Menjemput Masa Depan Pertanian

Petani mengangkut hasil panen. (dok. kedaulatanpangan.net)

Oleh: Azwar Hadi Nasution, Pegiat INAGRI dan Peserta Diskusi Pangan KRKP

Neraca dan defisit perdagangan pertanian menjadi topik yang mengemuka di setiap lembar catatan akhir tahun. Perdagangan selalu menjadi tolak ukur pembangunan ekonomi termasuk pembangunan pertanian. Tak pelak, seluruh komponen bangsa seolah dipacu dalam aduan untung rugi.

Nahasnya kritik impor pangan dijawab dengan data ekspor padahal, sejatinya tidak sesederhana itu. Makna impor pangan adalah esensi ketergantungan hajat hidup kepada orang lain, tidak berlebihan rasanya bila impor pangan ibarat menyetor leher untuk dipenggal, tinggal menunggu algojo memainkan perannya. Nasib dan masa depan sudah diserahkan ke tangan orang lain.

Menyelisik Lebih Dalam Impor Pangan

Usaha-usaha menghidupkan pangan lokal sudah menggeliat di beberapa daerah. Mengidentifikasi pangan pengganti beras hingga mencoba beras sintetis sudah dilakukan. Pergeseran gaya hidup non beras sudah merasuk ke kaum millenial, sudah menjadi trend kota, kampanye pangan tak melulu nasi sudah mulai menggeser narasi “makan adalah nasi”. Pergeseran ini kecil, belum mencapai angka 1 % tapi tidak boleh diremehkan dan harus terus dirawat, trend panga lokal ini juga mampu menjadi alternatif solusi penyelesaian perkara beras.

Geliat usaha pemenuhan pangan dan perbaikan kualitas pangan tidak terbatas pada satu kementerian saja, sebab pangan adalah persoalan hidup atau matinya bangsa, persoalan hak dasar manusia juga. Konstitusi sudah memandatkan demikian begitu juga dari perspektif geopolitik.

Tiongkok, Amerika dan Australia adalah tiga negara yang belakangan banyak melakukan sentuhan geopolitik dengan Indonesia. Tiongkok dengan proyek infrastruktur, Amerika dengan persoalan tambang dan Australia dengan persoalan dagang dan politik konfrontasi.

Andai saja konflik Laut China Selatan meningkat maka pasokan beras ke Indonesia dapat dipastikan akan berhenti juga dan terbuka kemungkinan stabilitas nasional akan terganggu hanya karena perang negara lain. Begitu juga dengan Amerika dan Australia, ketergantungan pangan kita terhadap kedua negara tersebut juga besar, terutama untuk kedelai dari Amerika, sapi dan gandum dari Australia.

Betapa naifnya kita bila masih memandang impor beras ini sebatas persoalan gudang dan waktu dikucurkan, lebih dari itu, persoalan beras adalah persoalan masa depan bangsa.

Kegelisahan ini semakin menjadi-jadi bukan hanya karena ketergantungan pangan nasional yang tinggi ke negara lain, tapi proyeksi produksi dalam negeri yang cenderung turun. Hilangnya 650.000 ha lahan bukan persoalan sepele karena lahan pertanian baru tidak bisa langsung disulap berproduksi dengan baik. Begitu juga stabilitas harga pangan menjelang natal dan tahun baru 2018 jangan terlalu dini untuk dirayakan.

Stabilitas harga kemungkinan besar hanya bertahan hingga awal Januari 2019. Intervensi pasar melalui penetrasi operasi pasar tidak akan bertahan lama. Durasinya bergantung pada cadangan pangan pemerintah, dan cadangan itupun porsi terbesarnya dari impor.

Persoalan yang sudah didepan mata setelah usaha keras menahan harga pangan stabil di natal 2018 dan tahun baru 2019 adalah mundurnya musim tanam dan serangan hama yang tinggi. Musim tanam yang mundur dan serangan hama adalah indikator lampu kuning impor pangan sudah dinyalakan, tinggal menunggu lampu hijau dari Kementrian Perdagangan.

