Pesan Pandemi Covid-19 Untuk Perbaikan Pangan

Aktivis Greenpeace melakukan aksi protes menghentikan perusakan hutan untuk pembukaan lahan sawit (dok. greenpeace)

Oleh: Azwar Hadi Nasution, Peneliti di Institut Agroekologi Indonesia (INAGRI)

Wabah penyakit menular pada manusia meningkat dalam beberapa tahun terakhir, sebut saja ebola, flu burung, Middle East respiratory syndrome (Mers), severe acute respiratory syndrome (Sars), virus Zika yang semuanya berpindah dari hewan ke manusia. Belum pernah ada begitu banyak peluang bagi patogen untuk berpindah dari hewan liar dan domestik ke manusia (Damian, 2020). Peneliti lingkungan ini juga menjelaskan bahwa 75% dari semua penyakit menular yang muncul berasal dari satwa liar atau melalui perantaranya.

Alam mengirimkan pesan penting kepada umat manusia dengan pandemi corona virus dan krisis iklim yang sedang berlangsung menjadi bukti manusia terlalu banyak memberi tekanan pada alam dengan konsekuensi yang merusak. Bila kerusakan ini sudah tidak terperikan dengan sendirinya akan berubah menjadi indikator kegagalan merawat planet yang berarti kegagalan manusia merawat diri sendiri.

Laporan Guardian edisi Maret 2020 sudah menyitir pendapat Ilmuwan lingkungan terkemuka yang menyatakan wabah Covid-19 adalah “tembakan peringatan yang jelas”, mengingat bahwa penyakit yang jauh lebih mematikan ada di alam liar, dan bahwa peradaban saat ini “bermain dengan api”. Para ilmuwan mengatakan hampir selalu perilaku manusia yang menyebabkan penyakit menular ke manusia. Untuk mencegah wabah lebih lanjut, para ahli mengatakan, pemanasan global dan penghancuran dunia alami untuk pertanian, pertambangan dan perumahan harus diakhiri, karena keduanya mendorong satwa liar untuk melakukan kontak dengan manusia.

Biaya Tersembunyi Pembangunan Ekonomi

Hutan adalah sumber segalanya. Kesetimbangan hutan adalah kesetimbangan manfaat dan keburukan. Bahkan sumber keburukan yang menakutkan sekalipun menjadi penghuni hutan. Membuka hutan berarti dengan sendirinya membuka pintu keluar mahluk yang tak pernah kita kenali sebelumnya, baik ukurannya mikro, meso atau makrofauna, jenis yang menguntungkan atau mara bahaya.

Menurut data World Resources Institute (WRI) Indonesia masuk dalam daftar 10 negara dengan angka kehilangan hutan hujan tropis tertinggi pada 2018. Kehilangan hutan berarti kehilangan keanekaragaman hayati. Pada tahun tersebut Indonesia kehilangan lahan hutan hujan primer tropis seluas 339.888 hektare (ha). Angka tersebut berada di urutan ketiga setelah Brasil (1,35 juta ha) dan Kongo (481.248 ha).

Ekspansi lahan perkebunan sawit, terjadinya kebakaran hutan, serta pengalihan lahan hutan untuk permukiman menjadi pemicu terjadinya deforestasi. Indonesia pernah mencatat angka deforestasi tertinggi, yakni mencapai 3,51 juta ha/tahun pada 1996-2000. Luas tersebut terdiri atas 2,83 juta hektare lahan kawasan hutan dan 0,68 hektare non-kawasan hutan. Angka kehilangan tersebut terbaca sebagai angka statistik belaka bila tak pernah dikaitkan dengan isinya, fungsinya dan manfaatnya bahkan kerugian yang akan datang setelahnya.

Pembangunan dengan mengorbankan hutan menjadi penanda tersendiri. Umat manusia menuju tempat yang sebelumnya tidak terganggu (undisturbed) menjadi semakin terbuka. Kita telah berhasil memperpendek penularan virus dan mempermudah penularan virus lalu kita terkejut setelahnya bahwa ada jenis virus baru.

Pengetahuan kita masih terbatas pada sesuatu yang bisa dimanfaatkan. Keganasan mikroroganisme yang belum teridentifikasi selalu cenderung diabakan. Para ahli mikrobiologi dan lingkungan sepakat bahwa bumi dihuni oleh berjuta-juta jenis bakteri, namun hanya sekitar 5-10 % jenis yang telah teridentifikasi. Singkatnya, terdapat 90 % yang berpotensi menguntungkan bahkan sebaliknya berbahaya. Sebagian besar mereka masih bersembunyi di hutan sehingga tak perlu kita singkap bila kita tak mampu identifikasi.

Pesan Pangan Sehat

Pandemi selalu terkait dengan hewan liar, kesetimbangan ekosistem dan pangan. Artinya selain menjaga alam, asupan pangan menjadi bahan penting. Sesuatu yang baru yang memasuki tubuh pasti akan melalui screening ketat pertahanan tubuh. Bila ia tidak baik bagi tubuh akan ada perlawanan. Perlawanan tubuh ini sangat terkait dengan pola dan jenis pangan yang dikonsumsi.

Penemuan bahan pangan penangkal Covid-19 baru-baru ini menjadi penanda betapa pentingnya keragaman pangan dan kesehatan pangan. Pangan yang sehat diproduksi dengan pola yang sehat. Pola produksi pangan juga harus berubah dari berbasis pestisida dan monokultur menjadi pertanian berbasis ekologi (agroekologi), lokal dan beragam.

Pola distribusi pangan harus berbasis lokal untuk memudahkan dan mempercepat sampainya pangan segar. Jaminan kesegaran pangan sehat juga hanya bisa terjadi bila rantai distribusi diperpendek. Bila produksi dan distribusi pangan tingkat lokal digalakkan maka menurut hitungan penulis akan tersisa 3-4 rantai pangan, terpotong hampir setengahnya dari rantai pasok dan distribusi sekarang.

Pandemi Covid-19 ini menjadi pelajaran pangan yang sangat berarti bagi semua. Betapa repotnya bangsa ini untuk menyediakan pangan dalam karantina wilayah atau jika diputuskan lockdown total. Masihkah kita akan terus menolak pangan yang beragam, diproduksi secara agroekologi dan berbasis lokal di situasi yang tidak pasti karena monokultur dengan rantai pasok dan distribusi yang sangat panjang ini?

Globalize Hope, Globalize Strugle and Globalize Solidarity!!!

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.