Agroekologi: Menata Jalan Lurus Mewujudkan Kedaulatan Pangan

Kepala Departemen Produksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB Dr. Ir. Suryo Wiyono memberikan sambutan di acara seminar "Agroekologi Nusantara" (dok. villagerspost.com)
Kepala Departemen Produksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB Dr. Ir. Suryo Wiyono memberikan sambutan di acara seminar “Agroekologi Nusantara” (dok. villagerspost.com)

Bogor, Villagerspost.com – Pendekatan pembangunan pertanian saat ini, dinilai tidak memperhatikan aspek keberlanjutan. Pertanian yang menitikberatkan pada menggenjot produksi dengan menggunakan pupuk, pestisida, insektisida dan obat-obatan kimia, justru malah mengancam produksi dan ketersediaan pangan. Penggunaan input pertanian pupuk, pestisida, herbisida sintetis yang tidak tepat secara berlebihan dan terus menerus, telah menyebabkan kerusakan ekosistem pertanian.

Wakil Dekan Fakultas Pertanian Bidang Sumberdaya, Kerjasama dan Pengembangan Dr. Ir. Suwardi mengatakan, penggunaan bahan-bahan kimia dalam pertanian ini, memang punya latar belakang tersendiri. Itu terkait dengan perkembangan jumlah penduduk Indonesia yang pesat.

“Di tahun 1960, penduduk Indonesia berjumlah 80 juta orang, sama dengan penduduk Jepang. Namun 50 tahun kemudian di tahun 2010, penduduk Indonesia sudah meningkat 3 kali lipat menjadi 240 juta, sementara Jepang hanya meningkat 1,5 kali yaitu 120 juta penduduk,” kata Suwardi dalam sambutannya pada acara seminar “Agroekologi Nusantara” yang diselenggarakan di kampus IPB, Bogor, Selasa (29/11).

Ledakan penduduk ini, akhirnya membuat upaya peningkatan hasil pertanian berkembang luar biasa pesat lewat penggunaan pupuk, insektisida, herbisida kimia. “Produksi pertanian meningkat, tetapi ada dampak luar biasa bagi tanah, karena input kimia dapat menyebabkan kerusakan tanah, produksi pun lama-lama tidak bisa meningkat secara signifikan. Penggunaan imput kimia juga menyebabkan hama penyakit,” kata Suwardi.

Kepala Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr. Ir. Suryo Wiyono mengatakan, hal tersebut tentu saja bisa mengancam cita-cita swasembada dan dan kedaulatan pangan seperti yang tercantum dalam Nawa Cita pemerintahan Jokowi-JK. Apalagi diperberat dengan dampak yang ditimbulkan perubahan iklim. Produksi pertanian terus berfluktuasi yang berujung pada maraknya impor. Pada tahun 2014 saja tercatat 18 juta ton atau setara dengan US$7,6 miliar Indonesia mengimpor tanaman pangan.

Karena itu, untuk menjawab persoalan tersebut pendekatan agroekologi atau pendekatan pertanian yang selaras dengan alam, bisa menjadi alternatif model pembangunan pertanian ke depan. Agroekologi menjadi alternatif yang mengedepankan aspek keberlanjutan dan keadilan bagi lingkungan dan petani. “Negara-negara maju semisal Prancis, Jerman dan beberapa negara Amerika latin telah menerapkan model ini dan terbukti mampu menjawab kebutuhan pangan dan meningkatkan kesejahteraan petani,” ujar Suryo.

Sayangnya agroekologi tidak dipilih menjadi kebijakan karena dianggap tidak memiliki produkitivitas tinggi. Hal inilah yang mendasari dilaksanakannya seminar “Agroekologi Nusantara” dengan tema “Agroekologi Jalan Lurus Kedaulatan Pangan” yang diselenggarakan oleh Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB, Direktorat Kajian Strategis Kebijakan Pertanian (KSKP), dan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP).