Kemiskinan Masa Depan Pertanian

Artikel www.theguardian.com yang berjudul “Back to the land: are young farmers the new starving artists?” menggertak skema petani muda. Janji-jani pertanian tentang ketenangan bekerja di lahan terganggu oleh kesejahteraan yang harus didapat. Liz Whitehurst, tokoh petani muda yang diulas dalam artikel tersebut mendapat kegamangan tentang tentang masa depan dia sebagai petani.

Kegamangan yang dikotomi dengan petani muda lain yang menganggap pertanian adalah bekerja di lahan untuk kesejahteraan tanpa melihat ada faktor lain yang berupa regulasi politik dan ekonomi. Bahkan regulasi ekonomi dan politik inilah yang menjalar di lahan-lahan mereka dan menggerogoti nilai hasil panen mereka. Artikel ini juga seharusnya dibedah tuntas dan didiskusikan secara luas.

Bagaimana tentang hilangnya lima juta petani dalam 10 tahun terakhir dan upaya menggairahkan milenials untuk bertani? Sudahkah negara mempersiapkan segala hak yang harus diterima oleh petani muda untuk menjamin kesejahteraannya? Ataukah negara hanya mendorong petani muda untuk masuk ke kubangan kemiskinan petani tua?

Menyiapkan Masa Depan Pertanian

Deklarasi Hak Asasi Petani (HAP) oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjadi kado yang indah di penghujung tahun 2018. Deklarasi Hak Petani ini akan menjadi pintu ajaib untuk melihat kembali hak-hak petani dalam setiap kebijakan dan perundang-undangan. Mulai dari hak atas tanah, hak atas benih, hak atas keanekaragaman hayati dan prinsip nondiskriminasi terutama untuk petani perempuan dan perempuan pedesaan.

Deklarasi HAP PBB bisa menjadi acuan dasar hukum internasional untuk memperjuangkan dan mempertahankan lahan oleh petani di Indonesia. Selain Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) yang sudah lebih dulu lahir.

Persiapan masa depan pangan dan pertanian juga harus dilihat dari pergantian empat hal (IPES,2018) yakni, pertama, mengganti sistem dan teknik produksi pangan dengan agroekologi. Pendekatan pertanian agroekologi didasarkan pada daur ulang dan meminimalkan hilangnya sumber daya dan biomassa; mengganti input kimia dengan bahan berbasis ekologis, praktik dan proses untuk mendukung diversifikasi pertanian dan lanskap pertanian; membina multi-fungsinya dan mengoptimalkan keanekaragaman hayati; dan merangsang interaksi yang menguntungkan antar spesies.

Kedua, mengganti sistem pendidikan petani. Pendidikan pertanian yang dihidupkan adalah pola pendidikan petani ke petani (campesino a campesino). Pola pendidikan yang menjadikan petani saling berbagi pengalaman dan ilmu pengetahuan, penyebaran pengetahuan pertanian dipercepat melalui petani, mengaktifkan kembali sekolah lapangan petani, dan penelitian partisipatif yang dipimpin petani.

Ketiga, perubahan interaksi sosial dan ekonomi. ‘Ekonomi solidaritas’, yang melibatkan pembagian risiko dan manfaat antara produsen dan konsumen, merupakan inti keadilan ekonomi dan inisiatif transisi lainnya (Anderson, 2015). Transisi dimulai dengan menetapkan harga yang adil bagi petani dan distribusi lokal hasil pertanian diutamakan untuk menjamin ketersediaan pangan nasional. Menggalakkan skema beli langsung ke petani untuk memutus rantai pasar yang panjang dan memberikan pangan sehat dan segar bagi konsumen.

Keempat, perubahan kerangka kelembagaan. Kebijakan publik harus berdasar pada pemerataan ekonomi dan keadilan sosial. Kebijakan nasional harus mengamankan akses ke tanah, air, hutan, benih, keanekaramagan hayati dan sumber daya properti, dan; kebijakan menyediakan akses kredit bagi petani, mendukung pertanian perkotaan dan melaksanakan pembaharuan agraria (reforma agraria).

Keresahan kita tentang pangan bukan semata-mata tentang perut tapi tentang keberlangsungan bangsa dan negara ini. Terlalu naiflah bila bangsa besar nuswantara bernama Indonesia menjadi punah. Bukankah bangsa ini lahir dari pekerjaan-pekerjaan besar yang telah teruji selama berabad-abad? Lalu kenapa urusan kedaulatan pangan bisa terampas?

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.