Rp2.300.000–Rp. 2.800.000, sedangkan gaji BPD minimal 20% dari siltap Kepala Desa atau sekitar Rp 870.000 per bulan.
Gaji tersebut tentu jauh dari cukup jika dilihat pelaksanaan tugas dan fungsi pelayanan terdepan di masyarakat, sehingga Aspirasi penambahan gaji dan pembayaran gaji dilakukan per bulan senantiasa disampaikan. Kedua sejak berlakunya UU Desa Kepala Desa selalu menyuarakan tentang biaya operasional pemerintahan desa, Kepala Desa adalah pelaksana pemerintahan yang diberikan mandat melakukan pelayanan 24 jam tapi tidak diberi biaya operasional, menyebabkan banyak Kepala Desa nyambi cari penghasilan tambahan dan tidak fokus. Kepala Desa dituntut sebagai pejabat yang harus memiliki operasional dalam pelaksanaan tugas sehari hari. Kepala Desa umumnya menggunakan dana pribadi untuk menunjang operasional pelayanan pada masyakat.
Ketiga, Pengelolaan Dana Desa yang otonom dan mandiri dengan dilaksanakan sesuai aspirasi masyarakat melalui musyawarah desa. Otonom dan mandiri seakan dikebiri oleh kebijakan atau regulasi turunan UU No 6 tahun 2014, sehingga keputusan Musrenbang Desa, seakan hanya menjadi “pelengkap pembangunan desa”, semua diatur dan ditentukan oleh kebijakan dibuat pemerintah pusat .
Tiga hal krusial tersebut oleh partai politik tidak pernah mendapatkan respons serius terlebih mendapat dukungan untuk memperbaiki bahkan sekelas Kementerian Desa sudah berganti tiga menteri tidak menjadikan 3 hal tersebut diatas sebagai persoalan yang harus direspons serius. Tiga hal tersebut dalam dialog dan menyampaikan aspirasi ke Presiden pada pelaksanaan SILATNAS DESA 2023 Presiden memerintahkan agar 3 poin ini diperbaiki sesuai aspirasi Kepada Desa, termasuk diantaranya Perpres 104 tentang penggunaan Dana Desa yang penggunaannya minimal 40% harus digunakan untuk biaya covid dan recovery pasca Covid menjadi maksimal 40% juga menjadi aspirasi hingga lebih 12.000 Kades menyampaikan aspirasi ke Istana dan DPR RI, saat itu tidak ada partai politik menyuarakan dukungan bahkan menerima aspirasi di DPR pun tidak dilakukan.
Belajar dari pengalaman diatas dalam hubungannya masa jabatan 9 tahun, organisasi desa dan Kepala Desa, BPD dan Perangkat Desa seluruh Indonesia, menilai bahwa janji masa jabatan 9 tahun untuk Kepala Desa dan BPD bisa jadi hanya “gula-gula manis” yang dilemparkan oleh partai politik untuk menarik simpati menghadapi Pemilu Legislatif dan Presiden 2024, sebab semua tahu bahwa jika mendapatkan simpatik dan mendapatkan dukungan Kepala Desa, BPD, Perangkat Desa, sama dengan mampu mengendalikan 30-70% suara basis yang ada di desa di Indonesia.
Sekarang pertanyaannya, benarkah partai politik serius, dan akan kah Presiden setuju sesuai dengan kalimat saudara Budiman Sujatmiko yang membawa nama pemerintah bahwa presiden setuju masa jabatan 9 tahun untuk Kepala Desa dan BPD? Waktu yang akan membuktikannya. APDESI sangat mengapresiasi Menteri Desa Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar yang terdepan menyuarakan masa jabatan 9 tahun, walau secara etika pemerintahan sebagai pembantu Presiden harusnya Menteri Desa wakil pemerintah mengurusi desa meminta pandangan Presiden, apakah konstruksi masa jabatan ini bisa dilaksanakan atau tidak, sebab menjanjikan masa jabatan 9 tahun bagi kepala Desa, BPD dan Perangkat Desa menjelang Pemilu, ibarat “membangunkan singa tidur pemilik konstituen terbesar di Indonesia”.
