Petani Sebagai Pengamat, Pemerhati Iklim: Refleksi Delapan Tahun APCHI

Anggota Asosiasi Pengukur Curah Hujan Indramayu (APCHI), melakukan pengukuran curah hujan (villagerspost.com/tarsono)

Oleh: Tarsono, Petani Muda Peneliti Curah Hujan, Desa Nunuk, Indramayu, Jawa Barat

Dalam prinsip pengendalian hama terpadu (PHT), petani bukan sekadar subyek, apalagi obyek pasif yang bekerja sekadar sebagai orang yang berprofesi menanam tanaman pangan, atau komoditas pertanian lainnya. Petani dalam PHT, sejatinya juga adalah seorang ahli, seorang pengamat, seorang peneliti pada lingkungannya, dalam konteks ini, lahan pertaniannya.

Tak hanya mengamati ekosistem lahan terkait kemunculan hama penyakit dan penanggulangannya secara ramah lingkungan dengan misalnya, membangun ekosistem lahan yang sehat, tetapi juga mengamati pola curah hujan.

Sebagai petani, saya sendiri telah delapan tahun ini menjalani praktik sebagai petani peneliti, khususnya meneliti curah hujan yang tergabung dalam Asosiasi Pengukur Curah Hujan Indramayu (APCHI). Mengamati curah hujan, bukan sekadar mengukur curah hujan untuk mengamati pola cuaca, tetapi juga sejatinya berkontemplasi terhadap hubungan diri dan alam sekitarnya.

Saya tak pernah bosan mengajak para petani untuk belajar memahami iklim. Sebab, petani kerap merugi ketika bertanam tanpa memperhatikan faktor iklim. Petani kerap tak siap mengantisipasi bencana seperti banjir, kekeringan atau mengantisipasi kemunculan hama penyakit tertentu yang ditimbulkan akibat perubahan iklim.

Saya bersama rekan-rekan di APCHI juga beberapa kali berkeliling seperti ke wilayah Sumedang untuk sekadar berbagi ilmu tentang teknik mengukur curah hujan. Saya pun tak bosan-bosannya, setiap pagi ke sawah untuk melakukan pengukuran curah hujan.

Sebab pada prinsipnya, petani yang benar-benar sukses adalah petani yang mampu niteni, atau mampu mencermati, mengamati, menganalisa lingkungan sekitarnya baik masalah tanah, ekosistem lahan sampai urusan cuaca. Dengan mengukur curah hujan, petani peneliti terbukti mampu membuat prakiraan bertanam yang sesuai dengan kondisi iklim, sehingga bisa meminimalkan potensi kegagalan panen.

Misalnya, di bulan Agustus, September, Oktober, ketika kekeringan terjadi, kami menyarankan petani menanam semangka sebagai tanaman penjeda setelah musim tanam satu dan dua. Hasilnya sukses karena petani bisa panen karena semangka lebih tahan kondisi kering. Petani pun bisa merasakan keuntungan.

Kami dengan mengukur dan mengamati curah hujan juga mencoba memprakirakan musim tanam pertama, atau musim rendeng, dengan menerapkan tiga faktor pendukung yang wajib ditentukan di awal musim rendeng yang didapat dari hasil pengamatan. Tiga faktor itu adalah: bagaimana kondisi sumber air irigasi, bagaimana pola curah hujan, dan kondisi hama penggerek batang yang masuk lampu perangkap hama.

Untuk yang terakhir, mengamati hama yang terperangkap juga menjadi penting dalam menerapkan prinsip PHT yaitu petani sebagai pengamat. Sebagai contoh, jika ada sejumlah hama kupu yang terkumpul di lampu perangkap hama, maka persemaian bisa dimulai antara 14-15 hari setelah tanggal pengamatan atas jenis hama yang terperangkap tersebut.

Kami, para petani di APCHI berprinsip, prakiraan itu bukan asal saja, akan tetapi dengan melihat data probabilitas dan mengaitkan skenario musiman/prakiraan cuaca yang tiap bulannya dikirim oleh Prof. Sue Walker, ahli Agrometeorologi Afrika Selatan, yang selama ini mengasuh kami dalam mempelajari ilmu mengukur curah hujan. Karena kami sadar, ke depan perubahan iklim pasti akan terjadi.

Tampaknya yang jadi permasalahan besar adalah sistem pertanian kita masih gagap menerima prinsip PHT, khususnya petani sebagai ahli, petani sebagai peneliti dan pengamat. Padahal, jika mengabaikan prinsip-prinsip itu, misalnya jika petani tidak memahami iklim, petani akan berisiko besar mengalami gagal panen. Sebab itu kami terus berusaha belajar memitigasi perubahan iklim supaya tidak gagal panen. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.