Tiga Cara Perusahaan Kendalikan Deforestasi Pada Rantai Suplai

Upaya pemadaman kebakaran hutan di Riau (dok. greenpeace)
Upaya pemadaman kebakaran hutan di Riau (dok. greenpeace)

Oleh: Aditi Sen, Penasihat Kebijakan Perubahan Iklim, Oxfam Amerika

Kebakaran hutan di Indonesia yang saat ini tengah terjadi merupakan sebuah tamparan keras bagi kita semua bahwa masih banyak hal yang harus dilakukan untuk membuat perusahaan mematuhi komitmen nol deforestasi mereka. Pekan lalu, saya berada di Singapura bersama perusahaan barang konsumsi, pedagang dan grup hijau mendiskusikan bagaimana bisnis bisa mengatasi deforestasi yang diciptakan oleh komoditas.

Ironisnya kabut asap tebal yang disebabkan kebakaran hutan di Indonesia mencekik kota tersebut. Kabut asap yang merupakan hasil dari kebakaran hutan yang tujuannya untuk membersihkan lahan untuk menanam kembali khususnya tanaman saweit dan pohon untuk bubur kertas mungkin menjadi yang terburuk dalam sejarah.

Sementara beberapa perusahaan termasuk dalam grup “Behind The Brand” (dibalik Merek) di lingkup Associated British Foods (ABF) telah berkomitmen untuk bebas deforestasi dalam rantai suplainya, kabut asap ini menjadi pengingat bahwa komitmen itu masih harus diterjemahkan lagi menjadi kenyataan. Perkembangan cepat perkebunan sawit, pulp and paper di hutan Indonesia dan lahan gambut telah membuat Indonesia menjadi penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca.

Penghancuran yang tak terkendali atas hutan Indonesia ini tidak hanya berdampak pada orangutan tetapi juga membawa konsekuensi sosial dimana lebih dari seperempat populasi Indonesia bergantung pada hutan secara langsung maupun tidak lansung.

Jadi apa lagi yang harus dilakukan agar perusahaan bisa diyakinkan bahwa rantai pasokannya dalam memproduksi “kenikmatan penuh dosa” semacam cokelat dan keripik adalah benar-benar bebas deforestasi? Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh perusahaan untuk itu.

Pertama adalah Keterlacakan. Sawit berasal dari sekumpulan rantai pedagang, penyuling dan pekebun yang sangat kompleks. Bagi perusahaan besar untuk meyakinkan rantai pasokannya bebas deforestasi mereka harus menjamin bahwa semua pemasok mereka dimananpun berada tidak menyebabkan kerusakan hutan dan memiliki sistem untuk melacak barang-barang itu kembali ke perkebunan untuk diverifikasi.

Sejauh ini hanya empat perusahaan di kelompok Behind the Brand–Danone, Kellogg, Nestle dan Pepsi Co– yang memiliki kebijakan berkomitmen pada keterlacakan hingga ke level perkebunan.

Kedua, petani skala kecil harus dilibatkan. Mempertimbangkan bahwa petani/pekebun skala kecil menguasai 40% lahan yang ditanami sawit, mereka perlu untuk menjadi bagian dari perjalanan berkelanjutan. Faktanya panen mereka sangat sangat rendah dalam menciptakan tekanan berikut pada perusakan hutan untuk membangun perkebunan. Membalik insentif sesat ini akan membutuhkan investasi agar menungkinkan pekebin skala kecil meningkatkan kapasitas produksinya sementara memaksimalkan efisiensi dari kebin yang ada dan menegaskan pemberian harga dan kontrak yang adil.

Ketiga, standar yang jelas untuk mengindentifikasikan hutan mana yang harus dilindungi– tujuan dari nol deforestasi adalah untuk melindungo hutan yang menyimpan cadangan karbon yang besar (High Carbon Stocks–HCS). Bagaimanapun, saat ini masih bisa diperdebatkan bagaimana cara hutan tersebut bisa diidentifikasi.

The Roundtable of Sustainable Palm Oil (RSPO), tidak benar-benar memiliki standar untuk menentukan wilayah hutan yang memiliki HCS, saat ini punya kesempatan untuk meningkatkan diri dengan cara mengambil elemen terbaik dari berbagai metode penentuan HCS untuk mengembangkan kerangka kerja penggunaan lahan yang komprehensif yang menyediakan panduan yang jelas soal hutan mana yang bisa dibangun menjadi perkebunan dan yang mana yang harus dilestarikan. Kerangka kerja ini harus diletakkan pada beragam nilai lingkungan dan sosial dari ekosistem hutan menyediakan sekaligus menyakinkan hak-hak dan penghidupan petani skal kecil dan komunitas lokal ikut dijaga.

Sementara impelementasi dari nol deforestasi masih menjadi tantangan, Saya juga merasakan rasa optimis luasnya transformasi di seluruh rantai suplai minyak sawit. Saat ini tidak hanya perusahaan besar yang berkomitmen untuk mengambil minyak sawit dari sumber yang tidak merusak hutan. Pedagang besar semacam ADM, Bunge, Cargill dan Wilmar memiliki komitmen serupa.

Tanda-tanda yang meyakinkan bagi saya adalah produsen minyak sawit terkemuka dalam diskusi di Singapura dalam banyak cara telah berupaya mengimplementasikan komitmen itu. Para produsen ini bersama Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) telah menandatangani sebuah persetujuan yang dinamakan-–the Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP)– yang tidak hanya menekankan komitmen kuat mereka pada praktik berkelanjutan di dalam perusahaan tetapi juga melibatkan peran aktif pemerintah dalam reformasi kebijakan.

Namun masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan di lapangan–inilah saatnya kita membersihkan bencana kabut asap. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.