Jadi TKI Vs Jadi Petani
|Sumba Timur, Villagerspost.com – Seberuntung-beruntungnya mereka yang sukses menjadi tenaga kerja di luar negeri, tetap tak lebih baik dari mereka yang memilih mengolah tanah di kampung halamannya sendiri sebagai petani. Begitulah kira-kira inti dari diskusi interaktif yang dihelat radio Max FM, Waingapu, Sumba Timur, NTT, baru-baru ini.
Dialog yang mengusung tema “Kerjasama Lintas Kabupaten di NTT dalam Memerangi Tindak Pidana Perdagangan Orang” menghadirkan dua nara sumber dari dua kabupaten yaitu Bupati Timor Tengah Utara (TTU) Raymundus Sau Fernandes S.Pt., dan Wakil Bupati Sumba Timur Umbu Lili Pekuwali. S.T. M.T. Dalam dialog itu, Ray Fernandes mengatakan, sebagai pemerintah daerah, dia bukan melarang kepada warga yang ingin bekerja jadi TKI atau TKW. “Namun harus melalui prosedur yang benar,” ujarnya.
Ray mengingatkan, jangan hanya karena tergiur dengan janji muluk dan gaji besar lalu menempuh jalan pintas. “Seperti memalsukan identitas, lewat calo dan perusahaan tenaga kerja yang tidak resmi. Padahal pemerintah sudah menyiapkan segalanya, agar warga tidak terjebak setelah berada di luar atau hendak berangkat jadi TKI atau TKW,” ujarnya.
Lebih lanjut, pengusaha ternak untuk kawasan Pulau Timor ini memaparkan, seringkali banyak kasus yang menimpa pada para TKW atau TKI berupa perlakuan buruk dari majikannya di luar, kemudian pulang kampung dalam kondisi yang menyedihkan. “Ini akibat jalan pintas yang ditempuh, bukan melalui perusahaan jasa tenaga kerja yang resmi. Lalu SDM pun tidak dimilikinya,” papar bupati yang sukses mencetuskan program padat karya pangan di wilayahnya itu.
“Sekarang kan seolah lebih mentereng dengan label kerja di luar negeri walau memaksakan diri, ini yang keliru. Padahal sebaiknya jadi petani lebih mulia,” tegas Ray Fernandes.
Dengan begitu, kata dia, risiko menjadi korban perdagangan manusia bisa dikurangi. “Trafficking atau penjualan orang seringkali terjadi, namun hal ini merupakan tugas kita semua dari berbagai elemen masyarakat untuk mengingatkannya,” ujarnya.
Video/Teks: Rahmat Adinata, Petani Organik, Anggota Gerakan Petani Nusantara NTT