Prestasi Semu Sistem Pajak Indonesia, Bom Waktu Yang Siap Meledak
|
Basuki Widodo: Pimpinan dan Pendiri Lembaga Indonesian Tax Care (INTAC)
Masalah pajak Indonesia menjadi sebuah bom waktu yang siap meledak kapan pun waktunya. Saat ini KPK tengah menyidik kasus penyimpangan pajak yang nilainya mencapai puluhan miliar. Ternyata kasus ini melibatkan beberapa pejabat di Ditjen Pajak, yang meluas ke beberapa konsultan pajak dan perusahaan besar. Ini merupakan kejadian yang ke sekian kali, menjadi sebuah pola sama dalam dunia perpajakan Indonesia.
Sesungguhnya apa yang diungkap KPK merupakan puncak dari gunung es. INTAC menemukan banyak kasus penyimpangan di lapangan, dari perusahaan yang kolaps, wajib pajak mengalami depresi berat, tekanan serta arogansi oknum aparatur pajak, rumitnya aturan, minimnya pengetahuan pajak masyarakat sampai ketidakberdayaan masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian INTAC tahun 2012, terungkap, sistem pajak Indonesia sangat rapuh. Terdapat dua faktor yang menjadi penyebab rapuhnya sistem pajak Indonesia, yaitu: terabaikannya prinsip-prinsip pemungutan self assesment system dan pembangunan pajak tidak mengarah pada cita-cita pajak Indonesia.
Rapuhnya sistem pajak inilah yang menyebabkan sistem pajak Indonesia rentan terhadap berbagai masalah. Hal ini juga menjadikan tidak jelasnya arah pembangunan pajak Indonesia. Sistem pajak Indonesia tidak memiliki acuan dan standar, yang bisa dijadikan tolok ukur.
Kondisi ini juga diperkuat dengan hasil penelusuran serta wawancara yang INTAC lakukan, di mana sejak tax reform tahun 1983 sampai saat ini, sistem pajak Indonesia tidak pernah memiliki Grand Design sebagai cetak biru (blue print) dalam penyelenggaraan pemungutan pajak. Ini dapat diartikan bahwa tidak ada pedoman yang dapat dijadikan dasar dalam merancang kebijakan pajak.
Pada akhirnya secara pragmatis, terminologi tax ratio dan maximum budget menjadi dasar dalam proses pembuatan kebijakan. Pajak hanya diartikan terbatas pada pencapaian target penerimaan (maksimum target). Hal ini yang sering kali pelaksanaan pemungutan pajak, melanggar prinsip keadilan dan ha-hak masyarakat.
Tidak jelasnya arah pembangunan sistem pajak serta terminologi pajak yang sebatas pada pencapaian target penerimaan, menjadikan berbagai kepentingan masuk mendompleng kepentingan pajak itu sendiri. Para oknum memanfaatkan lemahnya sistem untuk kepentingan pribadi. Kepentingan tersebut saling tumpang tindih antara kepentingan negara, lembaga dan pribadi. Negosiasi dan penyimpangan pajak menjadi salah satu bentuk kepentingan pribadi, yang mendompleng kepentingan pajak itu sendiri.
Korupsi pajak dan pencapaian target penerimaan pajak, menjadi dua hal yang berjalan beriringan. Para oknum akan berlindung dibalik upaya-upaya pencapaian target. Pencapaian target dan hukum yang berlaku menjadi alibi menutupi berbagai kecurangan yang mereka lakukan. Hal ini yang menjadikan penyimpangan di lingkungan pajak sulit terhapuskan.
Korupsi pajak tidak pernah benar-benar hilang dan hanya berubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya, menyesuaikan dengan kondisi dan arah kebijakan pemerintah. Kondisi ini memungkinkan terjadi karena praktik kecurangan yang dilakukan, berlindung dibalik tameng pencapaian target penerimaan.