Apalagi ini menjelang pemilu 2024, seharusnya di pemerintahan ada kesepahaman dulu apakah ini strategis untuk diutarakan atau tidak, sebab perubahan masa jabatan akan sangat mempengaruhi siklus kebijakan, pola penganggaran dan juga koordinasi pemerintahan. sebagai organisasi Pemerintahan Desa terbesar di Indonesia. APDESI tentu menyambut baik dukungan dan perhatian partai politik, untuk merevisi UU No 6 tahun 2014, sebab kami menganggap banyak banyak hal harus disempurnakan, dilengkapi atau disesuaikan dalam perjalan 9 tahun UU no 6 tahun 2014.
Dalam diskusi terbatas tiga organisasi desa, APDESI (Kepala Desa) ABPEDNAS (BPD Desa) dan PPDI (Perangkat desa), sangat memberi apresiasi kepada Partai Politik, yang melontarkan gagasan revisi UU No 6 tahun 2014 terlebih jika dilaksanakan di 2023, tetapi Kepala Desa, BPD dan Perangkat Desa tentu tidak akan terjebak dalam mainan politik menjelang pemilu 2024.
Karena bola panas “REVISI UU NO 6 TAHUN 2014” sudah digelindingkan maka tentu Kepala Desa, BPD dan Perangkat Desa akan menuntut balik partai politik yang menyuarakan bola panas, janji revisi UU No 6 tahun 2014, tetapi tidak direalisasikan menjelang pemilu 2024. Jangan sampai Kepala Desa, BPD dan Perangkat Desa menganggap ini hanya godaan nakal partai politik atau politisi hanya untuk meraup suara basis desa menghadapi Pemilu 2024 dengan mengedepankan isu jabatan 9 tahun.
Saat ini Kepala Desa, BPD dan Perangkat desa ingin melihat keseriusan partai politik atau kader partai yang menyuarakan khususnya PKB, PDIP, Gerindra, Golkar yang dalam menyuarakan revisi UU No 6 tahun 2014, agar benar benar bisa dilaksanakan sebab jika tidak terlaksana bisa jadi akan menimbulkan kampanye negatif ke partai politik yang menyuarakan.
Meminjam istilah kepala desa yang demo di DPR RI bahwa janji tidak terealisasi maka “Kepala Desa akan menenggelamkan suara partai di desa di 2024”. Sekarang godaan nakal partai politik sudah dilemparkan ke ruang publik dengan dengan narasi, argumentasi dan logika pembenaran, publik banyak mengecam dan masyarakat desa sendiri banyak menolak penambahan masa jabatan Kepala Desa dan BPD.
Tetapi Kepala Desa, BPD dan Perangkat Desa pasti bisa meyakinkan masyarakat akan tujuan revisi UU No 6 tahun 2014. Catatan penting dari dinamika ini adalah agar ini tidak sekadar menjadi godaan atau janji politik semata menghadapi pemilu 2024. Olehnya dua hal penting yang kiranya bisa dipenuhi dan direalisasikan partai politik agar tumbuh keyakinan Kepala Desa, BPD dan masyarakat desa percaya ini bukan hanya godaan atau upaya menarik simpati menjelang pemilu 2024.
Dua aspirasi ini menjadi kesepakatan di internal APDESI, ABPEDNAS dan PPDI yang merepresentasikan Kepala Desa, BPD dan Perangkat Desa, seluruh Indonesia, mengukur keseriusan partai politik, termasuk politisi yang ramai ramai bersuara memberi dukungan revisi UU no 6 tahun 2014 diukur dengan yaitu:
Pertama, revisi UU No 16 tahun 2014 di tahun 2024, realisasikan sebelum pemilu dengan memulai memasukkan ke dalam prolegnas strategis 2023. Sebab dalam catatan APDESI dari 257 UU prolegnas disepakati pemerintah, DPR dan DPD, UU No 4 tahun 2014 tidak masuk UU Prioritas 2020-2024, bahkan tidak ada dalam 41 UU prioritas prolegnas 2023 yang disepakati.
Jika sampai bulan September 2023 Revisi UU No 6 tahun 2014 tidak dilaksanakan dan pembahasan selesai sebelum masa kampanye pemilu 2024, maka Kepala Desa, BPD dan Perangkat Desa, maka bisa menyimpulkan “wacana 9 tahun” hanya godaan politik menjelang pemilu 2024, godaan yang menimbulkan kegaduhan, wajar rasanya jika ada kampanye balik jangan berikan dukungan kepada partai politik atau politisi yang menyuarakan revisi UU No 6 tahun 2014, tetapi tidak mampu merealisasikannya sebelum pemilu 2024.
