Asih Lestari: Potret Perempuan Pejuang Agraria Dari Tanah Transmigrasi
|
Konawe Selatan, Villagerspost.com – Datang ke Konawe Selatan, tepatnya di kawasan Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Tolihe, Kecamatan Palangga, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Asih Lestari berharap mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Tiba di tanah harapan pada tanggal 4 Desember 2011, Asih dan suaminya yang ikut bertransmigrasi setelah menjadi korban erupsi gunung Merapi pada tahun 2010, berharap kehidupan yang lebih baik.
“Kami bertransmigrasi karena ingin mengubah nasib,” kata Asih, yang ditemui Villagerspost.com, di kawasan pemukiman transmigrasi di UPT Arongo, Senin (3/12) lalu. Sayangnya, harapan untuk menjadi lebih sejahtera, langsung sirna seketika itu juga, ketika mengetahui lokasi transmigrasi yang mereka tempati tak sesuai dengan yang tercantum dalam surat perjanjian.
Berdasarkan SK Bupati Konawe Selatan Nomor 39/2008 tentang pencadangan atau penunjukkan lahan UPT Tolihe, seharusnya, Asih, bersama 25 kepala keluarga yang didatangkan dari Yogyakarta–plus transmigran dari wilayah lain sehingga jumlah total mencapai 240 KK–mendapatkan lahan seluas 740 hektare di Kecamatan Baito, Konawe Selatan. Namun entah kenapa, tanpa alasan jelas, pemerintah Konawe Selatan memindahkan lokasi transmigarasi ke Desa Tolihe, Kecamatan Palangga.
Dari sinilah, masalah pertanahan yang dialami para transmigran bermula. Di lokasi yang ditunjuk pihak Pemkab Konawe Selatan ternyata merupakan lahan yang diklaim warga lokal dan juga PT Tiran Sulawesi.
Asih masih mengingat dengan jelas, para transmigran yang dijanjikan lahan tanah seluas 1,5 hektare, kemudian harus menerima kenyataan yang terealisasi hanya seluas 0,25 hektare berupa lahan pekarangan. Sementara untuk janji lahan 1 dan lahan 2, sampai sekarang belum jelas realisasinya. “Bahkan untuk lahan 1 kita sampai berpindah tempat, bahkan sampai lima kali ganti peta,” kata Asih.
Dia berkisah, setibanya di Kecamatan Palangga, para transmigran ditunjukkan lokasi lahan 1 mereka di sebuah kawasan hutan. “Lahannya masih di wilayah Palangga juga, saya dapat lot nomor 17,” kisahnya.
Namun saat akan menggarap lahan yang ditunjukkan, ternyata lahan itu sudah diklaim masyarakat lokal. “Jadi kami meski sudah terlanjur membuka jalan dan sebagian lahan, memilih mundur,” kata Asih.
Malangnya, tak lama kemudian, ternyata di kawasan yang dikaim masyarakat lokal itu terbit izin prinsip untuk perusahaan perkebunan sawit PT Tiran Sulawesi. Maka bakal calon lahan 1 transmigran itu pun dicabut dan dijanjikan akan dipindah. Lahan itu pada tahun 2014 digarap oleh PT Tiran yang mengklaim sudah memegang Hak Guna Usaha untuk kawasan tersebut.
Hingga kini, kata Asih, masyarakat transmigran Tolihe akhirnya tidak memiliki lahan 1 sama sekali. “Sampai detik ini tidak ada lahan satu, lokasi berpindah-pindah terus di sekitar kawasan Palangga, akhirnya kita nggak menggarap karena tidak jelas,” ujar Asih.
Dampak ketiadaan lahan ini bagi perekonomian para transmigran sangat berat. Secara ekonomi hanya dengan memberdayakan lahan seluas 0,25 hektare di pekarangan, tidak mencukupi. “Kami, terutama kaum ibu, menanam sekadarnya saja, menjualnya ke pasar, kita tanam sayur-mayur. Tetapi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan, terutama untuk anak-anak sekolah. Karena itu, bapak-bapaknya semua kerja di luar kampung,” kata Asih.
