Target Produksi Beras Nasional di Tengah Keterbatasan Petani

Areal persawahan di Kecamatan Gabus Wetan, Indramayu, Jawa Barat (dok. ica wulansari)

Oleh: Ica Wulansari, Mahasiswa Program Doktoral Studi Sosiologi, Universitas Padjadajaran

Dalam rangka mencapai target produksi beras nasional, pemerintah saat ini diwakili oleh Menteri Pertanian menyampaikan bahwa petani perlu bekerja keras agar dapat mencapai target produksi beras sesuai kebijakan pemerintah (https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190828201521-92-425520/mentan-minta-petani-kerja-24-jam-kejar-produksi-pangan). Namun, pernyataan tersebut pun memunculkan pertanyaan dalam benak penulis, bagaimana dengan jaminan bagi kesejahteraan petani dalam rangka mendukung program pemerintah meningkatkan produksi beras?

Sebelum lebih jauh berbicara target produksi beras, maka permasalahan struktural perlu mendapatkan perhatian terlebih dahulu. Berdasarkan data BPS tahun 2018, bahwa pekerjaan dalam bidang pertanian, kehutanan dan perikanan masih dominan menjadi pekerjaan utama masyarakat Indonesia dengan angka mencapai 35,92 juta angkatan kerja. Selain bertani menjadi pekerjaan utama, hal lainnya adalah, petani Indonesia didominasi oleh petani skala kecil dan buruh tani. Sehingga permasalahan struktural pertama yaitu kepemilikan lahan.

Sajogyo (1977) mengelompokkan petani di Jawa dalam tiga kategori, yaitu: petani skala kecil dengan luas lahan usaha tani kurang dari 0,5 ha, skala menengah dengan luas lahan usaha tani 0,5-1,0 ha, dan skala luas dengan luas lahan usaha tani lebih dari1,0 ha. Sejalan dengan pengelompokkan petani berdasarkan luas lahan menurut Sajogyo, penulis melakukan survei terhadap komunitas petani di satu desa di sebuah kabupaten di Jawa Barat.

Hasil survei menunjukkan bahwa kepemilikan lahan kurang dari 0,25 hektare dimiliki oleh 40 persen responden petani dan kepemilikan lahan 0,25 hingga 0,99 hektare dimiliki oleh 29 persen responden petani. Maka, dari data tersebut menunjukkan bahwa tatanan struktur petani didominasi oleh petani skala kecil yaitu petani dengan luas lahan kurang dari 0,5 hektare. Hal tersebut belum mencakup data mengenai buruh tani.

Di tengah kepemilikan lahan pertanian yang sempit, petani pun umumnya tidak memiliki tambahan penghasilan. Contoh kecil dari hasil survei penulis di satu desa menunjukkan sebanyak 75 persen petani hanya menggantungkan hidup dari bertani. Maka, dengan kepemilikan lahan petani yang terbatas dan ketiadaan tambahan penghasilan lainnya menjadi refleksi bagaimana petani yang memiliki keharusan meningkatkan produksi pangan di tengah biaya bertani yang mahal.

Biaya bertani untuk modal bertani berupa menyewa traktor, membeli pupuk, pestisida, maupun biaya menggarap lahan. Traktor atau alat mesin pertanian hanya dimiliki oleh petani kaya. edangkan, bagi masyarakat tani skala kecil harus menyewa traktor. Selain biaya untuk modal bertani, dalam struktur kehidupan pedesaan pun, petani dihadapkan dengan kewajiban sosial yang tentunya mempengaruhi pendapatan.

Alhasil adagium petani skala kecil terlilit hutang dan bertani cukup untuk sekedar bertahan hidup, ya menjadi realita pahit yang masih bergulir hingga saat ini. Bagi buruh tani di beberapa daerah pun menunjukkan realita kehidupan yang getir. Hasil bertani dibagi dengan sang pemilik tanah, sehingga buruh tani dalam bertani hanya mendapatkan hasil panen pas-pasan sekedar untuk makan sehari-hari.

Selain kepemilikan lahan yang terbatas, petani skala kecil dan buruh tani pun menghadapi kendala akses pasar. Akses pasar dimana petani tidak memiliki daya tawar menentukan harga gabah. Bahkan ketika hasil panen padi mengalami peningkatan, lagi-lagi petani tidak menangguk keuntungan karena harga gabah yang tidak membahagiakan.

Selain akses pasar, kendala struktural lainnya adalah akses keuangan. Petani skala kecil dan buruh tani memiliki keterbatasan modal, bahkan istilah ‘berutang’ menjadi akrab bagi kehidupan petani. Beruntung, pemerintah memfasilitasi kredit pertanian melalui bank yang menurut hasil survei penulis tidak memberatkan petani. Namun, faktanya sebagian besar petani terlilit utang akibat membeli pestisida dan pupuk yang tidak mendapatkan akses kredit pertanian dari bank.

Mengenai pestisida yang diperlukan petani dalam menghalau hama. Prinsip Pengelolaan Hama Terpadu tidak lagi populer bagi petani karena petani menjadikan pestisida sebagai jalan keluar mengatasi hama. Namun, ancaman kerusakan ekosistem sawah menjadi ancaman yang tidak terlihat bagi petani untuk saat ini dan di masa depan.

Selain terjerat pestisida, petani pun memiliki akses pengetahuan yang terbatas. Sebenarnya, petani memiliki kemampuan dalam pemuliaan benih, namun dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 40 Tahun 2017 tentang Pelepasan Varietas Tanaman menjadi dasar legal petani tidak dapat mengembangkan benih secara mandiri. Maka, pengetahuan lokal akan pemuliaan benih semakin sirna. Di sisi lain, petani pun memiliki akses pengetahuan yang terbatas. Akses pengetahuan yang penting bagi petani saat ini adalah menghadapi perubahan iklim.

Prinsip Pengelolaan Hama Terpadu bagi petani perlu dibangkitkan kembali agar petani dapat bertani secara ramah lingkungan dan ekonomis. Selain itu, ketidakpastian iklim saat ini menjadi ancaman terhadap stabilitas pendapatan petani ditandai dengan hasil panen yang kerapkali mengalami penurunan. Maka, petani membutuhkan akses pengetahuan dan informasi mengenai perubahan iklim yang memampukan kapasitas dirinya menghadapi perubahan iklim.

Kendala-kendala struktural terkait kepemilikan lahan, akses pasar, akses keuangan dan akses pengetahuan hingga perubahan iklim menjadikan petani tidak memiliki pilihan dan menjadi rentan. Maka, pertanyaan selanjutnya apakah kendala-kendala struktural ini telah dijembatani atau mendapatkan ruang solusi yang adil bagi kepentingan petani. Apabila petani diberi tekanan untuk meningkatkan produksi beras, maka pertanyaan berikutnya adakah insentif dari negara bagi petani untuk hal tersebut, terutama apabila petani mengalami gagal panen.

Pertanyaan terakhir mengenai alat mesin pertanian. Apakah alat mesin pertanian tersebut dibutuhkan bagi petani skala kecil? Maka, dari rangkaian keseluruhan pertanyaan-pertanyaan di atas, penulis menyimpulkan pertanyaan terakhir dengan menggunakan sudut pandang petani: Apa yang dibutuhkan oleh petani untuk meningkatkan hasil panen yang dapat mempengaruhi peningkatan pendapatan petani?

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.