Anak Muda Kota Bogor: Pemerintah Harus Prioritaskan Sektor Pertanian

Petani memanen padi di sawah (dok. litbang.pertanian.go..id)

Bogor, Villagerspost.com – Survei yang dilakukan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) terhadap anak-anak muda di Kota Bogor, tidak hanya mengukur persepsi terkait penting tidaknya sektor pertanian dalam pandangan mereka. Survei ini juga mengukur persepsi mereka terhadap kebijakan pemerintah terhadap sektor pertanian dan terkait masalah kesejahteraan petani.

Dari survei itu terungkap, anak-anak muda Kota Bogor setuju bahwa pemerintah harus memprioritaskan kebijakan sektor pertanian. Dari hasil survei terungkap, sebanyak 98 responden (54,4%) menyatakan sangat setuju pemerintah harus memprioritaskan kebijakan sektor pertanian. Sejumlah 73 responden lainya (40,6%) menyatakan setuju. Persepsi terendah adalah sangat tidak setuju dimana hanya 2 responden (1,1%) yang menyatakan demikian.

Terkait pembangunan pertanian, Hariadi Propantoko, salah seorang peneliti KRKP yang terlibat dalam survei ini mengatakan, dalam data BPS 2007 tercatat penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian lebih dari 50 juta. “Angka itu mengalami penurunan pada tahun 2017 menjadi 37,7 juta yang mana diantaranya 26 juta rumah tangga bekerja sebagai petani dan 14 juta diantaranya adalah petani pangan,” kata pria yang akrab disapa Ropan tersebut.

Ropan menyatakan, petani menggantungkan hidupnya pada bidang pertanian dan harus mendapatkan hak prioritas dari pemerintah agar petani yang bekerja mendapatkan dan merasakan secara nyata dukungan dari pemerintah. “Sebagai negara agraris, Indonesia sudah seharusnya memfokuskan pada sektor pertanian agar hasil petani bisa meningkat dan juga memenuhi kebutuhan pangan di negara sendiri,” ujarnya kepada Villagerspost.com, Sabtu (19/5).

Dari data yang tersaji atas persepsi pemuda tersebut menguatkan bahwa prioritas pemerintah sangat dibutuhkan dalam rangka menjaga kelangsungan ketersediaan pangan. Dalam hal ini pemerintah periode 2014-2019 telah mencanangkan 9 prioritas program yang dinamakan “Nawa Cita”. Hal tersebut dapat dilihat dari program prioritas pemerintah yang tertulis:

a) Pencanangan 1.000 desa berdaulat benih hingga tahun 2019,
b) Peningkatan kemampuan petani baik berupa organisasi tani dan pola hubungan pemerintah,
c) Pembangunan irigasi, bendungan, sarana jalan dan transportasi, serta pasar dan kelembagaan pasar secara merata. Rehabilitasi jaringan irigasi yang rusak terhadap 3 juta ha pertanian dan 25 bendungan hingga tahun 2019,
d) Peningkatan pembangunan dan aktivitas ekonomi pedesaan yang ditandai dengan peningkatan investasi dalam negeri sebesar 15 persen per tahun dan rata-rata umur petani dan rakyat Indonesia yang bekerja di pedesaan semakin muda.

Menurut Ropan, kondisi pemerintah saat ini masih sulit untuk memfokuskan atau memprioritaskan pada satu sektor saja. Pada dasarnya, pemerintah mempunyai wewenang yang krusial terhadap kebijakan di semua sektor. “Di sisi lain kondisi pemerintahan saat ini terhadap sektor pertanian tidak dapat dikatakan sepenuhnya anomali, hanya saja pergerakannya sedikit lebih lamban dari semua program yang telah dicanangkan dalam Nawa Cita,” paparnya.

Sektor lain di luar pertanian, kata Ropan, mengalami gerakan signifikan yang bisa menjadi pembanding untuk perkembangan di sektor lainnya. “Misalnya, sektor infrastruktur dan pariwisata mengalami perkembangan yang perubahannya dapat dinikmati dan terasa oleh masyarakat perkotaan maupun pedesaan pada masa pemerintahan ini,” ujarnya.

Anak-anak muda Kota Bogor umumnya menyatakan setuju pemerintah harus memprioritaskan pembangunan pertanian. Lantas apakah menurut mereka pemerintah telah memprioritaskan sektor pertanian dalam kebijakannya? Hasil survei mengungkapkan, umumnya responden menegaskan pemerintah belum memprioritaskan sektor pertanian.

