Rapuhnya Tata Kelola Pangan Pertanian

Petani mengangkut hasil panen. BPS mengungkapkan, jumlah petani miskin terus meningkat (dok. field indonesia)

Oleh: Siswan Tiro, Direktur Perkumpulan KATALIS

Tahun 2015, Perkumpulan KATALIS melakukan survei ketahanan pangan dan deteksi kerawanan pangan beberapa desa di Sulawesi Selatan melalui pendekatan Household Food Insecurity Access Scale (HFIAS). Dalam pendekatan HFIAS ada desa ditemukan 3% penduduknya mengalami krisis pangan karena hanya mampu makan kurang dan tak lebih dari 1 kali dalam sehari.

Skala ini sudah membahayakan, terlebih fenomena ini terjadi di wilayah penyangga stok pangan nasional. Demikian kami membahasakannya. Namun apakah pemerintah menganggapnya sesuatu yang berbahaya? Ternyata kita melihat sesuatu masih dengan mata kepala dan data makro di mana selalu melihat tanah kita yang subur luas dan menggenjot produktivitas untuk mencapai swasembada.

Lahan Petani yang Menyempit dan Hilangnya Lumbung

Pemerintah sepertinya abai bagaimana pola tata kelola pangan seharusnya dijalankan. Contoh nyata diabaikannya pola tata kelola pangan adalah, hampir semua desa tidak ada lagi lumbung pangan milik warga atau komunitas. Pada masa panen, para petani langsung menjual hasilnya seperti gabah kepada para pedagang atau pengumpul.

Memang masih ada menyimpan namun sangat terbatas. Tak sedikit yang menjual semuanya lalu mereka membeli beras untuk kebutuhan sehari-hari atau juga menunggu jatah beras miskin yang sekarang populer disebut beras sejahtera (perubahan nama yang ironis sebenarnya). Petani dapat beras subsidi. Sungguh aneh namun nyata. Mereka yang menjadi produsen pangan namun mendapatkan beras bantuan.

Saat ini petani kita memang banyak yang daya belinya sangat rendah sementara biaya operasional untuk bertani sangat mahal. Akibatnya petani tersandera dalam utang piutang dalam membiayai operasional. Sementara lahan yang dimiliki oleh petani, berdasarkan survei kami secara umum hanya mencapai luasan antara 0,2 hingga 0,4 hektare.

Lalu kemana lahan yang luas di desa? Umumnya sudah tergeser, dikuasai oleh beberapa orang dan bahkan termasuk oleh orang luar desa, akibat mungkin karena faktor warisan maupun karena terjual. Padahal seorang petani untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar seharusnya memiliki lahan minimal 2 ha.

Bahkan Thailand sekarang petaninya memiliki lahan paling sedikit 3 ha. Ada ketimpangan kepemilikan aset yang sangat besar. Akibatnya mereka yang mayoritas justru memiliki aset sangat sedikit. Hukum kewarisan dapat juga menjadi masalah sebab umumnya dibagi rata kepada anak-anak petani meskipun di antara mereka ada yang tidak berprofesi petani.

Rantai Pasok yang Timpang

Keterpurukan petani secara ekonomi, juga bisa dilihat dari ketimpangan yang terjadi pada rantai pasok pangan di berbagai level. Dalam rantai nilai pasok, petani kita umumnya hanya bekerja pada rantai awal dengan waktu sekitaran 3 sampai 4 bulan. Mulai dari pengolahan tanah yang umumnya menggunakan atau menyewa hand tractor, pembelian bibit atau benih, pupuk dan pestisida, hingga panen. Semuanya disewa dan dibeli.

Termasuk pupuk yang konon merupakan barang subsidi namun tak sepenuhnya karena masih ditebus sebagian dan bahkan terkadang nilai tebusan jauh melampaui harga eceran tertinggi (HET) pada tingkat pengecer yang ditetapkan oleh pemerintah. Kesemuanya menjadi beban awal petani. Pasca panen petani langsung menjual gabahnya karena harus cepat melunasi segala utang untuk membiayai operasionalnya.

Andaikan gabah diolah jadi beras maka tentunya akan mendapatkan margin tambahan. Atau setidaknya jika gabah diolah oleh kelompok tani atau koperasi petani maka nilai margin dapat dinikmati oleh mereka atau setidaknya uang tetap berputar di desa. Namun faktanya gabah yang dipanen sorenya, biasanya malamnya sudah pergi menjauh meninggalkan puluhan bahkan terkadang ratusan kilometer menuju pabrik besar.

Infrastruktur Pertanian Untungkan Siapa?

Hasil panen dibeli atau dikumpulkan oleh pengumpul atau pedagang kecil bahkan terkadang pedagang besar yang langsung ke lokasi pertanian. Hal ini juga didukung oleh ketersediaan infrastruktur jalan tani, di mana mobil angkutan bisa langsung ambil gabah. Siapa yang menikmati margin atas keberadaan infrastruktur jalan tani? Benarkah menumbuhkan ekonomi desa atau petani?

Membaca keberadaan infrastruktur kaitannya dengan ekonomi, petani atau lokal maka pertanyaannya adalah apakah ada perbedaan atau kenaikan harga gabah pada tingkat petani dibandingkan sebelum ada infrastruktur jalan? Sebab sebelum ada infrastruktur jalan dari lokasi pertanian ke jalanan umum di situ ada profesi angkutan yang biasanya menggunakan kuda (pateke’ dalam istilah lokal).

Ada pekerjaan bagi masyarakat lokal. Namun setelah ada infrastruktur jalan maka profesi ini hilang. Tetapi apakah harga gabah meningkat akibat adanya infrastruktur karena pedagang mengalami efisiensi? Kalau tak ada peningkatan harga atas adanya pembangunan infrastruktur atau efisiensi transportasi maka siapakah yang menikmati margin yang lebih baik? Sementara pada tingkat konsumen harga beras tidak mengalami penurunan akibat pembangunan infrastruktur. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.