Pangan, Covid-19 dan The Lord of Ambyar
|
Oleh: Said Abdullah, Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan
“Saya seniman tradisional. Semoga apa yang telah di perbuat sangat bermanfaat“.
Demikianlah ungkapan Didi Kempot ketika di wawancarai CNN Indonesia di suatu kesempatan. The Godfather of Broken Heart atau The Lord of Ambyar demikian julukan yang disematkan kepadanya. Sebuah julukan yang sangat tinggi dan besar sebab ia seorang maestro.
Gelar yang mentereng dan populer, nyatanya tak membuat The Lord berubah. Didi Kempot tetap dirinya seperti tiga puluh tahun lalu ketika memulai karirnya. The Godfather itu tetap nempatkan dirinya sebagai “seniman tradisional”. Didi kempot tetap menjadi “wong cilik” yang setia memperjuangkan nilai-nilai tradisional. Seni budaya miliki negeri tercinta ini.
Perjuangannya dilakukan dengan sangat keras dan gagah berani. Dalam perjalanan juangnya, The Lord of Ambyar menunjukkan bahwa kegagalan yang berujung ambyar adalah hal biasa. Tapi konsistensi itulah yang terus digenggamnya. Toh baginya, kalo sedang lelah atau ambyar, tak perlu bersedih yang berlarut. “Klo ambyar, yo dijogeti wae,” katanya.
Jogeti Keambyaran Pangan di Situasi Pandemic
Ketika mendengar kata ambyar, maka tak ada yang lain dalam bayangan kita selain Didi Kempot. Didi Kempot, sang Lord of Ambyar bukan hanya sebuah kata. Shindunata, budayawan dan kolumnis Kompas mengatakan, ambyar dalam Didi Kempot adalah perjalanan hidupnya. Perjalanan hidup yang bergelombang penuh ragam. Dari kecil hingga menjadi besar, dari serba terbatas sampai di puncak ketenarannya. Namun keambyaran itu tetap tidak mampu menggoyahkan keteguhannya.
Rupanya, keambyaran tidak hanya dialami Didi Kempot. Saat pageblug virus corona (Covid-19) ini, rupanya telah menyebabkan ambyarnya tata ekonomi, sosial dan soal pangan. Mandegnya jalur distribusi menyebabkan pangan menjadi sulit diakses. Tambah susah karena ekonomi masyarakat terguncang pendapatannya, lengkap sudah! Ambyar soal pangan ini terutama bagi keluarga miskin di perkotaan. Kelompok inilah yang kita dengar dan saksikan saat ini mengalami kerawanan pangan dan kelaparan.
Pageblug dan Didi Kempot dengan keambyarannya, sejatinya menghadirkan refleksi penting bagi kita. Pembangunan dan sistem pangan pertanian nyatanya sangat rapuh. Meminjam ungkapan Shindunata: “Covid-19 telah membuka penemuan (kebijakan-ed) manusia itu ternyata keliru. Sistem pangan pertanian yang cenderung menyerahkan pada sistem pasar yang dikuasai oleh pengusaha kapitalis akhirnya ambyar“.
Oleh karenanya, merefleksikan atas keambyaran tersebut, saatnya bagi kita untuk membangun ulang sistem pangan kita. Menguatkan sistem pangan lokal, lebih berdaulat dan menempatkan petani menjadi subyeknya. Prasyarat mutlak dari bangunan baru itu adalah berpaku pada kekuatan, sumberdaya pangan, pengetahuan dan sistem sosial budaya lokal.
Disinilah hebatnya Didi Kempot yang patut kita teladani. Kebanggaan mengusung budaya lokal Sang Lord of Ambyar, harusnya kita lekatkan pada kebanggaan kita mengembangkan pangan lokal. Dengan demikian pada masa yang akan datang kita tidak lagi mengalami keambyaran seperti saat ini.
Bangga Menjadi Lokal
Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Pun tak perlu malu atas apa yang dipunya. Lokal tak mesti rendah. Sesuatu yang milik sendiri, yang tradisional bukan sesuatu yang memalukan. Pada keseharian dan gemerlap panggungnya, Didi Kempot secara konsisten mengenakan simbol budaya lokal yang diperjuangkannya.
Hal itu bisa kita lihat pada Blangkon, jarit, baju batik atau beskap yang dikenakannya. Begitu pula pada syair-syair lagunya yang menggunkan bahasa jawa. Bahkan dalam lagu-lagunya, banyak yang berlatar belakang berbagai daerah di Indonesia. Atas hal ini, dalam wawancara dengan jurnalis Mojok.co (19/8/2019), Sang Lord of Ambyar menyampaikan:
“Saya suka semacam itu ya, kenapa? Paling tidak kalau kita membuat lagu tentang daerah semakin memopulerkan daerah tersebut kepada khalayak ramai, baik di dalam maupun luar negeri”
Dari Didi kempot hendaknya kita belajar tentang usaha gigih, niat baik dan tulus memperjuangkan kekayaan nusantara. Hal yang sama harusnya juga bisa kita lakukan dalam konteks pangan. Kita harus bangga atas kekayaan pangan yang ada.
Tak kurang-kurang sumber pangan kita terbentang dari barat hingga timur Indonesia. Penelitian Pusat Kajian Pangan UGM menyatakan sekurangnya ada 77 jenis pangan sumber karbohidrat, puluhan jenis rempah, sayur dan buah. Sayangnya justru konsumsi pangan kita tertaut banyak pada produk impor. Sebagai contoh, tahun 2019 lalu, tidak kurang dari 10 juta ton gandum diimpor.
Seperti kita tahu, gandum tidak diproduksi di Indonesia, tapi ditanam petani negara lain. Gandum bukan baju batik, blangkon atau sorjan. Gandum juga bukan jewawut, sorgum, atau ganyong yang melambangkan kekayaan lokal.
Harusnya kita merenungi kata-kata Didi kempot soal kebanggaan akan kekayaan budaya lokal. Menurut Sang Lord, kita harusnya jangan pernah malu menyanyi lagu tradisional. “Nyanyikan disitu klo bener-bener seneng, yang bener-bener jangan cuma pura-pura”. Pun pada pangan lokal, harusnya kita tidak boleh malu untuk memproduksi dan mengonsumsinya. Sebab disitulah kekuatan kita.
Tepat satu hari tulisan ini dibuat, dimana sang Lord telah lunga dan tidak akan bali-bali lagi. Lunga menghadap sang pemiliknya. Menuju kesejatian, meninggalkan keambyaran dunia. Satu hari setelah lunga-nya ini, menjadi penting belajar dari Didi Kempot. Tentang hal ini, Ahmad Khadafi, jurnalis Mojok.co mengatakan di dunia ini, tak ada yang bisa menandingi Didi Kempot. Robbie Williams, Frank Sinatra, Nat King Cole, semuanya tak bisa. Sebab Didi Kempot adalah semesta yang lain.
Sugeng tindak lord… Pada keteguhan laku dan keambyaranmu kami belajar, tabik!