Nasabah dan Greenpeace Beri Cek Stop Rusak Hutan Indonesia ke HSBC Kuala Lumpur
|



Kuala Lumpur, Villagerspost.com – Beberapa nasabah asal Malaysia hari ini, Selasa (14/2) menyerahkan “cek raksasa” senilai 228.434 orang yang menandatangani petisi, guna mendesak HSBC berhenti mendanai kebakaran hutan di Indonesia, kepada pihak HSBC di Kuala Lumpur Malaysia. Nasabah itu bergabung dengan aktivis Greenpeace dan lembaga masyarakat sipil Malaysia, Pertubuhan Pelindung Khazanah Alam Malaysia (PEKA), dalam aksi yang dilakukan di Kantor Pusat HSBC di Kuala Lumpur.
Aksi ini adalah bagian aksi global yang menyoroti keterlibatan bank terbesar di Eropa ini dalam memfasilitasi pendanaan sebesar US$16,3 miliar kepada berbagai perusahaan kelapa sawit yang dalam operasinya telah menghancurkan kawasan hutan hujan, lahan gambut, habitat orangutan, merampas tanah masyarakat setempat, beroperasi tanpa izin yang sah, serta menyebabkan kebakaran hutan.
“Kami mengajak para nasabah untuk bergabung dalam gerakan mendesak HSBC berhenti mendanai perusakan hutan. Dalam lima tahun terakhir saja, HSBC telah menjadi bagian dari sindikasi bank yang memfasilitasi pinjaman senilai US$ 16,3 miliar pada enam perusahaan yang dalam operasinya telah merusak kawasan hutan hujan, lahan gambut dan habitat orangutan di Indonesia,” ujar Octyanto Bagus Indra Kusuma, Jurukampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara.
Greenpeace Internasional baru-baru ini mempublikasi laporan “Dirty Bankers”, mendokumentasikan layanan pinjaman dan finansial dari HSBC ke perusahaan-perusahaan yang bertanggung jawab untuk:
– Merusak hutan hujan, termasuk habitat orangutan
– Merampas tanah masyarakat setempat
– Beroperasi tanpa izin yang sah
– Melakukan penindasan terhadap pekerja dan menggunakan tenaga kerja anak
– Kebakaran hutan
– Mengeringkan dan mengolah lahan gambut yang kaya karbon
Deforestasi dan perusakan lahan gambut di sektor kelapa sawit dan kertas ditengarai menjadi salah satu penyebab utama kebakaran hutan dan asap. Sebuah penelitian dari Universitas Harvard dan Universitas Columbia memperkirakan lebih dari 100.000 orang dewasa di kawasan Asia Tenggara mengalami kematian dini akibat krisis asap tahun 2015.
Banyak dari bukti yang dipaparkan ini merupakan pelanggaran hukum dan regulasi yang mengatur sektor perkebunan di Indonesia. Meminjamkan dana bagi perusahaan-perusahaan itu juga merupakan pelanggaran terhadap kebijakan berkelanjutan HSBC itu sendiri. Dukungan finansial yang disediakan oleh HSBC dan bank internasional lainnya bertolak belakang dengan keinginan masyarakat serta perusahaan konsumen yang meminta adanya praktek produksi minyak kelapa sawit yang bertanggung jawab.
Tahun lalu IUCN mengubah klasifikasi orangutan Borneo dari “terancam” menjadi “terancam secara kritis” (critically endangered), mengutip perusakan, degradasi dan fragmentasi habitan mereka –termasuk konversi menjadi perkebunan—sebagai salah satu alasan utama turunnya populasi orangutan.