Petani Batang Kembali Protes Pembangunan PLTU
|



Jakarta, Villagerspost.com – Para perwakilan petani dan pemilik lahan yang tergabung dalam Paguyuban Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, Roban (UKPWR) Batang, hari ini, Senin (5/12) menyambangi kantor Japan Bank International Cooperation (JBIC). Ke-15 orang perwakilan petani Batang itu, datang untuk melakukan protes atas masih diteruskannya proyek PLTU Batang yang akan menggusur lahan-lahan subur milik mereka.
Dalam aksi protes yang dilakukan bertepatan dengan peringatan Hari Tanah Internasional itu, para petani juga menyerahkan sejumlah laporan kerugian yang mereka alami pasca penutupan akses lahan pertanian mereka, kepada bank yang menjadi investor pembangunan PLTU Batang tersebut. Selepas itu, mereka bergerak menuju Kedutaan Besar Jepang untuk meminta kepada Pemerintah negara tersebut agar menghentikan investasi kotornya di Batang.
“Kami telah mengkomunikasikan berbagai pelanggaran HAM yang dialami warga selama 5 tahun ini, tetapi pihak JBIC tidak bergeming dan tetap saja melanjutkan dukungannya,” ucap juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Didit Haryo, dalam kesempatan tersebut.
Untuk diketahui, PLTU batubara Batang akan dibangun di kawasan pertanian subur seluas 226 hektare, dan kawasan perairan Ujungnegoro-Roban yang merupakan salah satu kawasan tangkap ikan paling produktif di Pantai Utara Jawa. Menyusul penandatanganan persetujuan pendanaan PLTU Batang oleh JBIC (Japanese Bank for International Cooperation) pada tanggal 6 Juni 2016 lalu, Paguyuban UKPWR telah melakukan beberapa kali aksi menolak pembangunan megaproyek energi kotor ini.
Hingga saat ini, masih ada puluhan pemilik lahan yang menolak menjual lahan mereka untuk pembangunan proyek energi kotor ini. Demi memuluskan proses pembebasan lahan, Pemerintah lantas menerapkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang pengadaan lahan bagi pembangunan untuk kepentingan publik. Penerapan UU ini membuat masyarakat kehilangan hak atas tanah mereka, meskipun mereka menolak untuk melepas lahan pertanian mereka.
PLTU Batang direncanakan menjadi salah satu PLTU batubara terbesar yang akan dibangun di Asia Tenggara dengan kapasitas sebesar 2000 MW. Dalam proses pembebasan lahannya, berbagai pelanggaran HAM terjadi, mulai dari intimidasi terhadap warga setempat, sampai kriminalisasi terhadap pemilik lahan yang menolak menjual lahan pertanian mereka.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI telah mengeluarkan beberapa surat rekomendasi yang menyatakan bahwa proyek ini telah melanggar hak-hak dasar warga UKPWR. “Industri batubara di Indonesia terus mendapat dukungan Pemerintah mulai dari jaminan lahan sampai jaminan finansial yang menggiurkan pihak investor. Pemerintah telah mengacuhkan bahwa PLTU batubara ini mengeluarkan emisi beracun yang mengancam kesehatan masyarakat di setiap detik pengoperasiannya,” tegas Didit. (*)
Ikuti informasi terkait PLTU Batang >> di sini <<