Teknologi Irigasi Nusantara: Dari Tarumanegara Hingga Banten

Infrastruktur desa berupa saluran irigasi. (dok. kemenkeu.go.id)

Oleh: Suryo Wiyono, Ketua Umum Gerakan Petani Nusantara

Bangsa nusantara mempunyai latar sejarah masa lalu yang gilang- gemilang. Ketika bangsa bangsa lain belum kenal pakaian dan tinggal di gua-gua, nenek moyang kita sudah menguasai teknologi tinggi. Salah satu tonggak peradaban bangsa nusantara adalah perkembangan teknologi irigasi. Perkembangan sistem irigasi berkaitan dengan pertanian.

Teknologi irigasi merupakan sesuatu yang kompleks yang membutuhkan perhitungan arsitektur dan teknik sipil yang mumpuni. Kita sekarang juga tahu perhitungan teknik yang tepat membutuhkan sains dasar matematika dan komputasi yang handal. Tulisan ini mencoba menghimpun perkembangan teknologi irigasi para pendahulu kita yang pernah berjaya.

Perkembangan teknologi irigasi di Nusantara mulai tercatat sejak zaman Tarumanegara pada abad 4-5 M. Raditya (2018) mengemukakan perkembangan irigasi zaman Tarumanegara, dimulai sejak era raja Purnawarman yang berkuasa sejak 397 M. Raja Purnawarman punya atensi besar terhadap sistem pengairan di kerajaan tersebut.

Berbagai proyek infrastruktur irigasi raksasa dilakukan pada zamannya. Kegiatan dalam periode tahun 410-419 yaitu mengeruk dan memperkuat tanggul Setu Gangga di Cirebon, memperkuat tanggul Sungai Cupu di Subang, membangun kanal Gomati di Sunda Kelapa, memperbaiki alur Sungai Citarum yang merupakan urat nadi Tarumanegara.

Sistem Irigasi Kadhiri, penemuan terbaru ditemukan saluran irigasi zaman Kadhiri. Sistem irigasi yang tahun 2017 ditemukan di daerah Brumbung, Kepung Kediri, juga dikenal dengan penemuan Prasasti Harinjing. Prasasti ini berisi tentang penganugerahan tanah perdikan kepada sang Bagawanta Bhari. Atas kehebatannya dalam membuat sebuah saluran irigasi yang kini dikenal dengan Sungai Serinjing. Sistem irigasi ini sangat maju dengan irigasi tertutup, berupa lorong-lorong air atau sistem irigasi bawah tanah.

Perkembangan teknik irigasi, mencapai kegemilangan pada masa Majapahit, yang merupakan kerajaan Nusantara yang bercorak agraris. Majalah Arkeologi Indonesia 20 Maret 2010 menyebutkan, pada masa itu, bendungan-bendungan (dawuhan) untuk keperluan pengairan dibangun atas perintah Bhatara Matahun demi kesejahteraan rakyatnya.

Sebagai contoh adalah adalah bendungan batu Kusmala untuk mengairi daerah sebelah timur Kadhiri sebagaimana disebutkan Prasasti Kandangan (1350 M). Yang banyak disebut adalah bendungan batu Kusmala untuk mengairi daerah sebelah timur Kadiri sebagaimana disebutkan Prasasti Kandangan (1350 M).

Pengairan di Majapahit juga diorganisasi secara teratur. Menurut Prasasti Jiwu (1486 M), air dialirkan ke sawah-sawah melalui saluran-saluran bertanggul (Susanto 2010). Selanjutnya Ratnawati (1991) menjelaskan, kemajuan sistem pengairan Majapahit, ditunjukkan oleh sisa-sisa peninggalannya, berupa waduk, kolam buatan, dan saluran air yang pada masa Majapahit dulu mungkin amat berperan dalam pertanian dan penanggulangan banjir.

Penemuan terkini yaitu 2019, di Dusun Sumberbeji, Desa Kesamben, Jombang, Jawa Timur, ini merupakan saluran air bersturuktur batu bata dengan tipe tertutup. Irigasi tertutup merupakan teknologi yang complicated dan canggih.

Pada zaman Kesultanan Mataram, Ki Gedhe Sebayu, mengembangkan dan merintis pertanian di Tegal dengan persawahan irigasi dengan membuat bendungan Kaligung dengan nama Bendungan Danawarih (Rochani 2005). Perkembangan selanjutnya, dengan keberhasilan pembangunan yang dilakukan oleh Ki Gede Sebayu beserta pengikut dan masyarakat sekitarnya dalam membendung Kaligung hingga menjadi sumber pengairan bagi pertanian di daerah sekitarnya yang kemudian disebut daerah Tegal. Perkembangan tersebut gaungnya sampai ke pusat kerajaan Mataram. Kemudian beliau ditetapkan oleh Panembahan Senopati dari Mataram menjadi Juru Demang setarap dengan Tumenggung di Kadipaten Tegal pada Rabu Kliwon tanggal 18 Mei 1601 M.

Perkembangan sistem irigasi di Kesultanan Banten dikupas secara mendalam oleh Wibisono (2013). Sultan Banten yaitu Sultan Ageng, menggunakan nama belakang “Tirtayasa” yang berarti sang pembangun sistem air. Terusan dari Tanara-Pasilihan (Cimanceuri) lewat Balaraja dan Pasilihan–Cisedane dibuat pada tahun 1663, kemudian dilanjutkan dengan pembuatan bendungan pada tahun 1664. Sayangnya, tidak disebutkan dimana bendungan tersebut dibuat.

Tahap berikutnya dilakukan pembangunan terusan dari Pontang–Tanara, mengubah tanah terlantar menjadi sawah (mengerahkan 16 ribu orang), mulai dari Tanjung (panjang 9 km, lebar 6 m, dalam 4 m). Pada tahun 1675, dibangun bendungan Sungai Pontang (Ciujung), membelok ke arah Terusan Tirtayasa untuk mengairi sawah. Pada akhirnya, tahun 1677 Sultan Ageng Tirtayasa membangunkanal di sekitar Keraton Tirtayasa, untuk membuat perbentengan kota.

Rangkaian sejarah perkembangan teknologi irigasi ini menunjukkan, bangsa kita punya sejarah sains, teknologi dan budaya yang tinggi. Bahkan merupakan pusat peradaban dunia. Bangga menjadi bangsa Indonesia. Kejayaan lalu untuk masa depan yang gemilang. Menuju Nusantara Jaya. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.