Stunting dan Masa Depan Pangan Anak Indonesia

Angka kelaparan di dunia stagnan, alias tak mengalami penurunan siginifikan (dok. oxfam america)

Oleh: Azwar Hadi Nasution, Ayah Seorang Anak, Tinggal di Bogor

Rawan pangan dan kekurangan gizi selalu mengikuti anak-anak, orang miskin dan hampir miskin di Indonesia. Demikian diungkapkan laporan yang bertajuk Policies to Support investment Requirements of Indonesia’s Food and Agriculture development During 2020-2045 diterbitkan oleh ADB, International Food Policy Research Institute (IFPRI) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Laporan ini menunjukkan, kemiskinan dan kelaparan alias rawan pangan masih menjadi momok menakutkan.

Laporan ini juga menyatakan, kemiskinan, kerawanan pangan sangat bervariasi antar daerah dan antar kelompok pendapatan di Indonesia. Di antara kelompok berpenghasilan rendah, asupan energi umumnya tidak memadai, dan kualitas makanan sangat buruk. Bagi mereka yang tinggal di daerah miskin dan daerah terpencil, asupan energi juga tidak memadai dan tidak seimbang.

Kelaparan di Desa

Laporan ini mengukur kelaparan dan rawan pangan dengan Prevalensi Kekurangan Makanan (Prevalence of Undernourishment/PoU) dan Skala Kerawanan Pangan (Food Insecurity Experiences Scale/FIES). Dengan ukuran ini, berdasarkan data SUSENAS, Prevalensi Kekurangan Makanan pada 2018 sekitar 8,3% (atau sekitar 20,7 juta orang), sementara Skala Kerawanan Pangan (FIES) sekitar 6,9% (atau sekitar 17,2 juta orang).

Kondisi anak-anak juga memprihatinkan. Masih terdapat 10%, anak-anak yang kekurangan berat badan, terbuang, dan 20% mengalami stunting (terhambat pertumbuhannya). Membaca detail laporan ini semakin membuat kita mengelus dada, betapa masyarakat dan anak-anak desa adalah pengidap akut kelaparan dan gizi buruk. Ironis, karena di desalah pangan kita dihasilkan.

Lalu, bagaimana dengan program Upsus Pajale, fokus swasembada beras dan jagung, penambahan subsidi dan jumlah pupuk dan benih? Bagaimana pula dengan program penyediaan mesin sebelum dan sesudah panen, perbaikan infrastruktur irigasi, bendungan baru, dan pemeliharaan bendungan yang ada dan saluran irigasi serta program penyuluhan untuk memanfaatkan/mengoptimalkan lahan pertanian yang terbengkalai/kurang dimanfaatkan untuk padi, jagung, dan kedelai dan untuk menghubungkan sawah baru dengan infrastruktur irigasi?

Semua program ini senyatanya merupakan program di khayangan atau program di awang-awang. Sebab program-program seperti ini secara nyata tak mampu mengangkat kesejahteraan seluruh masyarakat yang hidup di perdesaan, tak sanggup menjamin kecukupan pangan nasional.

Masa Depan Produksi Pangan

Bisakah kita sejenak melupakan program bombastis ekspor pangan dan sumbangan pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi? Lalu membangun masa depan pangan yang berkeadilan dan fokus pada pertanian keluarga yang hidup di desa-desa? Bukankah 90% dari 570 juta pertanian di dunia dikelola oleh keluarga petani, menjadikan pertanian keluarga bentuk utama pertanian yang merupakan agen perubahan yang sangat penting dalam mencapai kecukupan pangan berkelanjutan dan dalam menghilangkan kelaparan?.

Menurut laporan PBB yang dirilis 4 Oktober 2014, pertanian keluarga juga merupakan penjaga sekitar 75% dari semua sumber daya pertanian di dunia, dan karenanya merupakan kunci untuk meningkatkan kelestarian ekologis dan sumber daya. Mereka juga termasuk yang paling rentan terhadap dampak penipisan sumber daya dan perubahan iklim. Masa depan produksi pangan adalah luasan lahan yang digarap oleh petani kecil dan bertani harus menjadi mata pencaharian yang layak.

