Minuman Keras, Kearifan Lokal dan Kekerasan Terhadap Perempuan di NTT
|
Jakarta, Villagerspost.com – Hari-hari belakangan, negeri yang tak pernah sepi dari kontroversi ini, kembali heboh gara-gara Presiden Jokowi meneken Perpres No 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Jadi heboh, karena dalam Perpres tersebut diatur salah satunya soal penanaman modal untuk minuman beralkohol.
Lewat Perpres itu, Jokowi membuka pintu untuk investor baru baik lokal maupun asing untuk minuman beralkohol di empat provinsi yakni Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua. Kontroversi pun merebak, karena legalisasi miras ini dengan tegas ditolak olah kalangan agamawan. Di sisi lain, dari kubu pendukung pemerintah, atas nama ‘kearifan lokal’, legalisasi miras di empat provinsi tersebut pun dibela juga tak kalah hebatnya.
Kata ‘kearifan lokal’ sepertinya menjadi kata kata kunci yang selalu dipakai para pendukung kebijakan legalisasi miras ini. Kata ‘kearifan lokal’ ini pula, ingatan saya terbawa pada perbincangan dengan kelompok paralegal yang kerap menangani masalah kekerasan pada perempuan dan anak, di Timor Tengah Utara, NTT, tahun 2016 silam.
Salah satu pembicaraan yang menarik adalah perbincangan saya dengan Susana Theresia Naisako atau akrab disapa Mak Santre. Perempuan asak desa Kefa Tengah, itu menceritakan pengalamannya mengapa dia terpanggil menjadi seorang paralegal. Kisah keterlibatan Mak Santre, bermula dari suatu malam yang baginya menjadi malam terkelam dalam hidupnya.
Waktu menunjukkan pukul 03.00 waktu setempat, di tahun 2015 silam, ketika keheningan malam desa Kefa Tengah dipecahkan oleh suara pertengkaran. Di gelapnya waktu dini hari itu, tidur Mak Santre terganggu oleh suara keributan dari rumah tetangganya yang diakhiri oleh suara rintihan seorang perempuan.
Suara rintihan itu ternyata berasal dari mulut Tania–bukan nama sebenarnya. Mak Santre menemukan tubuh Tania tergeletak di depan rumahnya, dalam kondisi berdarah-darah dengan wajah–maaf–nyaris hancur akibat pukulan benda keras.
Belakangan, dia tahu, kalau Tania telah menjadi korban kekerasan oleh suaminya. Sang suami yang diduga tengah mabuk, pulang ke rumah dan tiba-tiba menarik Tania ke luar rumah. Tanpa ba-bi-bu, Tania dipukuli oleh sang suami dengan menggunakan alu (alat untuk menumbuk jagung). Tanpa daya, Tania hanya bisa berteriak minta tolong.
Kisah serupa juga diceritakan Kanisius Nino, seorang pemuka agama di Desa Kuanek, Kecamatan Bikomi Tengah, Timor Tengah Utara, NTT. Sambil menangis, Kanis–panggilan akrab Kanisius Nino– menceritakan kisah kekerasan yang dialami seorang perempuan bernama Merry–bukan nama sebenarnya.
Tangan Merry nyaris putus ditebas parang oleh suaminya yang baru pulang dari membeli ikan. Sang suami–yang belakangan diketahui dalam keadaan mabuk–mendadak emosi dan menebas Merry, hanya lantaran sang istri ketahuan membantu seorang tetangga yang bernama Bunga–bukan nama sebenarnya– di kebun.
Alasannya sepele, suami Merry menganggap Bunga adalah perempuan malam dan khawatir Merry terpengaruh oleh perilaku Bunga. Kanis mengaku tak habis pikir kenapa persoalan sepele seperti itu bisa berakhir dengan kekerasan yang nyaris merenggut nyawa Merry.
Kisah yang dialami Merry dan Tania, seturut cerita Kanis, dipicu satu benang merah yang sama. Minuman keras. Menurut dia, umumnya kasus-kasus kekerasan yang terjadi di NTT, terjadi karena kaitan antara faktor berikut: relasi budaya, ekonomi, dan kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan, yang diperuncing oleh faktor kebiasaan kaum lelaki meminum minuman keras, khususnya minuman keras lokal yang disebut sopi. “Faktor pelaku mabuk sering kali mendorong terjadinya kekerasan,” kata Kanis.
Pendapat Kanis ini juga dibenarkan oleh koordinator Yabiku–yayasan yang bergerak menangani kasus-kasus kekerasan di TTU– Antonius Efi. Terkait relasi budaya, kata dia, salah satunya adalah “belis”, membuat posisi laki-laki dan perempuan dalam keluarga menjadi tak setara.