Hal ini tampak dari pernyataan 76 responden (42,2%) yang menyatakan tidak setuju pemerintah telah memprioritaskan sektor pertanian menunjukkan. Kemudian ada 16 responden (8,9%) yang menegaskan sangat tidak setuju. Selanjutnya persentase imbang yakni 21,1 persen dalam kategori ‘ragu-ragu’ dan ‘setuju’ dan persentase terendah adalah 6,7 persen dalam persepsi ‘sangat setuju’.

“Hal tersebut dapat menjadi suatu tolak ukur, responden pemuda di Kota Bogor tidak merasakan pemerintah telah menjadikan sektor pertanian sebagai prioritas,” kata peneliti KRKP Widya Hasian.

Widya memaparkan, selama empat tahun terakhir, APBN untuk sektor pertanian memang mengalami penurunan. Pada tahun 2015-2018 APBN dalam sektor pertanian menurun dengan ritme penurunan yang teratur dan tidak terlihat signifikan namun sangat terasa.

Pada tahun 2006 APBN dana pertanian sebesar Rp27,58 triliun, dan turun sebesar 13,34 persen pada tahun 2017 yakni menjadi Rp23,90 triliun. Sedangkan tahun 2018 mengalami sedikit penurunan yakni Rp23,82 triliun.

Tentu penyusunan ini merujuk pada Strategi Induk Pembangunan Pertanian (SIPP) 2015-2045, pembangunan sektor pertanian dalam lima tahun ke depan (2015-2019) akan mengacu pada Paradigma Pertanian untuk Pembangunan (Agriculture for Development) yang menunjukkan bahwa sektor pertanian menjadi penggerak untuk transformasi pembangunan yang diharapkan menyeluruh serta berimbang yang mencakup transformasi demografi, ekonomi, intersektoral, spasial, institusional, dan tata kelola pembangunan.

Dalam RENSTRA 2015-2019 Kementerian Pertanian telah menyusun dan melaksanakan 7 Strategi Utama Penguatan Pembangunan Pertanian untuk Kedaulatan Pangan (P3KP) meliputi :

1. Peningkatan ketersediaan dan pemanfaatan lahan,
2. Peningkatan infrastruktur dan sarana pertanian,
3. Pengembangan dan perluasan logistik benih/bibit,
4. Penguatan kelembagaan petani,
5. Pengembangan dan penguatan pembiayaan,
6. Pengembangan dan penguatan bioindustri dan bioenergi,
7. Penguatan jaringan pasar produk pertanian.

“Namun, permasalahan pertanian hingga kini masih saja sama dan mungkin memburuk dalam beberapa aspek permasalahan,” tegas Widya.

Mengutip penelitian Surono et al (2011), permasalahan pertanian yang dirasakan hingga masa sekarang diantaranya adalah:

1. Sistem Go Digital yang belum adanya terobosan mapan dan dapat dilakukan secara berkelanjutan untuk semua kalangan,
2. Menyusutnya areal sawah, fenomena ini menunjukkan masyarakat Indonesia sudah tidak terlalu mengandalkan sektor pertanian sebagai sistem untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya dalam hal mencari nafkah,
3. Kualitas sumber daya alam lahan dan air yang semakin memburuk dari masa ke masa,
4. Ketersediaan air irigasi yang semakin mengurang,
5. Teknologi budidaya masih didominasi lahan beririgasi,
6. Efisiensi ekonomi dan keunggulan komparatif usaha tani padi masih rendah,
7. Lemahnya bahkan tidak tersedianya Lembaga Keuangan Pedesaan,
8. Teknologi paska panen dan pengolahan tertinggal dan berdampak pada efisiensi,
9. Kebijaksanaan bias pada padi sebagai komoditas publik,
10. Kemandirian petani masih lemah,
11. Kelembagaan pertanian di pedesaan masih lemah, walaupun ada beberapa desa di Indonesia sudah mulai kuat,
12. Diversifikasi pola usaha tani masih melemah.

“Hal yang perlu dikritisi adalah jika pertanian masih belum diprioritaskan oleh pemerintah apakah situasi ini dapat mendorong semua pihak di luar sektor pertanian untuk tidak mengingkari bahwa Indonesia adalah negara agraris, atau mungkin sekarang mantan negara agraris yang sedang kebingungan untuk mencari cara berdiri dan sejahtera di lahan sendiri?” kata Widya.