Suryo Wiyono, yang juga menjadi ketua panitia seminar ini mengatakan, kebanyakan masyarakat, termasuk para ahli dan pengambil kebijakan menganggap antara produktivitas tanaman dan kelestarian lingkungan itu berhadap-hadapan alias tak bisa bersinergi. “Seolah-olah produksi yang tinggi harus dilakukan dengan cara yang tidak ramah lingkungan, dan sebaliknya kalau praktik ramah lingkungan itu produksinya rendah. Anggapan tersebut bertentangan dengan hasil penelitian dan fakta di lapangan,” ujarnya.

Ada hubungan resiprokal antara pertanian dan lingkungan. Pertanian bisa berdampak positif atau negatif terhadap lingkungan, tergantung praktik yang digunakan. Di sisi yang lain, lingkungan yang baik merupakan prasyarat bagi produktivitas pertanian tanaman yang tinggi dan berkelanjutan.

Suryo mengungkapkan, penelitian dan pengalaman lapangan di Departemen Proteksi Tanaman Faperta IPB selama 10 tahun terakhir menunjukkan hal itu. Penggunaan pestisida kimia insektisida kimia sintetik yang salah dan berlebihan pada tanaman padi justru telah memacu ledakan wereng coklat di berbagai daerah. Penggunaan herbisida yang masif akhir-akhir ini oleh petani sangat berkaitan dengan epidemi penyakit blas.

Salah satu bentuk penerapan prinsip agroekologi yang dikembangkan Proteksi Tanaman IPB yaitu Teknologi Pengendalian Hama Terpadu Biointensif padi sawah yang sudah diuji di 19 lokasi. “Teknologi ini menurunkan penggunaan pupuk kimia, mengurangi pestisida 100 persen dan meningkatkan produksi padi rata-rata 27 persen,” terang Suryo.

Pada kesempatan yang sama, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah mengatakan, Nawa Cita mengamanatkan perwujudan kedaulatan pangan. Agroekologi merupakan jalan untuk mewujudkannya karena menjadi salah satu pilar kedaulatan pangan. “Agroekologi mengusung nilai-nilai keberagaman, keberlanjutan dan juga keadilan dalam pembangunan pertanian dan hal ini yang belum nampak,” kata Said.

Menurutnya agroekologi merupakan bentuk produksi pertanian yang memungkinkan terjadinya proses mengatur dan membangun komunitas untuk menentukan nasib sendiri. Agroekologi mensyaratkan masyarakat memiliki akses dan kontrol terhadap sumber daya lokal seperti tanah, air dan benih. “Tujuan agroekologi adalah untuk mencapai lingkungan yang seimbang dengan hasil yang berkelanjutan, didukung regulasi dan desain diversifikasi agroekosistem dan penggunaan teknologi rendah input,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian IPB Dodik Ridho Nurrochmat mengatakan, agroekologi haruslah menjadi paradigma bersama semua sektor dan menjadi arus utama dalam kebijakan pembangunan. “Egoisme sektoral harus dipinggirkan karena pencapaian kedaulatan pangan melalui agroekologi memerlukan dukungan dan sinergitas antar sektor, mulai dari memastikan kecukupan lahan, bibit unggul, saprotan, pasca panen, sampai dengan aspek pemasaran dan kesiapan sumberdaya manusia,” ujarnya.

Adapun Guru Besar Fakultas Pertanian IPB Prof. Damayanti Buchori mengingatkan, agroekologi saat ini telah menjadi tuntutan. Negara-negara maju telah membuat kebijakan dan mengimplementasikan agroekologi. “Di Indonesia perlu dilakukan mainstreaming hal ini dan ini menjadi kewajiban semua pihak untuk melakukannya sebagai bagian upaya memajukan pertanian di Indonesia. Sebab pertanian menjadi sendi kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujarnya.

Indonesia harus mampu merumuskan konsep agroekologinya sendiri berdasarkan keragaman nilai dan ekosistem, falsafah dan praktik-praktik pertanian tradisional nusantara. “Dengan seminar agroekologi ini diharapkan akan muncul sebuah gagasan, arah dan langkah baru dalam mendorong pembangunan pertanian masa depan yang mampu mensejahterakan petani dan melestarikan lingkungan hidup serta mewujudkan kedaulatan pangan di Indonesia,” kata Damayanti.

Ikuti informasi terkait agroekologi >> di sini <<

Laporan: Tim Jurnalis Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP)

Facebook Comments
2 Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.