Dalam budaya NTT, lelaki yang ingin menikahi seorang perempuan harus mampu menyerahkan sejumlah tertentu mahar atau belis yang bisa berupa sapi, kerbau, babi, kuda dan lainnya. Sebenarnya, budaya belis sendiri merupakan budaya untuk memuliakan perempuan. Namun belakangan sering disalahartikan kaum lelaki seolah dengan membayar belis, mereka telah membeli seorang perempuan. “Akibatnya perempuan setelah menikah seolah harus bekerja keras melayani suami,” kata Anton.
Selain relasi budaya dan relasi kuasa yang timpang, ada juga faktor minuman keras yang sering menjadi pemicu kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak. Hal ini pula yang juga membuat kelompok paralegal di bawah bimbingan Yabiku kerap kerepotan menangani kasus kekerasan.
Tak jarang, paralegal tak hanya harus berhadapan dengan situasi sosial budaya yang tak menguntungkan, tetapi juga ancaman kekerasan terutama jika pelaku kekerasan adalah orang berkuasa atau berpengaruh, seperti tetua adat, kepala desa aparat keamanan dan lainnya.
Karenanya, Yabiku, selain mencoba mengatasi kasus-kasus kekerasan, juga memberikan penyadaran khususnya terhadap pihak-pihak yang berwenang. Salah satunya adalah para tetua adat agar mengurangi budaya mengkonsumsi minuman keras
Ignas Olin, tetua adat di Desa Kuanek, salah satu pihak yang mendukung upaya menghapus ‘legalisasi’ minuman keras atas nama ‘adat’ ini. Dia mengakui, dahulu, sebelum dia menjadi tetua adat di desa itu, setiap kali ada suatu kasus terkait pelanggaran hukum adat yang dilaporkan ke tetua adat, maka pihak keluarga korban akan dikenakan kewajiban menyerahkan ‘uang meja’ atau uang untuk membeli sirih-pinang.
Selain itu mereka juga diwajibkan mempersembahkan dua botol sopi untuk sang tetua adat. Kebiasaan inilah yang akhirnya, menurut Ignas, seolah adat membenarkan konsumsi minuman keras, sehingga dianggap sopi adalah bagian dari budaya masyarakat di NTT. “Hal itu jelas tidak tepat, istilahnya korban di atas korban,” kata Ignas.
Karenanya, sistem budaya yang tidak memberikan keadilan bagi korban kekerasan ini mulai diubah ketika Ignas didapuk menjadi tetua adat Desa Kuanek dan terlebih ketika Ignas sendiri bergabung menjadi bagian dari kelompok paralegal di desanya. Sejak itu tidak ada lagi penyerahan uang meja, sopi dan berbagai aturan yang merugikan perempuan.
Tidak mudah menghapus budaya ini, khususnya terkait ‘sopi’ karena Ignas mulanya juga banyak ditentang oleh tetua-tetua adat yang lain. Namun, Ignas mengatakan, masyarakat memilih seseorang menjadi tokoh baik tokoh masyarakat maupun tokoh adat adalah atas dasar kepercayaan. “Karena itu kami yang justru harus melayani,” tegasnya. Bagi dia, budaya ‘sopi’ lebih baik dihilangkan, bersamaan dengan penghapusan unsur ‘adat’ lain yang merugikan perempuan atau memicu kekerasan terhadap perempuan.
Peristiwa-peristiwa yang saya perbincangan dengan kelompok paralegal ini, oleh jadi sudah lama berlalu. Saya sendiri tak tahu bagaimana perkembangan situasi di TTU pasca upaya kelompok paralegal, pemuka agama dan tetua adat untuk mengurangi kekerasan terhadap perempuan yang kerap terjadi atas nama ‘adat’ atau ‘kearifan lokal’.
Namun seandainya upaya mereka mengurangi peredaran minuman keras–termasuk minuman lokal sopi– untuk mengurangi kasus kekerasan terhadap perempuan berhasil, maka boleh jadi, aturan legalisasi produksi dan peredaran miras yang diteken Presiden Jokowi tersebut akan menjadi pekerjaan rumah baru bagi mereka.
Saya tak bisa membayangkan, atas nama ‘kearifan lokal’ tiba-tiba muncul Tania-Tania dan Merry-Merry baru yang kembali harus berteriak meminta tolong pada Mak Santre, Kanis, Ignas dan kelompok paralegal lainnya. Wajah-wajah penuh luka, wajah-wajah tidak berdaya perempuan di hadapan seorang lelaki yang kehilangan akal sehatnya, melintas di benak saya. Sungguh menggiriskan.
M. Agung Riyadi
Jurnalis, berusaha untuk berkhidmat pada desa dan orang desa