Padahal di sisi lain rencana pemerintah sudah terlihat mengarah namun belum terasa keberpihakannya terhadap sektor pertanian. “Hal ini menjadi indikasi permasalahan sektor pertanian belum atau bahkan tidak bisa lagi menjadi prioritas pemerintah. Kebijakan yang dibuat pun masih belum menyasar untuk kebutuhan petani,” tambahnya.

Awal 2018, subsidi pupuk mendapatkan keluhan memilukan dari para petani seperti permasalahan harga pupuk tidak sesuai dengan kebijakan, subsidi pupuk mengalami kekurangan sampai keluhan karena kebijakan tersebut dirasa membawa kepentingan politis, ini seperti masalah klasik yang kerap terulang kembali. Seperti yang pernah dilakukannya audit sosial pupuk bersubsidi di Kabupaten Maros yang diselenggarakan oleh Perkumpulan KATALIS dan KRKP yang bekerja sama dengan OXFAM bahwa Harga Eceran Tertinggi Pupuk itu Rp90 ribu namun petani membeli dengan harga Rp110 ribu-Rp120 ribu. “Pada akhirnya petani merasa dirugikan oleh kebijakan tersebut,” ujar Widya.

Survei yang digarap KRKP ini selain memetakan persepsi terhadap pemerintah terkait kebijakan pemerintah di sektor pertanian, juga berupaya mencari gambaran terkait persepsi anak muda kota Bogor terhadap sosok petani. Dari hasil survei diketahui, sebanyak 97 orang responden (53,9%) responden menjawab setuju jika petani tidak harus kotor, lusuh, jorok dan bau dalam pekerjaannya sebagai petani yang identik dengan jati diri dari petani yang sering dianggap bahwa petani itu kotor, lusuh dan jorok karena berkaitan erat dengan sawah.

Responden mengatakan, telah banyak perguruan tinggi yang memiliki inovasi-inovasi baru dalam bidang pertanian sehingga membuat produksi pertanian semakin efektif dan efisien. Mekanisasi juga berperan penting dalam proses tersebut sehingga sangat mungkin jika pertanian sekarang menjadi pertanian yang jauh dari kata kotor dan jorok.

Hal yang sama juga terjadi pada persepsi mereka tentang kepemilikan barang mewah di kalangan petani. Sebanyak 115 orang responden (63,9%) responden setuju jika petani dapat memiliki barang mewah seperti handphone, mobil, dan rumah mewah. Responden beranggapan jika semua orang berhak memilih apa yang akan dia miliki termasuk barang-barang mewah tersebut.

“Semua anggapan tersebut mungkin tidak sejalan dengan keadaan sekarang bahwa pertanian masih berkaitan erat dengan pertanian yang menggunakan teknologi tradisional,” kata peneliti KRKP Versanuddin Hekmatyar.

Dia menegaskan, hal itu mungkin dapat terjadi jika Indonesia menerapkan pertanian presisi yaitu menggunakan pendekatan dan teknologi yang memungkinkan perlakukan presisi pada setiap simpul proses pada rantai bisnis pertanian dari hulu ke hilir sesuai kondisi (lokasi, waktu, produk, dan konsumen) spesifik yang dihadapi. Pada sisi hulu contoh sistem produksi pertanian presisi adalah dengan menghitung dosis yang tepat pada penyemprotan gulma yang ditentukan sesuai dengan populasi gulma yang dihitung secara real-time dengan menggunakan sensor kamera yang ditempatkan pada traktor tangan yang dioperasikan di lahan.

“Akan tetapi penggunaan teknologi tersebut tampaknya lebih cocok digunakan untuk pertanian dengan skala besar. Hal ini berbanding terbalik dengan rata-rata kepemilikan lahan petani di Indonesia saat ini yang didominasi oleh kepemilikan di bawah 1 hektare,” tegas Versa.

Keuntungan yang diperoleh dari efisiensi pengolahan lahan dengan sistem produksi presisi tersebut tentunya dapat memberikan pemasukan yang jauh lebih tinggi karena modal input yang lebih efisien. “Kondisi ideal yang menjanjikan ini menjadikan petani sangat mungkin menjadi jauh lebih sejahtera dari sisi ekonomi dan sangat memungkinkan petani dapat menguasai aset-aset mewah,” ujar Versa.