Dalam praktiknya para petugas pajak, cenderung akan menekan dan mencari-cari kesalahan wajib pajak agar dapat dikenakan pajak setinggi-tingginya. Tidak jarang mereka mengatasnamakan negara serta hukum yang berlaku. Tapi di saat para wajib pajak tidak berdaya, mereka tidak segan-segan untuk melakukan “perdamaian” dengan mengecilkan temuan pajak. Sebaliknya bila tidak ada titik temu, tanpa beban mereka akan menetapkan utang pajak yang tinggi, berdasarkan temuan awal.
Penetapan ini merupakan prestasi karena itu yang diharapkan dalam rangka pencapaian target penerimaan. Karena itu di kalangan aparatur pajak, semakin besar penetapan pajak, dianggap semakin baik. Bahkan para aparatur pajak berlomba-lomba untuk menetapkan pengenaan pajak setinggi-tingginya kepada masyarakat dan pengusaha. Aturan pajak menjadi alat untuk mencari celah dan kelemahan wajib pajak. Akibatnya banyak prinsip-prinsip pajak yang terlanggar.
Tentu saja masyarakat dan pengusaha menjadi pihak yang paling dirugikan. Terlebih masyarakat banyak yang tidak memahami pajak. Mereka memiliki posisi yang lemah sehingga mudah dikendalikan para oknum pajak. Memang Undang-undang pajak memuat hak-hak wajib pajak dalam melakukan pembelaan. Tapi hak-hak tersebut tidak mudah, serta membutuhkan waktu, biaya dan tenaga yang besar.
Bahkan tidak jarang wajib pajak harus mengeluarkan uang negosiasi dalam keberatannya. Karena itu banyak wajib pajak yang lebih senang “menyelesaikan” masalah mereka di tahap pemeriksaan. Hal inilah yang pada akhirnya memunculkan berbagai masalah dalam sistem pajak Indonesia dan semakin rumit dalam perkembangannya.
Karena itu dalam pembenahan sistem pajak Indonesia, pemerintah harus mengevaluasi kembali arah dari pembangunan sistem pajak bangsa sesuai yang tertuang dalam penjelasan Undang-undang pajak. Harus dilakukan perbaikan pajak secara komprehensif. Pajak bukan semata-mata pencapaian target penerimaan. Pemerintah harus membuat dan menyusun arah yang jelas pembangunan sistem pajak Indonesia (Grand Design).
Cita-cita pajak bangsa harus dituangkan menjadi strategi tahapan pencapaian, yang disusun secara terencana dan berkesinambungan, sesuai yang termuat pada penjelasan Undang-undang pajak saat tax reform tahun 1983. Tidak bisa kebijakan bersifat sporadis, tidak mendasar dan bersifat trial and error demi target penerimaan.
Begitu pula prinsip pemungutan Self Assesment System harus diperkuat karena prinsip ini merupakan dasar pajak Indonesia. Kesadaran masyarakat harus menjadi perhatian utama, sehingga masyarakat menjadi kekuatan yang bersinergi, dalam pembangunan sistem pajak itu sendiri. Terlebih mengingat masyarakat Indonesia yang majemuk sehingga perlu arah dan strategi tepat.
Masyarakat juga terus berkembang dan ekonomi terus tumbuh. Yang tua akhirnya akan pensiun. Begitu pula mereka yang dulunya anak-anak, nantinya akan menjadi dewasa dan memiliki penghasilan. Tidak bisa lagi para orang tua, mewarisi mental curang kepada anak cucunya.
Pengungkapan kasus permainan pajak oleh KPK merupakan momentum yang tepat untuk memperbaiki sistem pajak Indonesia. Sistem pajak saat ini, memberikan peluang terlanggarnya prinsip keadilan dan hak-hak masyarakat. Bila ini diabaikan maka sistem pajak Indonesia menyimpan potensi masalah besar, seperti bom waktu yang suatu saat akan meledak.
Pada akhirnya masyarakat tidak percaya lagi dengan pajak bahkan dapat melakukan perlawanan. Hal ini jangan sampai terjadi, karena potensi pajak sesungguhnya ada di kesadaran masyarakat. Kesadaran pajak masyarakat inilah yang harus dijaga dan di tumbuh kembangkan. (*)