Masyarakat UPT Tolihe sendiri, hingga saat ini terus berjuang untuk mendapatkan hak mereka atas lahan 1 dan lahan 2. “Kami sudah mengadu ke transmigrasi, ke bupati, terakhir tanggal 2 Oktober 2017 lalu, kami dijanjikan dalam tiga bulan masalah selesai, tetapi sudah setahun lewat tak juga selesai. Kami coba tagih janji, bupati tidak mau menemui lagi,” ujar Asih.

Perjuangan Asih semakin berat di tanah transmigrasi ketika suaminya, meninggal dunia lantaran sakit. “Saya berjuang meneruskan perjuangan suami yang sudah tidak ada lagi. Kami akan terus berjuang, nasib kami nanti bagaimana kalau lahan tidak ada? Kami sudah tinggalkan Jawa, sementara di sini tidak ada lahan,” kisahnya.
“Kami di Jawa menjadi korban erupsi Merapi, di sini kami menjadi korban transmigrasi,” tambahnya.
Kini, Asih –yang sudah menikah lagi–berjuang bersama suaminya untuk terus bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga mereka. Suami Asih bekerja sebagai buruh tani dan kadang bekerja di kota. Sementara Asih, selain menggarap lahan pekarangan, juga menggarap lahan sewaan seluas 1 hektare di luar kawasan transmigrasi.
Pada lahan itu, Asih mengembangkan tanaman buah naga dan sayuran. “Hasil kebun saya jual ke pasar, sebagian kami tabung untuk membiayai sewa lahan, sebagian lagi untuk mencukupi kebutuhan menghidupi keluarga kami,” ujar Asih.
Bercocok tanam di kawasan transmigrasi Tolihe, kata Asih, juga bukan perkara gampang. Pasalnya, tanah di Konawe memang tidak sesubur tanah di Jawa. “Kalau musim kemarau lahan kering, musim penghujan banjir,” ujarnya.
Toh, Asih tak mau sekadar berpangku tangan. Beragam usaha lain juga sempat dia lakukan seperti membuat kerupuk dari bahan dasar umbi gadung. Sayangnya usaha ini terpaksa harus ditutup karena respons pasar masih kurang baik.
Untuk melanjutkan perjuangan mendapatkan hak atas tanah, Asih juga bergabung dengan Serikat Tani Konawe Selatan sejak tahun 2017 lalu. “Saya juga mengajak kaum perempuan, pemuda, teman-teman senasib kami korban konflik agraria, berjuang bersama didampingi Konsorsium Pembaharuan Agraria. Kami sering mengadakan pertemuan, mencari solusi terbaik supaya hak-hak kami dipenuhi pemerintah setempat,” jelas Asih.
Terakhir, pada tanggal 5 dan 6 Desember lalu, Asih, bersama para transmigran dari UPT Arongo, Roda, Pudaria, dan kawasan transmigrasi lainnya yang mengalami konflik agraria, mengadakan pertemuan dengan pihak Badan Pertanahan Nasional/Agraria dan Tata Ruang Provinsi Sulawesi Tenggara dan Kepala Dinas Transmigrasi Sulawesi Tenggara.
Kepala Dinas Transmigrasi Sultra, Saemu Alwi sendiri sudah mengeluarkan surat edaran meminta diadakannya pertemuan dengan Bupati Konawe Selatan dengan seluruh pihak terkait, termasuk para transmigran. Diharapkan dengan pertemuan itu, dapat dicarikan penyelesaian masalah lahan di lokasi transmigrasi di seluruh wilayah Konawe Selatan.
Asih sendiri masih menunggu dan mengaku akan terus menuntut komitmen pemerintah untuk menyelesaikan seluruh konflik agraria di kawasan transmigrasi ini. “Saya berjuang bukan untuk diri saja, juga buat kepentingan petani lain dan kawan transmigran senasib, bagi kami reforma agraria sangat penting,” pungkasnya.
Laporan: M. Agung Riyadi