Kedua Kepala Desa, BPD dan Perangkat Desa serta warga desa menuntut kenaikan anggaran dana desa sebesar 7-10 % dari APBN atau sekitar minimal Rp150 triliun per tahun atau berbanding Rp4-5 miliar per desa. Dana desa yang cukup akan memberi manfaatnya signifikan dalam pembangunan desa.
Dampak positif dana desa dalam 8 tahun dapat dilihat dari besarnya pembangunan desa diantaranya terbangun 227.000 km jalan produksi, penghubung di desa desa, terbangunnya 4500 embung pertanian menunjang pengairan pertanian, terbangunnya 71.000 buah irigasi pertanian, dibangunnya 1,3 juta meter penghubung ekonomi desa, 10.300 pasar desa didirikan dan di renovasi, 57,200 BUMDES dan unit usaha desa didirikan, ada lebih 6100 tambatan perahu nelayan dibuat, dan banyak manfaat lainnya dirasakan masyarakat desa khususnya peningkatan infrastruktur, perbaikan pelayanan masyarakat, perbaikan SDM dan peningkatan ekonomi masyarakat desa.
Peningkatan dana desa akan memberi manfaat untuk pembangunan Desa sebagai penopang ekonomi nasional. Selama 8 tahun total dana desa telah dikucurkan adalah Rp468 triliun yang tertinggi tahun 2021 sebesar Rp72 triliun atau 3,3% dari APBN yang mencapai sebesar Rp2.750 triliun. Persentase 2,56% dari APBN, terlalu kecil jika membandingkan luas wilayah Indonesia yang 91% adalah desa, dengan penduduk 85,1% tinggal di desa.
Jika partai politik ingin serius melihat pembangunan desa menjadi tulang punggung ekonomi nasional, pusat pertumbuhan, menghindari migrasi ke kota dan narasi-narasi pembangunan lainnya yang timbul selama ini maka APDESI, ABPEDNAS dan DPN PPDI mendorong agar APBN 2024 memberikan formulasi sebesar 7-10% APBD digunakan untuk dana desa, Perhitungan yang dipakai pemerintah pusat selama ini yaitu 10% dari dana transfer tidaklah bijak jika menelaah manfaat yang diterima.
Dengan peningkatan dana desa, kita akan melihat desa desa di Indonesia akan tumbuh lebih maju, lebih mandiri, simulasi yang dilakukan oleh APDESI minimal Rp150 triliun, harusnya dikucurkan ke desa setiap tahun.
Sekarang saat tepat menguji keseriusan partai politik apakah ingin melihat desa maju dan mandiri. Jika serius ingin mendapat dukungan politik menjelang 2024, maka masukkan ini menjadi napas perjuangan di APBN 2024 dan ukuran Kepala Desa, BPD dan Perangkat serta masyakat desa hanya satu realisasikan sebelum pemilu 2024.
Dua poin diatas tidaklah bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya, masa jabatan 9 tahun memberi fase konsolidasi pembangunan lebih baik pada pelaksanaan pemerintahan desa dan dana desa yang maksimal akan memberikan manfaat sangat besar buat masyakat dalam pendorong kemajuan Desa.
APDESI, ABPEDNAS, PPDI, menunggu realisasi janji politik. Partai politik jangan melempar bola panas Revisi UU No 6 tahun 2014 hanya memasukkan perpanjangan masa jabatan 9 tahun tanpa memasukkan aspirasi lainnya yaitu peningkatan dana desa, partai politik yang berjuang serius merealisasikan dua hal di atas tentu Kepala Desa, BPD dan Perangkat Desa tahu cara berterima kasih, APDESI memahami bahwa 2023-2024 adalah tahun politik dan banyak hal bisa disinergikan tujuannya satu “Kemajuan dan Kesejahteraan Desa”.
Kami percaya, revisi UU No 6 tahun 2014 bisa direalisasikan dengan memasukkan dua poin tersebut diatas. Syaratnya partai politik serius khususnya partai politik pendukung pemerintah.