Direktur Jenderal FAO Qu Dongyu menyatakan, pertanian keluarga dihadapkan pada tiga tantangan. Pertama, pertumbuhan hasil panen untuk memenuhi kebutuhan dunia akan ketahanan pangan dan nutrisi yang lebih baik. Kedua, kelestarian lingkungan untuk melindungi planet ini dan untuk mengamankan kapasitas produktif mereka sendiri. Ketiga, pertumbuhan produktivitas dan diversifikasi mata pencaharian untuk mengangkat diri mereka keluar dari kemiskinan dan kelaparan.

Pembuat kebijakan juga harus mempertimbangkan keragaman pertanian keluarga dalam hal ukuran, teknologi yang digunakan, dan integrasi ke pasar, serta pengaturan ekologis dan sosial-ekonomi mereka. Keragaman ini berarti bahwa petani memerlukan hal-hal yang berbeda dari sistem inovasi. Meski demikian, semua petani membutuhkan tata kelola yang lebih baik, stabilitas makroekonomi, infrastruktur pasar fisik dan kelembagaan, pendidikan serta penelitian pertanian dasar.

Pertanian Keluarga dan Agroekologi

FAO and IFAD (2019) telah merilis Global Action Plan United Nations Decade of Family Farming 2019-2028. Aksi Global Pertanian Keluarga telah melahirkan 7 pilar. Pertama, mengembangkan kebijakan lingkungan untuk memperkuat pertanian keluarga. Kedua, mendukung kaum muda dan memastikan generasi keberlanjutan keluarga pertanian. Ketiga, mempromosikan kesetaraan gender dalam pertanian keluarga dan peran kepemimpinan wanita pedesaan.

Keempat, memperkuat organisasi keluarga petani dan kapasitas mereka untuk menghasilkan pengetahuan, keterwakilan petani dan pelayanan inklusif kebutuhan petani di daerah pedesaan. Kelima, meningkatkan inklusi sosial-ekonomi, ketahanan dan kesejahteraan keluarga petani, rumah tangga pedesaan dan komunitas. Keenam, mempromosikan keberlanjutan pertanian keluarga untuk sistem pangan yang tahan perubahan iklim.

Ketujuh, memperkuat multidimensi pertanian keluarga untuk mempromosikan inovasi sosial yang berkontribusi pada pengembangan teritorial dan sistem pangan yang melindungi keanekaragaman hayati, lingkungan dan budaya. Tujuh Pilar tersebut hanya mampu ditopang bila menggunakan sistem agroekologi.

Simposium Agroekologi ke-2 yang diselenggarakan FAO di Roma pada 3-5 April 2018 juga menyerukan sistem pangan yang lebih sehat dan berkelanjutan. Sistem tersebut adalah agroekologi. Simposium juga menyatakan agroekologi dapat berkontribusi pada transformasi semacam itu.

José Graziano da Silva (FAO) mengatakan, sebagian besar produksi pangan didasarkan pada input tinggi dan sistem pertanian sumber daya yang intensif dengan biaya tinggi bagi lingkungan, dan sebagai hasilnya, tanah, hutan, air, kualitas udara, dan keanekaragaman hayati terus menurun. Fokus pada peningkatan produksi dengan biaya berapa pun belum cukup untuk memberantas kelaparan dan paradox dengan epidemi global obesitas.

Perubahan transformatif dalam memproduksi dan konsumsi makanan mutlak diperlukan. Sistem pertanian harus mengedepankan sistem pangan berkelanjutan yang menawarkan makanan sehat dan bergizi, dan juga melestarikan lingkungan.

Agroekologi dapat menawarkan beberapa kontribusi untuk proses ini. Menggabungkan pengetahuan tradisional dan ilmiah, agroekologi menerapkan pendekatan ekologis dan sosial untuk sistem pertanian, dengan fokus pada interaksi yang kaya antara tanaman, hewan, manusia dan lingkungan. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.