Terkait pendidikan, hasil survei mengungkapkan, persepsi tentang pendidikan petani di Indonesia umumnya adalah rendah dan usia petani di Indonesia tergolong tua. Sejumlah 74 responden (41,1%) menyatakan setuju bahwa pendidikan petani di Indonesia umumnya rendah. Kemudian 86 orang responden (47,8%) menyatakan usia petani umumnya tua.

Meski demikian, ada jumlah responden yang cukup signifikan yang menegaskan pendidikan petani tidaklah rendah dan petani umumnya tidak berusia tua. Sejumlah 48 responden (26,7%) menyatakan tidak setuju bahwa petani umumnya berpendidikan rendah. Kemudian ada sejumlah 52 responden (28,9%) yang menyatakan tidak setuju bahwa umumnya petani berusia tua.

“Mereka beranggapan Indonesia memiliki mahasiswa yang menjalankan studi di fakultas pertanian dan melihat realita yang ada jika banyak mahasiswa yang mulai bergerak dalam bidang pertanian meskipun hanya bertani dalam skala kecil,” kata peneliti KRKP Wahyu Ridwan Nanta.

Meski begitu, kata Nanta, persepsi bahwa petani itu berpendidikan rendah dan berusia tua memang sejalan dengan data yang dikemukakan oleh KRKP (2015). “Berdasarkan data sensus pertanian yang sudah diolah diketahui, sejumlah 74,4 persen pendidikan petani di Indonesia adalah sekolah dasar sedangkan petani yang memiliki pendidikan hingga Perguruan Tinggi hanya berkisar 0,8 persen,” terangnya.

Terkait usia petani, peneliti KRKP Deni Irawan mengatakan, hasil penelitian KRKP juga mengungkapkan, usia petani yang ada di Indonesia umumnya memang menua. Hasil peneiltian mengungkapkan sebanyak 61,8 persen petani di Indonesia berumur lebih dari 45 tahun. “Sementara petani yang berusia kurang dari 35 tahun memiliki persentase hanya sebesar 12,2 persen,” ujarnya.

Petani berusia tua umumnya adalah petani tanaman pangan. Petani tanaman pangan dengan usia lebih dari 45 tahun memiliki persentase sebesar 65,15 persen. “Sangat jauh dengan petani tanaman pangan yang berusia kurang dari 35 tahun dengan persentase 9,5 persen terpaut 55,65 persen,” terang Deni.

Ini, kata Deni menjadi gambaran yang cukup mengkhawatirkan akan masa depan pertanian di Indonesia. “Hampir 79,8 persen petani tanaman pangan melakukan usaha penanaman padi yang notabenenya sebagai makanan pokok Indonesia,” ujarnya.

Gambaran ini ironisnya semakin dipersuram dengan persepsi anak muda perkotaan umumnya yang menganggap pendapatan petani adalah rendah. dari hasil survei terungkap, Sebanyak 79 responden (43,9%) menyatakan setuju bahwa petani di Indonesia masih memiliki pendapatan yang rendah. Mereka beralasan karena petani cenderung tinggal di desa yang pada umumnya masyarakat pedesaan memiliki pendapatan yang lebih kecil dari masyarakat yang tinggal di perkotaan.

Hal ini sejalan dengan data yang dikemukakan oleh Hermato Siregar (2014), disparitas pendapatan sektor pertanian dengan sektor industri pengolahan sangatlah besar. Empat tahun terakhir (2010-2013) sektor pertanian menghasilkan pendapatan per kapita per tahun sebesar 29,1 juta sedangkan pada sektor industri pengolahan menghasilkan pendapatan per kapita per tahun sebesar 128,1 juta. Sektor pertanian hanya menghasilkan 22,7% dari sektor industri pengolahan, hal ini mungkin yang membuat para pemuda di Indonesia mulai meninggalkan sektor pertanian sebagai tujuan utama dalam mencari lapangan kerja.

“Peningkatan kesejahteraan rakyat merupakan salah satu tujuan suatu bangsa yang berdaulat. Indonesia merupakan negara agraris dengan jumlah penduduk dan proporsi rumah tangga pertanian yang sangat besar yaitu sebesar 37,7 juta, maka peningkatan kesejahteraan petani menjadi hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah,” pungkas Deni.

Editor: M. Agung Riyadi

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.